12. Tidak Sempurna

14.6K 3.6K 562
                                    

Pukul 5 lewat 12, Naresh mengantar saya pulang. Sepanjang perjalanan, lagu-lagu Pamungkas bergantian merambat di udara. Namun saya dan Naresh memilih untuk sama-sama geming. Tidak ada yang salah. Saya hanya merasa bahwa diam adalah satu-satunya hal yang membuat saya begitu nyaman saat ini. Sementara Naresh... saya tidak tahu. Tidak ada yang bisa saya terka mengenai apa yang tengah ia pikirkan saat ini. Mungkin ia tengah bernyanyi dalam pikirannya? Atau ia menyelami lagu itu sebagaimana hubungan kami selama ini? Sampai hari ini, di tahun keempat saya bersamanya, tidak ada satupun yang bisa saya tebak.

Sampai di menit-menit terakhir lagu, Naresh memilih menepikan mobilnya tidak jauh dari pintu masuk komplek perumahan tempat saya tinggal. Lalu ia mematikan stereo sesaat setelah menarik napas panjang.

Lantas hening panjang. Tidak ada salah satu pun dari kami yang sudi mengalah dan berbicara lebih dulu. Hingga rintik-rintik di luar kembali terdengar. Gerimis jatuh perlahan-lahan dan membasahi jalanan yang belum sepenuhnya mengering.

"Sandra..." dan dia mulai bersuara. Sebelah tangannya meraih tangan saya, hingga jari-jemari kami saling bertaut dan berbagi rasa hangat.

Ia mengenggam tangan ini begitu erat, seakan jika longgar sesikit saja, saya akan lari meninggalkannya.

"Kamu boleh marah." dia berkata begitu dengan suara serak. Seakan ia juga sedang mati-matian menahan kemarahan dalam dirinya sendiri. "Kamu boleh memaki apapun atau siapapun yang membuat perasaan kamu sakit. As a human, you should be like that. Being silent doesn't mean turning you into an angel, but silence is a scary hideaway."

Katanya, sebagai manusia sudah sepantasnya saya marah. Sebab diam tidak akan mengartikan diri saya sebagai malaikat, melainkan diam adalah tempat persembunyian yang paling menyeramkan. Saya terdiam cukup lama, bingung harus berkata apa.

"Kamu berhak marah sama Giselle, Rengganis, atau bahkan aku. Aku tahu kamu capek. Sama! Aku juga capek dan merasa nggak mampu buat bikin kamu ngerasa aman sama aku."

Saat Naresh bicara, saya melihat bagaimana langit perlahan-lahan berubah warna. Gerimis yang jatuh membuatnya tidak lagi berwarna jingga atau merah seperti biasanya. Ia berwarna kelabu, lalu berjalan perlahan-lahan menuju biru. Setelahnya ia mungkin akan lebih pekat, sampai mungkin benar-benar menjadi gelap. Seperti warna mata Naresh.

"Aku marah." jawab saya, tanpa perlu memberi tatapan sendu kepadanya. "Aku marah, Resh. Sama siapa pun dan sama apa pun. Aku marah setiap kali orang-orang memanfaatkan aku. Aku marah setiap kali aku dengar kalau ada orang lain yang suka sama kamu. Aku marah kenapa aku harus berakhir begini. Tapi meskipun aku marah..."

Kemudian saya menoleh, "apa yang bisa aku lakuin?"

Laki-laki bermata seteduh hujan di bulan desember itu menatap saya dengan mata muram. Ia selayaknya mendung yang menaungi kami, bersama sepasang tangannya yang entah kenapa berubah menjadi dingin.

"Bukan salah Giselle atau Rengganis karena mereka suka kamu. Karena kalau mereka salah, aku juga salah. Perasaan yang kami bawa, perasaan yang berasal dari kehadiran kamu, bukan sesuatu yang bisa dihindari. Dan bukan berarti kalau itu juga salah kamu. Karena memang... kamu berhak dicintai siapa aja."

Setelah itu saya terdiam. Lama sekali, sampai-sampai saya merasa bahwa suasana ini terlalu dingin untuk saya hadapi sendirian. Hingga akhirnya...

"Tapi buat aku ini berat." saya menangis di hadapannya. "Karena ada banyak orang yang sayang sama kamu, aku khawatir kalau mereka bisa aja mencintai kamu lebih dari aku. Mungkin buat orang lain, 4 tahun itu cepet dan nggak berarti apa-apa. Tapi buat aku 4 tahun itu berarti banget. 4 tahun nggak sesingkat apa yang orang lain pikir. Selama itu aku sayang sama kamu, terbiasa sama kamu, selalu mengandalkan kamu. Dan seandainya ada orang lain lain yang lebih mampu mencintai kamu daripada aku..."

Oris Sigra [completed]✔Where stories live. Discover now