🥀 4 🥀

4.7K 603 71
                                    

Lasmi merasa hatinya tercabik-cabik kala melihat raut murung yang berusaha di tutupi oleh cucu kesayangannya itu. Dava, anak itu benar-benar anak yang baik dan tidak banyak tingkah.

Mereka berencana makan di luar siang ini. Awalnya Barta merasa ini hal yang bagus mengingat Dava jarang sekali di bawa main keluar. Tentu saja Bima yang melarangnya.

Bahkan, saat ini Bima hanya fokus pada makanannya tanpa mempedulikan Dava yang ada di dekatnya.

"Ayah, bajunya abang itu bagus banget. Dava mau dong," pinta Dava tetapi tidak di gubris oleh Bima.

"Bima, jangan abaikan anakmu!"

Bima menghela nafas kasar lalau memandang tajam Dava yang ada di dekatnya.

"Aku sudah mau makan di sini saja sudah cukup. Mama jangan minta hal-hal aneh sama aku. Lagian ini anak juga ngapain ribut sih? Bikin malu aja!"

Barta segera menahan tangan Lasmi yang baru saja akan membalas perkataan Bima.

"Anakmu ini memang tidak tau diri. Urus saja dia, aku malu mengakuinya!" seru Lasmi yang sudah kesal bukan kepalang pada Bima.

"Nenek, jangan marah sama ayah. Yang salah Dava bukan ayah. Dava uda gangguin ayah makan makanya ayah marah."

"Anakmu ini bahkan lebih cocok jadi orang dewasa daripada kamu," sindir Lasmi pada Bima yang menganggap omongan sang ibu hanya angin lalu.

"Sudah-sudah, Dava tadi mau baju yang mana? Setelah ini kakek belikan yang banyak buat Dava."

Rasa antusias dan penasaran Dava hilang begitu saja. Bahkan nafsu makannya juga hilang saat mendengar respon Bima. Tetapi, daripada membuat mereka khawatir, Dava lebih memilih menggelengkan kepalanya pada Barta dengan senyum di wajah polosnya.

Bima mendengus melihat tingkah Dava yang terlihat menyebalkan di matanya. Pria itu kembali fokus pada makanannya.

Perhatian Dava juga kini teralih pada meja yang ada di sudut. Tampak seorang anak sebayanya dengan seragam sekolah yang terlihat begitu bahagia. Ayah bocah itu menyuapinya makan dengan ibunya yang tersenyum melihat semua interaksi itu.

Dava menginginkannya. Dava ingin sekali saja ada di posisi anak itu. Dava ingin merasakan bagaimana hangatnya ada di antara keluarga bahagia.

Netra Barta tanpa sadar mengikuti arah pandangan cucunya dan seketika menghela nafas pelan. Dava itu memang tipe anak yang lebih suka memendam perasaannya.

Jika sakit maka akan diam. Terkadang keterdiaman Dava membuat Barta tanpa sadar ingin menghilangkan Bima dari dunia ini. Putranya itu dengan tega menelantarkan cucunya yang baik ini.

"Dava, habisin makanannya. Setelah ini kita bakal beli baju baru buat kamu."

Dava mengalihkan tatapannya pada sang nenek lalu mengangguk saja. Setelah selesai, Bima langsung pergi untuk ke kantor tanpa berbasa-basi pada Dava yang memandang punggungnya dalam diam.

¤¤¤

"Ayah," sapa Dava saat mereka berpapasan di dapur. Tadinya Dava ingin minum. Sedangkan Bima yang pulang larut ingin makan untuk mengganjal perut.

Tidam mendapat jawaban, Dava memutuskan untuk ke meja makan dan duduk di dekat Bima yang tengah mengambil lauk pauk. Sementara itu Bima hanya diam tidak mempedulikan kehadiran Dava.

"Ayah, rasanya sekolah itu gimana sih?" tanya Dava penasaran seraya menggenggam gelas kosong sebagai pengalih rasa gugup.

Tidak ada jawaban sama sekali. Bima hanya fokus makan dan seolah tidak mendengar suara Dava. Tetapi, Dava tidak langsung menyerah begitu saja.

"Ayah, Dava mau punya teman. Dino lebih sering main sama Papanya. Dava kesepian. Dava mau ada temen main. Nanti kalau kakek pulang pasti rumah sepi," cerita Dava dengan netra yang memeperhatikan Bima yang masih saja membisu.

"Ayah, Dava mau sekolah, boleh?" tanya Dava lagi yang berhasil membuat Bima mengubah ekspresi menjadi kesal.

"Kamu itu bicara omong kosong terus. Kerjaannta gangguin orang terus. Uda sana tidur! Saya capek tapi kamu malah ngomong yang enggak penting. Pusing saya dengernya," kesal Bima sembari membanting sendok dan garpunya ke meja hingga membuat Dava berjengkit kaget.

Dava mencengkram ujung kaos baru yamg dibelikan Lasmi tadi siang dengan kuat. Ya, bocah itu ketakutan. Dengan sedikit keberaniannya Dava kembali menatap Bima sejenak.

"Dava cuma minta itu aja. Dava janji bakal jadi anak baik dan pintar. Dava janji bakal buat ayah bangga," ucap Dava pelan.

Bima terkekeh sinis lalu menjitak kuat kepala Dava hingga membuat Dava mengaduh kesakitan.

"Sekolah? Buat saya bangga? Mau punya teman? Kamu itu kebanyakan nonton kartun jadi isi kepala kamu cuma debu!"

Bima geleng-geleng kepala sembari melipat tangannya di meja dengan netra yang memandang Dava remeh. Dava membalas tatapan sang ayah dengan netra indahnya. Tidak ada tatapan hangat di sana.

"Dava, kamu itu hidup saja saya tidak peduli. Kamu itu tidak punya teman saya juga tidak mau tau. Seharusnya kamu bersyukur karena saya masih mau tampung kamu di sini. Terus kamu bilang mau sekolah? Buang-buang uang! Kamu pikir sekolah itu gratis? Saya juga tidak mau buang-buang uang saya buat kamu! Saya tidak butuh apapun dari kamu. Jalani saja hidupmu tanpa mengganggu saya, itu sudah lebih dari cukup. Paham?"

Dava membisu tetapi memaksakan senyumnya tampil juga anggukan kepala hingga membuat Bima bangkit lalu berlalu dari meja makan.

Tinggal Dava sendiri di sana. Kepala bocah itu tertunduk sembari meremas ujung kaosnya dengan kuat. Cairan bening mengalir di pipi mulusnya lalu jatuh membasahi kaos dan punggung tangannya. Semakin lama tangisnya semakin deras. Tetapi, tidak ada isakan apapun yang keluar dari mulut mungilnya.

Cukup dengan bahunya yang bergetar menandakan betapa rapuh bocah itu. Hati kecilnya yang tercabik-cabik. Harapannya yang dibangun hancur dalam hitungan detik.

Sementara Lasmi yang sedari tadi mendengar semuanya hanya mampu membekap mulutnya dengan isakan tertahan. Bima, putra yang ia besarkan dengan penuh kasih sayang berubah begitu saja seperti monster bagi anaknya sendiri.

"Biarkan Dava sendiri dulu. Nanti kalau dia sudah masuk ke kamarnya baru kamu ke sana. Temani dia tidur," ucap Barta pelan yang menahan sang istri yang hendak menghampiri Dava.

"Anak itu keterlaluan. Kita membesarkannya bukan untuk menyakiti hati anaknya sendiri. Menantuku tidak akan senang dengan semua ini di atas sana," lirih Lasmi dengan tangan yang mencengkram erat lengan Barta.

Barta menghela nafas sembari mengelus punggung Lasmi pelan. Benar, untum beberapa saat Barta bahkan seolah tidak mengenal lagi sosok hangat yang selalu hadir dalam diri Bima.

Putranya berubah semenjak kepergian mendiang menantunya. Tetapi, terlepas dari itu, apakah Dava patut disalahkan atas semuanya?

¤¤¤

Halo, akhirnya aku bisa up juga hhehe.

Semoga kalian sehat selalu dan bahagia terus ya.

Di akhir tahun ini, aku mau mengucapkan banyak terima kasih untuk kalian yang setia membaca tulisanku. Terima kasih banyak😊

Selamat membaca😊

Maafkan typo,

Salam manis
Ans Chaniago

31 Desember 2020

Blessure (End)Where stories live. Discover now