🥀 1 🥀

10.1K 755 47
                                    

Pagi-pagi sekali seorang anak laki-laki berusia 8 tahun tengah sibuk mengolesi selai rasa coklat untuk sarapan paginya. Suasana meja makan pagi ini sama seperti yang sudah-sudah, masih sepi dan hanya ada anak laki-laki itu saja.

Sesekali anak itu bersenandung lagu yang kemarin anak itu dengar dari televisi. Tatapannya yang penuh binar itu tidak pernah absen untuk melihat ke arah tangga. Menunggu seseorang yang akan turun dan sarapan bersamanya.

Bibi Mey, asisten di rumah ini pernah bercerita bahwa sebelum berangkat untuk bekerja di rumahnya, mereka selalu sarapan bersama terlebih dahulu. Maka dari itu anak laki-laki itu tidak pernah absen menunggu orang yang ia sayangi turun dan menemaninya sarapan.

Tetapi bahkan saat sudah selesai menghabiskan rotinya seseorang yang ditunggu tidak kunjung hadir. Raut murung pun tergambar jelas pada wajahnya.

Tetapi, detik selanjutnya anak itu turun lalu berlari kecil ke dapur untuk membuat segelas air hangat. Bibi Mey melarangnya untuk menyentuh air panas karena takut terjadi hal yang tidak di inginkan.

Sebagai gantinya Bibi Mey menyediakan termos kecil yang bisa di pegang tangan mungil anak itu. Juga menaruhnya di tempat yang mudah untuk di jangkau agar anak itu tidak kerepotan untuk mengambilnya.

Dengan hati-hati segelas air hangat itu di bawa ke lantai atas untuk diberikan pada seseorang yang ia tunggu hadirnya. Perhatian anak itu terbagi untuk fokus menaiki tangga juga tetap memperhatikan gelas yang dibawa. Memastikan airnya tidak ada yang tumpah.

Senyumnya merekah kala ruangan dengan pintu bewarna putih itu terlihat semakin dekat. Anak itu dengan polosnya bahkan langsung mengetuk pintu ruangan itu menunggu suara di dalam sana menyuruhnya masuk.

Tetapi bahkan saat sudah empat kali mengetuk pintu tidak juga ada suara dari dalam sana. Tidak apa. Ini sudah biasa. Mungkin orang di dalam sana lagi puasa untuk berbicara, pikir anak itu.

Dengan gerakan pelan tangan mungilnya berusaha membuka pintu dan mengintip sedikit guna memastikan orang yang di cari ada di dalam.

"Ayah!" serunya dengan tatapan berbinar. Tetapi sosok yang di sebut sebagai ayah tidak juga mengalihkan perhatiannya dari kertas-kertas yang ada di meja.

Anak itu dengan berani mulai melangkah mendekati sang ayah. Memperhatikan sebentar apa yang di lakukan beliau lalu kembali tersenyum saat netra sang ayah kini menatapnya.

"Saya sibuk, ngapain kamu ke sini?" tanya pria itu dengan memandang malas anak di depannya.

Bima Prasetya. Pria yang berumur tiga puluh tujuh tahun itu merupakan seorang duda. Istrinya meninggal sesaat setelah melahirkan anak yang ada di dihadapannya saat ini. Bima merupakan seorang pengusaha sukses. Hidup dengan kekayaan yang melimpah tidak membuatnya bahagia.

Kebahagiaannya pergi bersama dengan mendiang istrinya. Bagi Bima hidupnya tidak lebih dari sial kala anak itu selalu mencoba dekat dengannya. Anak itu...adalah beban untuknya.

"Ayah, dava bawa air hangat buat ayah. Dava letak di meja ya ayah," ujar Dava yang segera berjalan ke arah meja lain di dekat pintu dan meletakkan air hangat tadi di atas meja.

Anak itu, namanya Dava Alrivano Prasetya. Anak berumur delapan tahun yang sangat ceria dan selalu penasaran akan hal-hal baru. Dava merupakan anak yang manis dan penurut. Anak itu tidak banyak meminta dan tidak banyak menuntut apa-apa pada Bima.

"Yasudah pergi! Mau apa lagi kamu di sini?" tanya Bima jengah sebab Dava tidak kunjung pergi dari ruangannya.

"Ayah, semalam Dava liat kelinci di tv. Terus ada singanya juga ayah. Ayah, kapan kita pergi ke kebun binatang? Dava pengen liat singa sama kelinci," ujar Dava dengan binar di kedua matanya saat mengingat betapa lucunya kelinci yang ada di tv semalam.

"Tidak bisa, saya sibuk! Sudah sana keluar!" sentak Bima yang berhasil membuat Dava takut.

Dava mengangguk lesu dengan netra yang tidak lepas memperhatikan ayahnya. Tidak apa. Besok ayah pasti bisa membawanya melihat kelinci dan singa.

"Ayah, kalau uda enggak sibuk bawa Dava liat kelinci sama singa ya," pinta Dava tetapi tidak mendapat balasan apa-apa.

Dengan lesu Dava keluar dari ruangan Bima. Hari ini untuk kesekian kalinya Dava tidak bisa bermain bersama Ayah. Inginnya sederhana sebenarnya. Hanya ingin bermain bersama satu-satunya orang tua yang ia punya.

Dava sering melihat Dino, tetangganya yang sering pergi jalan-jalan bersama Papa dan Mamanya. Dava sering di ajak tetapi tidak pernah di kasih izin oleh Bima. Dava sadar hanya mempunyai sosok Ayah tapi tidak dengan bunda.

Dulu, Dava sering mempertanyakan keberadaan bundanya. Kenapa tidak pernah pulang juga padahal Dava ingin sekali bercerita banyak. Tetapi Ayah akan selalu marah dan terakhir kali memarahinya dan mengurung Dava berhari-hari di dalam kamar.

Lalu besoknya saat bermain, Mama Dino menangis melihat bekas pukulan ayah lalu mengobatinya. Kala itu Dava baru tau satu kebenaran.

"Tante setiap hari pulang ke rumah. Terus buatin kue untuk Dino. Temanin Dino main. Tante, Dava juga tungguin bunda Dava di teras setiap sore tapi kenapa enggak pernah datang ya? Bunda sibuk sekali macam Ayah ya?"

Dava ingat sekali tangis Mama Dino pecah saat itu juga. Dava tidak mengerti kenapa.

"Sayang, Bundanya Dava pergi jauh banget. Dava jangan tungguin lagi ya. Apalagi kalau uda musim hujan, Dava jangan di luar. Tetap di dalam rumah ya, nak," lirih Mama Dino seraya mengelus pelan pipi Dava.

Lalu akhirnya Dava tau bahwa Bundq tidak akan pulang. Kata Bibi Mey, Bunda ada di surga. Kalau rindu harus banyak doa. Dan kalau beruntung bisa ketemu Mama di mimpi. Tetapi, sampai detik ini Dava tidak pernah bertemu Bunda di mimpi.

Sementara di dalam ruang kerja Bima, pria itu tengah memijat pelipisnya kala suara di seberang sana membuatnya pusing.

"Dia itu anak kamu Bima! Sudah seharusnya kamu memperhatikan dia. Kalau memang kamu tidak sanggup merawatnya, maka biarkan Mama yang merawat dia."

"Ma, biarin aja anak itu. Toh, dia juga bisa mandiri. Dia itu enggak semenyedihkan yang Mama kira. Udalah Mama fokus aja ngerawat Papa. Urusan amak itu biar aku yang pikirkan."

"Bima, Mama tau kamu belum bisa terima kehilangan orang kamu cintai. Tapi, dia itu darah daging kamu Bima! Dia anak yang kamu tunggu-tunggu selama ini. Delia pasti sedih melihat anaknya kamu perlakukan seperti ini."

"Ma, jangan pernah ungkit itu lagi. Ini hidup aku. Aku yang nentuin akan bagaimana. Udah ya, titip salam sama Papa. Minggu ini aku ke sana buat jenguk kalian. Aku lagi banyak kerjaan sekarang. Assalamualaikum."

Bima mematikan sambungan secara sepihak. Lalu, pria itu tampak menghela nafas lelah. Saat netranya tidak sengaja menangkap asegelas air di atas meja, Bima tidak bisa tidak mendengus melihatnya. Anak itu, sangat menyebalkan di matanya.

¤¤¤

Halo, aku bawa cerita baru nih hehe.

Lanjut?

Maafkan typo.

Ada yang mau kalian sampaikan untuk part ini?

Selamat membaca😊

Salam manis,
Ans Chaniago

23 November 2020

🍁

🍁

🍁

Blessure (End)Where stories live. Discover now