🥀 11 🥀

4.6K 537 70
                                    

Setelah hari itu, Dino jadi lebih sering main ke rumah Dava. Tak jarang saat akan pulang ke rumah sore hari, Dino terlebih dulu mengusili Sean. Sering sekali Sean menangis akibat tingkah laku Dino yang menyebalkan. Seperti sengaja membuat Sean kalah main permainan, dengan sengaja mencubit lengan Sean, sampai yang paling parah membuat Sean jatuh tersungkur di depan rumah. Dino dengan polosnya mengatakan bahwa ia tidak sengaja.

Bima juga tidak menganggap itu hal yang serius. Baginya hal biasa jika kalah atau jatuh saat tengah bermain. Tetapi, Sean pada dasarnya anak yang peka. Sean tau kalau Dino sengaja dan tidak menyukainya. Sean hanya mampu diam tidak mengatakan jika Sean melakukan hal itu dengan sengaja. Tetapi, tingkah anak itu perlahan berubah seiring berjalannya waktu.

Usia mereka kini sudah bertambah. Sean menginjak usia dua belas tahun dan Dava tiga belas tahun. Tidak banyak yang berubah. Semua masih sama. Hanya saja, satu tahun lalu menjadi sebuah kehilangan yang menyakiti hati Dava. Dino sekeluarga harus pindah ke Bogor. Tidak ada penjelasan lebih dari Liam selain mengatakan kepindahan mereka terkait dengan kakek Dino yang sakit parah. Dava saat itu hanya mampu mengangguk tanpa mengatakan apa-apa. Bahkan saat mereka memeluknya lalu pergi, Dava masih diam tidak pula menangis.

Memangnya siapa dirinya? Dava sedari awal memang bukan siapa-siapa. Kisahnya tidak seindah kisah orang lain. Kisahnya tidak semenarik kisah hidup Sean. Sedari awal, Dava memang tidak di inginkan. Sedari kecil, Dava sudah harus bisa menerima bahwa dunianya tidak semenyenangkan dunia orang-orang. Dava harus mengemis kasih sayang pada orang yang ia panggil ayah. Tapi, bukannya mendapatkan hal itu, Dava justru kehilangan kasih sayang dari kakek dan neneknya. Entah apa alasan mereka begitu.

Sebenarnya jika ditanya apa tujuannya hidup di dunia, Dava tidak tau pasti. Semua yang ada di dunia tidak bisa Dava miliki, meski hanya satu sekalipun. Dava tidak mengerti kenapa orang-orang di rumah bisa sebegitu membencinya. Jika ini soal bunda, Dava juga terluka.

Di umur segini Dava seharusnya sudah duduk di kelas delapan. Tetapi, bahkan tidak satupun dari mereka tergerak untuk menyekolahkannya. Dava hanya bisa meraba-raba dari buku-buku milik Sean. Tidak ada yang ia mengerti selain membaca saja. Belakangan ini, Sean juga sudah kurang suka berada di dekatnya. Sean lebih sering menghabiskan waktunya dengan teman barunya di sekolah. Dava tidak masalah dengan itu.

"Dava, itu piringnya di cuci dulu baru setelah itu cuci baju, ya," ujar Suci yang tengah membantu Sean mengecek mata pelajaran hari ini.

Dava tidak menjawab tetapi menghampiri mereka dengan sekotak bekal dan sebotol air untuk Sean.

"Ini bekalnya uda kakak siapin. Adek jangan telat makannya apalagi hari ini ada kegiatan di sekolah, kan," ujar Dava tetapi Sean hanya mengangguk. Dava tidak masalah. Memang, Sean juga sudah jarang bicara padanya.

Dava tanpa kata berlalu untuk mengerjakan pekerjaan rumahnya. Lalu, Bima datang membawa gelas kotor bekas kopi dan menaruhnya begitu saja di dekat wastafel. Pria itu tanpa kata pergi tanpa mengatakan apapun. Dava hanya memasang senyum tipis. Sudah biasa. Dava juga sudah tidak berharap banyak lagi. Biar saja semua mengalir. Bagaimana kehidupannya ke depan Dava akan menerimanya.

Saat tengah asyik mencuci piring tiba-tiba Dava mimisan. Dava segera menyeka darah yang terus saja mengalir. Suci yang baru datang lantas kaget melihatnya.

"Ini kenapa bisa mimisan, nak?" tanya Suci khawatir. Dava menggeleng lalu memasang senyum tipis.

"Engga apa, Bunda. Palingan cuma mimisan biasa," jawab Dava tenang sembari menyeka darah dari hidungnya. Suci menggeleng tidak terima.

"Kamu itu uda sering loh mimisan begini. Terus kamu juga bunda liat sering ngeluh pinggang sakit. Ini pasti bukan masalah spele. Nanti siang ikut bunda ke rumah sakit, ya," ujar Suci yang membuat Dava menggeleng tidak setuju.

"Enggak usah, Bunda. Dava juga engga kenapa-kenapa, kok," balas Dava.

"Enggak, kamu enggak bisa nolak lagi. Pokoknya nanti siang kita ke rumah sakit. Hasil tes kamu kemarin akan keluar hari ini. Uda sana kamu istirahat, biar bunda yang beresin semuanya," ujar Suci tanpa mau dibantah. Dava menurut lalu berlalu dengan perasaan cemas.

Bagaimana jika apa yang dikatakan Suci benar? Bagaimana jika keluhan yang sering ia rasakan merupakan penyakit parah?

Jam demi jam berlalu sampai akhirnya disinilah Dava dan Suci. Dava duduk termenung di depan ruang dokter dan Suci yang masih di dalam entah menanyakan tentang apalagi. Yang pasti, Dava tau bahwa ia tidak baik-baik saja. Secarik kertas di genggamannya ia pandang dengan tatapan sayu. Apalagi sekarang? Setelah semua hal yang ia lalui, apa Dava harus menjadi anak menyusahkan dengan penyakit ini?

"Dava," panggil Suci hingga Dava mendongak lalu memberikan senyum terpaksa.

"Kamu tenang aja, bunda bakal bicarain masalah ini sama Ayah. Bunda juga uda telfon ayah tadi untuk datang ke sini. Pokoknya kamu hanya harus fokus dengan kesembuhan kamu," tutur Suci dengan raut wajah yang sebisa mungkin terlihat tenang. Padahal wanita itu sudah ingin menangis saat ini.

"Engga usah. Kondisi dia engga parah. Ngapain kamu capek-capek ngurusin anak penyakitan ini!" Bima datang dan langsung menegur Suci. Ya, Suci sudah menjelaskan singkatnya lewat pesan.

"Mas, Dava butuh penanganan. Dia enggak baik-baik aja. Kamu harusnya sebagai ayahnya mendukung dia bukan malah begini!" balas Suci tidak habis pikir dengan Bima.

"Biarkan saja. Ini karmanya karena telah membuat ibunya meninggal. Sudah, ayo pulang!" seru Bima menarik Suci yang berontak. Setelah mereka pergi, Dava hanya mampu diam membisu.

Beberapa suster yang kebetulan mendengar pun hanya memandangnya iba. Dava tanpa sadar tersenyum begitu pula dengan air matanya yang mulai mengalir deras. Pandangannya menunduk memandang kertas hasil tes kemarin. Salah satu ginjal Dava rusak. Dan, seharusnya ia mendapatkan penanganan. Kendati hatinya menjerit kesakitan mendengar kata-kata ayahnya. Dava juga tidak menampik bahwa ia memang menyusahkan.

Apalagi pasti biaya untuk operasi dan pengobatannya tidak akan murah. Dava tidak mungkin meminta begitu saja pada Ayahnya untuk segera mencari donor. Biayanya tidak murah. Sekalipun Bima mampu, pria itu enggan membantunya. Dava juga tidak masalah. Senyum di bibir pucatnya tidak luntur meski ketakutan akan kondisinya lebih besar. Dava sungguh tidak apa dengan penyakit ini. Dava hanya tidak kuat jika harus pergi tanpa mendapat maaf dari Bima. Dava telah merenggut kebahagiaan ayahnya. Dava tidak siap jika harus pergi tanpa bisa dimaafkan oleh ayahnya.

*****

Hai, aku update, nih. Ya, kisah Dava engga akan sepanjang kisah lain yang aku tulis.

Aku memang menyiapkannya tidak sampai 20 part.

Aku harap kalian menyukai part ini. Silahkan vote dan kirimkan komentar untukku.

Sampai jumpa!
Salam manis,
Ans Caniago

06 Oktober 2021

Blessure (End)Where stories live. Discover now