🥀 8 🥀

3.3K 476 168
                                    

Banyak hal di dunia ini yang ingin Dava genggam dengan tangan mungilnya. Meski umurnya masih sangat muda, keadaan mengharuskan Dava berpikir dewasa. Keadaan memaksa Dava keluar dari zona nyamannya. Kala anak seusianya masih merengek manja ingin ini dan itu, maka Dava hanya akan mengatupkan bibirnya jika menginginkan sesuatu. Disaat anak seusianya bisa bebas mengadu dan membagikan perasaan pada orang tua mereka, maka Dava akan menyimpannya sendirian.

Lukanya, sedihnya, senangnya, tidak ada yang peduli. Tidak ada yang ingin mendengarkan dirinya. Maka, saat melihat Sean tertawa senang bermain dengan teman sebayanya saat ini, hal itu berhasil membuat Dava ingin menangis keras. Dava hanya duduk tidak jauh dari mereka, memperhatikan tanpa ada yang mau mengajaknya bermain, bahkan Sean sekalipun.

Dari awal Sean datang, Dava setidaknya sadar dunianya dan Sean jelas jauh berbeda. Sean memiliki segalanya sedangkan Dava bahkan tidak punya apapun untuk menopangnya. Wajar, kan, kalau Dava terlalu banyak iri pada Sean?

Sejauh ini, Sean memang tidak pernah berlaku nakal pada Dava. Tetapi terkadang sikap adiknya itu seolah menunjukkan bahwa Sean tidak memiliki saudara. Pernah satu waktu, Dava memiliki mainan pesawat yang diberi Dino tetapi Sean memintanya. Padahal jika Sean meminta pada Bima, pasti akan dibelikan yang lebih bagus. Akhirnya, pesawat itu menjadi milik Sean.

"Hey, adik manis. Kenapa enggak ikutan main?" tanya wanita berkerudung biru yang baru saja duduk di samping Dava.

"Enggak apa-apa, Tante," jawab Dava disertai senyuman hangat.

"Nama saya Livi, kamu lihat anak yang bajunya warna hitam itu?" tanya Livi menunjuk seorang anak laki-laki berkulit sawo matang. Dava mengangguk pelan.

"Itu anak saya. Namanya Dello. Ah, iya kamu mau nasi goreng sosis? Tante kebetulan bawa banyak tadi," tawar Livi sembari membuka kotak bekal yang memang berisi nasi goreng sosis. Dava melihatnya dengan mata berbinar.

"Tapi, Dello gimana, Tan?"

Livi tersenyum kemudian menyerahkan sendok dan kotak bekal itu pada Dava.

"Makan aja. Punya Dello ada kok."

Dava tersenyum senang kemudian mengucapkan terima kasih. Tidak lupa berdoa kemudian Dava mulai menyantap nasi goreng itu.

"Gimana? Enak, kan?"

"Iya, nasi gorengnya enak banget, Tante," balas Dava senang dengan mulut penuh mengunyah nasi goreng sosisnya.

"Habiskan, ya," tutur Livi yang di angguki Dava. Beberapa saat kemudian nasi goreng itu habis. Dava tersenyum dan membantu Livi membereskan bekalnya.

"Makasih banyak, ya, Tante. Dava kenyang sekarang," kekeh Dava dengan raut wajah menggemaskan.

"Sama-sama. Kalau gitu Tante sama Dello pulang duluan, ya. Ayahnya Dello uda nungguin di rumah," pamit Livi kemudian menggandeng lengan Dello yang sempat melambaikan tangannya pada Dava.

Dava tersenyum sendu melihat Livi dan Dello. Pasti rasanya menyenangkan kalau bundanya masih hidup. Dava pasti tidak akan kesepian.

"Kamu yang curang!" seru suara anak laki-laki yang membuat Dava lantas mendekat. Dava kaget saat melihat Sean sudah menangis terduduk. Dava langsung membantu adiknya dan memegang lengan Sean dengan erat.

"Kenapa bisa jatuh?" tanya Dava pada Sean yang masih menangis.

"Hiks dia yang dorong Sean duluan!"

"Bohong! Kamu yang dorong aku duluan!" teriak anak itu dengan geram dan wajah merah padam. Akibat teriakan itu orang tua anak itu datang dan menanyai anaknya.

"Dia mainnya curang makanya Sean dorong!" balas Sean tidak mau kalah. Ibu anak itu geram lantas mendekati Sean.

"Dasar anak nakal! Apa orang tuamu mengajarimu untuk berlaku kasar pada orang lain, hah?!" bentak wanita itu membuat Dava langsung pasang badan melindungi adiknya.

"Dava minta maaf, Tante. Sean, ayo minta maaf," tegur Dava membuat Sean menggeleng keras.

"Sean enggak salah!" teriak anak itu tidak terima. Tetapi, Dava meyakinkan Sean bahwa tidak masalah meminta maaf meski salah atau tidak.

"Sean hiks minta maaf, Tante," ujar Sean dengan tangis yang belum berhenti.

"Dasar! Besok-besok kalian tidak usah main sama dia lagi!" seru wanita itu kemudian menarik anaknya pergi. Beberapa anak yang tadi bermain bole dengan Sean juga membubarkan diri.

Dava kemudian menarik lembut lengan adiknya. Membawanya duduk dan membersihkan telapak tangan Sean yang berdarah tergores batu-batu kecil.

"Kakak, maaf," ujar Sean penuh sesal saat melihat kakaknya yang di marahi oleh wanita tadi.

"Uda jangan nangis. Kita pulang sekarang, ya?"

Sean mengangguk. Mereka berjalan beriringan dengan Dava yang menuntun adiknya dengan hati-hati. Jika orang-orang melihat mereka pasti berpikir Sean dan Dava adalah saudara yang dekat. Tetapi, nyatanya tidak begitu. Dava selalu berusaha membantu Sean saat kesulitan meski saat bahagia adiknya tidak mengingat dirinya. Dava tidak menyalahkan Sean. Hanya saja, Bima terlalu memanjakan hingga membuat Sean memiliki sisi egois yang kuat.

"Ya ampun, ini tangan adek kenapa bisa begini?!" pekik Suci saat melihat telapak tangan Sean yang luka. Mereka baru saja tiba dan Suci yang kebetulan ada di teras langsung tau saat melihat goresan di telapak tangan anaknya.

Bima yang mendengar keributan langsung keluar disusul oleh Lasmi dan Barta.

"Ada apa ini?" tanya Lasmi bingung.

"Lihat, Ma. Baru aja main ke taman sama Dava uda lecet begini tangan adiknya!" seru Suci kesal tanpa sadar membuat Dava dalam masalah.

Bima mengecek telapak tangan Sean, kemudian Bima menatap Dava yang menunduk.

"Bawa Sean ke dalam," perintah Bima tetapi Sean menolak.

"Ayah, ini salahnya Sean jangan hukum kakak."

"Masuk ke dalam, Sean!" tegur Bima. Lihat, kan? Bima yang membentuk karakter Sean. Mungkin di masa depan Sean bahkan tidak akan pernah merasa bersalah atas apapun.

"Kamu ini memang nyusahin, ya! Jaga adik kamu aja enggak bisa! Dimana mata kamu, hah! Kenapa tangannya Sean bisa luka begitu?!" bentak Bima seraya mencubit lengan Dava. Dava menangis seraya meringis merasakan cubitan Bima.

"Dasar sampah! Benar-benar tidak berguna!"

Dava memekik saat tubuhnya sudah terduduk akibat di dorong Bima.

"Jangan berani mmenunjukkan wajahmu di depanku!"

Bima masuk ke dalam dengan emosi yang menggebu. Sementara Dava masih diam pada posisinya. Kedua tangan mungilnya menghapus pelan air mata yang terus mengalir. Bahkan saat Dava sudah seperti itu, Lasmi memilih masuk ke dalam rumah diikuti Barta.

Dava terisak dengan tangan yang mengelus pelan bekas cubitan Bima. Kenapa ayah sangat membencinya? Dava tidak melakukan kesalahan besar tapi kenapa ayah tidak bisa menyayanginya?

"Hikss...Bunda, Dava mau ikut Bunda aja," lirih Dava dengan tangisan yang menyayat hati.

Sementara itu, Dino yang baru saja ingin memanggil Dava untum bermain terdiam di pagar rumah Dava. Menyaksikan sendiri bagaimana Dava diperlukan tidak baik oleh keluarganya.

••••••

Halo, aku kembali!😭

Enggak bosan aku bakal bilang, tetap jaga kesehatan, jaga jarak, dan selalu pakai masker.

Spam next, bisa, kan?💜

Kalau komennya membangun semangat aku dan bintangnya juga ditekan aku bakal segera update.

Sebenarnya enggak masalah kalau yang baca sedikit asal kalian suka. Tapi, komentar yang memberi semangat lebih berarti buat aku.

Salam manis,
Ans Chaniago

19 Agustus 2021

Blessure (End)Donde viven las historias. Descúbrelo ahora