Masalah

200 8 0
                                    

"Tidak semua kejahatan yang kamu lihat adalah kejahatan, lihatlah dengan hatimu maka kau akan mengerti."

"Tasya, kamu mau kemana?"

"Aku keluar bentar ..., menikmati pagi." Aku menjawab tanpa melihatnya dan berlalu pergi.

Aku menikmati pedesaan ini, jalan setapak yang belum beraspal lebar jalan hanya cukup untuk satu kendaraan bermotor, jalanan basah karna dibasahi hujan semalam. Rerumputan ditepian jalan terlihat pasrah pada rajutan jaring yang dibuat oleh embun. Hijaunya padi di sawah yang terlihat menyejukan mata terlihat beberapa petani sedang menaburkan sesuatu kesawah itu, banyak juga orang yang berlalu lalang dengan berjalan kaki terlihat seperti sedang menjalankan hidup sehat.

Desa ini tidak pernah berubah, sawah yang selalu di tanami padi, perbukitan yang dipenuhi berbagai macam tanaman pertanian menghijau menyejukkan pandangan. Kicauan burung Pipit yang berbagi tugas untuk memanen butir-butir padi menambahkan irama alam yang selalu membuatku tidak pernah bosan. Disini aku merasa ingin hidup lebih lama lagi.

"Tasya ...," terlihat seseorang melambai memanggil nama dan menghampiriku dengan sedikit berlari." Kamu disini toh, capek nyarinya tau," dengan nafas yang tidak teratur.

"Dini, ngapain kamu disini?" Tanyaku tanpa menghiraukan dini yang terlihat sangat kelelahan.

Dini merupakan sekretaris ku dan juga sahabatku hanya dia yang tau diriku hingga ke akar. Dini sangat pandai mencari ku meski aku bersembunyi hingga ke ujung dunia sekali pun.

***
"Pulanglah, dek ini semua sudah cukup!" Seru Kakakku setelah mendengar penjelasa dari Dini.

"Belum waktunya." Jawabku singkat membuat Kakak dan Dini menatapku sinis.

"Berhentilah bersembunyi, lari dari masalah bukanlah solusi, hadapi masalah itu maka kamu akan tau dari mana sumber masalah itu." Tambah Dini mengkompori suasana seolah menasehati ku seperti motivator yang hebat.

Benar, aku lari dari masalah. Banyak hal yang aku lewatkan untuk menghindari masalah yang terjadi belakangan ini. Aku melarikan diri beralasan hanya ingin mengunjungi Kakak angkatku yang saat ini memilih tinggal di desa.

"Pergi, selesaikan masalahmu baru kembali ..., Kakak rasa sebulan adalah waktu yang cukup untuk kamu melarikan diri." Seru Kakak kepadaku dengan menunjukan wajah kekesalan yang baru aku lihat hari ini. Dia serius dengan ucapannya.

***
Mobil yang aku tumpangi memasuki gapura menunjukan sebentar lagi aku akan menjalankan kehidupan yang kacau lagi. Baru saja masuk aku harus kesal dengan kemacetan, udara yang tidak bersahabat, silau cahaya mentari pagi yang dipantulkan oleh ribuan kaca-kaca pencakar langit memaksa masuk kedalam mobil. Aku seperti ingin mati sekarang saja.

Dini hanya tersenyum iba menonton kekesalanku yang sedari tadi tidak berhenti mengumpat pada waktu.

"Aku mulai membenci pagi." Umpatku dengan wajah kekesalan yang dapat kulihat dari kaca spion.

***
Dini memberiku banyak map yang harus segera aku tanda tangani, aku ingin mengelak tapi ia menatapku sinis. Kadang aku heran siapa sebenarnya yang pemimpin kenapa aku patuh padanya.

Dini memberiku banyak saran dan perbaikan. Ya, aku meninggalkan usahaku disaat usahaku mengalami masa kejayaan. Aku memang bodoh, mungkin.

***
Pagi yang tidak kurindukan beberapa hari aku disibukan dengan kertas-kertas persetujuan dan kini aku harus datang langsung kekantor. Gedung pencakar langit berada di hadapanku disini tempat aku merajut asa. Perlahan langkah kaki ini berat rasa malu yang menghantuiku. Apa kata mereka jika aku tiba- tiba datang, tidak ini semua milikku siapa yang akan menghinaku.

Antalogi cerpenDonde viven las historias. Descúbrelo ahora