12 - Amira

1.8K 125 32
                                    


Happy Reading

"Drun, bangun."

Badrun akhirnya menggeliat, merenggangkan tangannya. Ia terbangun dari tidurnya setelah tubuhnya digoyang - goyangkan, ia melirik jam tangannya. 04.30. suara adzan sayup - sayup terdengar dari kejauhan. Lalu melirik seseorang yang membangunkannya. Mira dengan senyuman manisnya. Ia memakai sarung sampai menutupi mata kaki.

"Subuh dulu. Aku udah."

"Iya, Mir."

"Mau minta kamu imamin, tapi kamarnya ga muat." Mira menunduk malu.

"Kapan - kapan ya?" Badrun membalas senyuman Mira. Ia beranjak dan menggandeng tangan Mira masuk ke dalam menuju kamarnya.

"Aku udah baca we a kamu," bisik Mira.

Badrun menganggukkan kepalanya saja, ia masih mengantuk. Baru bisa memejamkan mata pukul dua malam. Di dalam kamarnya, sudah ada teh manis panas dan semangkuk kecil bubur putih polos yang masih mengepulkan asap panas. Sajian yang setiap pagi Mira sempatkan masak untuk dirinya. Itu saja sudah membuatnya bahagia.

"Mau disuapin?" tanya Mira usai Badrun menunaikan kewajibannya. Mira menunggui di luar kamar yang pintunya sengaja dibuka.

"Ndak masak?"

"Nanti. Suapin kamu dulu. Masih ada waktu. Boleh kan?" Mata Mira begitu teduh menatap Badrun.

"Iya mau."

Mira telaten menyuapi bubur. Meniup kepulan asap baru memindahkan isi sendok ke dalam mulut kekasihnya.

"Kampung kamu di pelosok ya?" tanya Mira.

"Ya jauh. Tapi jalannya mulus, jadinya cepet naik motor atau mobil. Rumah Ibu di pinggir jalan. Kampung kamu?"

"Pelosok. Jalannya masih batu - batu kasar. Dari stasiun kira - kira dua jam lebih. Rumah Ibu sama Bapak lantainya juga masih tanah. Kamu?"

"Dulu Yori yang minta di keramik. Malu kalo temen - temennya main. Ngga bisa goleran di lantai. Dia ngga boleh main jauh jadi hobi ngumpulin temen. Biar rame, biar temennya pada jajan di warung Ibu." Badrun terkekeh.

"Haha, Yori pinter."

"Ya gimana, kalo Yori main, Ibu kesepian. Nanti mau minta tolong siapa," ujar Badrun menerima suapan terakhir buburnya.

"Aku, dari dulu ngga pernah tahan di rumah. Selalu sekolah dianggap beban. Buang - buang uang. Dibilang ujung - ujungnya nikah juga. Ke dapur juga. Padahal aku ya seneng ketemu temen - temen, main."

"Kamu jarang di rumah?"

"Selama tiga tahun SMP, aku selalu pulang telat. Alasannya ada kegiatan ini itu. Di rumah rasanya begah. Ndak pernah nyaman. Sampe rumah aja pura - pura sibuk sama tugas sekolah, padahal udah selesai."

"Ibu sama Bapak selalu ngomongin nikah ya?"

"Hampir setiap hari, bandingin sama anak tetangga yang nikah muda, dapet bandot kaya. Hidupnya makmur, punya harta. Itu kan yang diliat orang, bukan yang dia rasain. Cuma ndak berani ngungkapin isi hatinya. Takut. Jadi hidupnya pura - pura bahagia."

Terdengar suara berisik dari arah dapur, sepertinya Bu Richard sudah bangun.

"Aku ke dapur ya?"

Belum Mira beranjak, Badrun memegangi kedua sisi kepala Mira, dibelai dengan kedua tangannya. Diusap lembut pipi Mira. Gadis itu memejamkan matanya, ritual ini sudah rutinitas. Badrun mengecupkan bibirnya di kening dan hidung mancung Mira. Terakhir mengelus poni rambut Mira. "Aku akan selalu ada di sisi kamu, Mir."

Bidadari Badung 3 [END]Where stories live. Discover now