12

1.2K 190 10
                                    

Sabtu, 02 Maret 2024

Seluruh pembaca karya tulisku aku panggil Hamia

Kalo kamu mau panggil aku apa?

🌾🌾

Happy reading, Hamia✨

Kendaraan mewah terparkir secara acak tak beraturan di pekarangan rumah Arta yang luas. Semua itu karena ulah teman-temannya. Memang dasar mereka itu selalu sembarangan. Bahkan dirinya di sini masih mengutak-atik ponsel, mereka sudah masuk lebih dulu dan caper pada maminya.

Arta abai. Biarkan saja mereka berbuat semaunya. Setelah rampung sedikit urusan dengan anggota Kompeni dari kelas 10 tadi, ia beranjak turun dari mobil dan ternyata ada Reza yang masih menunggunya. Tak salah menjadikan Reza wakil untuknya. Cowok itu patuh dan sangat setia.

"Hai, Tante. Makin cantik aja." Belum apa-apa Yoyon langsung menggoda Zahra, mami dari bosnya itu. Yoyon tebak ketika masa sekolah dulu Zahra ini adalah primadona sekolah. Sudah tua begini saja masih kinclong, padat, dan cantik.

Kebetulan Zaki berjalan keluar bersama Sabila, putri bungsunya yang minta diajari berenang karena ada praktik minggu depan. Mendengar godaan Yoyon kepada istrinya tentu saja ia mendelik pada bocah remaja yang masih bau ingusan itu.

"Masuk rumah orang tuh salam dulu. Ulang-ulang! Saya gak mau ya kalian masuk bawa setan dan aura-aura jahat!" kata Zaki sinis yang langsung dituruti oleh tiga serangkai Kompeni yakni Rehan, Ari, dan Yoyon. Kecuali Edo yang langsung duduk di sofa.

Zaki sih sudah biasa dengan kelakuan sahabat putranya yang satu itu. Dingin tak banyak omong. Biarkan sajalah, mungkin dia sudah salam tapi tidak kedengaran. Yang patut dicurigakan itu tiga serangkai ini. Bobrok soalnya!

"Assalamu'alaikum warohmatullahi wabarokatuh!!" seru mereka keras-keras. Akhirnya masuk berbarengan dengan Arta dan Reza.

Intonasi macam orang hendak tausiah itu membuat Sabila terbahak kencang. Berbeda dengan Zahra dan Zaki yang geleng-geleng kepala melihat hal itu. "Wa'alaikumussalam," jawab mereka.

Yoyon meraih vas bunga di atas meja. Ia menjadikan itu sebagai mikrofon KW. "Baik, karena jawabnya kurang bersemangat, maka akan saya ulangi lagi." Terjeda sejenak, Yoyon menarik napas dalam-dalam.

Dengan raut sendu ia melantang. "ASSALA-"

"Heh, heh!" tegur Zaki menunjuk-nunjuk wajah Yoyon. "Duduk kamu, jangan berisik!"

"Itu vas bunga Tante jangan diangkat-angkat kayak gitu! Sampai pecah awas aja kamu!" ancam Zahra membuat Yoyon langsung aktifkan mode kalem.

"Mau latihan berenang?" Perhatian Rehan teralihkan pada Sabila, adiknya Arta. Melihat pakaian yang dikenakannya sudah persis orang mau berenang.

Sabila mengangguk yang langsung dibalas Rehan dengan senyuman miring. "Biar gue aja yang ajarin, Om."

Zaki menelisik sebentar. Di antara teman-teman Arta, yang paling dekat dengan Sabila itu ya Rehan ini. Dia anak tunggal di keluarganya yang kaya raya itu. Ingin punya adik, tapi tak kunjung diberi oleh orang tuanya yang maniak kerja. Itu sebabnya ia sudah menganggap Sabila sebagai adiknya sendiri.

"Aman nggak nih?" tanya Zaki memastikan. "Jangan macam-macam ya kamu. Rumah saya ini penuh CCTV!" ancamnya tak main-main.

Rehan hanya membalas dengan kekehan ringan merasa tak masalah dengan tuduhan aneh itu. Justru Sabila yang merasa kesal pada papinya. Bisa-bisanya bicara begitu pada kak Rehan. Macam tak tahu saja Rehan itu siapa.

"Apa sih, Pi!" sungutnya. "Ini abang Sabila yang kedua tauu!!" ujarnya yang langsung memeluk Rehan dari samping.

"Ya udah, sana latihan. Pokoknya praktik harus dapat seratus. Nggak seratus berarti Rehan nggak pro jadi pelatih."

Rehan melotot. "Damn?! Mana ada tugas praktek dapat seratus. Walau sejago apa pun. Paling mentok 85."

Sabila menarik Rehan agar segera ke kolam renang samping rumahnya mengabaikan ocehan tak jelas papinya itu.

"Nggak kerja, Om?" tanya Ari mencomot yupi burger dari toples yang ada di depannya.

"Kenapa tanya-tanya? Mau bantuin?"

Ari mendengus. "Bantuin orang tua sendiri aja mager, mau bantuin Om kerja. Masa remaja gini enaknya sih nikmatin kebebasan dulu lah!"

"Edo ini contoh. Bagus dia. Tuh, ngotak-ngatik ponsel kerja bantuin papanya di perusahaan. Bagus itu sedari muda udah berbisnis. Sukses itu gak mandang usia."

Selalu begini. Kalau ke rumah Arta pasti Edo selalu jadi bahan kebanggan Zaki.

"Belum pada makan, 'kan?" Pertanyaan dari Zahra itu langsung mendapat jawaban gelengan antusias dari semuanya. Zahra pun suka sekali memberi makan anak-anak remaja ini. Seru saja melihat mereka makan dengan lahap. Jika teman-teman Arta datang ke rumah maka suasana rumah akan lebih hidup.

"Yuk ke meja makan. Habisin makanan Tante."

"Eh, Om mau kemana?" tanya Reza melihat papi dari bosnya itu malah beranjak ke lain arah. "Nggak makan bareng kita?"

"Saya masih banyak kerjaan. Lagian kami sekeluarga juga sudah makan tadi. Kalian gak bilang dulu kalau mau datang."

Reza nyengir.

Mereka langsung gas ke meja makan dan ambil tempat duduk, anteng macam raja menunggu Zahra melayani mereka semuanya.

"O, ya. Rehan gak diajak makan?" tukas Ari.

"Coba telpon deh," saran Yoyon. Namun sayangnya tak diangkat membuat mereka menghela napas.

"Susulin," ujar Arta yang langsung disambut muka nelangsa dari teman-temannya itu. Pasti mager dan tak ada yang mau.

Akhirnya mereka makan bareng tanpa menunggu Rehan. Biarkan saja cowok itu, paling nanti kalau mau makan bisa ambil sendiri, 'kan?

Edo selesai lebih dulu. Dia beranjak pergi lebih dulu meninggalkan teman-temannya yang masih berkumpul di meja makan.

"Ibunda ratu nelpon," ungkap Reza tadi tak sengaja melihat panggilan di ponsel Edo dengan username 'love' Sudah pasti Aurel.

Merasa sudah menyingkir cukup jauh dan privasinya aman, Edo mengangkat panggilan itu. "Sayang kamu di manaa?"

Baru saja mengangkat panggilan suara lembut Aurel yang menanyakan keberadaannya sudah terdengar.

🌾🌾

Terima kasih sudah membacaa✨🧡

Gak jelas banget chapter ini sumpah

Ketua OSISTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang