Part 9

1.3K 191 34
                                    

Tak bisa di pungkiri jika mereka sangat merindukan tempat yang sudah dua tahun lebih mereka tinggalkan. Tak ada yang berubah, semua masih sama seperti terakhir mereka tinggalkan. Rumah mewah keluarga Hwang. Rumah itu masih di huni beberapa asisten rumah tangga yang sengaja mereka pekerjakan untuk merawat rumah mereka. Lisa menolak saat kedua orang tuanya berniat untuk menjual rumah itu. Menurut Lisa terlalu banyak kenangan hingga ia tak rela kehilangan rumah itu.

Berdiri sejenak lalu menatap bangunan tak terlalu megah tapi mewah di hadapannya, pria empat anak itu menghembuskan nafas lelah. Perjalanan yang cukup melelahkan untuknya. Apalagi sebelumnya ia harus menyelesaikan tumpukan pekerjaan agar tak mengganggu selama ia berada di Indonesia.

"Kau merindukan suasana di sini?"

Ucapan Tiffany membuyarkan lamunan Donghae. Tiffany terlihat berjalan menghampirinya.

"Fanny, ku rasa kita sudah mengambil keputusan yang salah."

Tiffany mengerti maksud ucapan suaminya. Saat dulu mereka berencana untuk pindah, mereka sama sekali tak memberi tahu Yeri. Mereka kira Yeri akan tetap bersama mereka. Tapi ternyata Yeri memilih kembali pada keluarga kandungnya sebelum mereka sempat mengajak Yeri pindah.

"Mungkin jika dulu kita lebih cepat pindah, Yeri masih tetap bersama kita. Dan kecelakaan itu tak akan terjadi."

Membayangkan bagaimana parahnya kondisi Yeri hingga anak angkatnya itu koma selama dua tahun lebih. Dan lebih parahnya lagi, ia sama sekali tak mengetahui kejadian itu. Membuatnya merasa menjadi Ayah yang buruk untuk anak-anaknya.

Tangan Tiffany terulur, mengusap lembut bahu tegap suaminya. Dirinya masih ingat saat kemarin untuk pertama kalinya Donghae menangis di hadapannya. Pria itu benar-benar menyesal atas kesalahannya pada Yeri.

"Bagaimanapun kita tak akan mampu melawan takdir. Setidaknya Tuhan masih memberi kita kesempatan untuk meminta maaf pada Yeri."

Donghae menatap Tiffany. Wanita yang  sudah mendampinginya selama hampir 30 tahun. Hanya Tiffany yang mampu menenangkan hatinya. Ia meraih tubuh istrinya untuk ia dekap.

"Menurutmu, apa Yeri akan memaafkan kita?" tanya Donghae masih dengan mendekap Tiffany.

"Yeri anak yang baik. Meski aku tak yakin kesalahan kita bisa di maafkan."

......

"Awssh..."

Joy menghentikan pergerakan tangannya yang sedang mengobati luka di lengan Jisoo.

"Lebih baik kita ke rumah sakit. Mengapa kau keras kepala sekali." ucap Joy kesal. Gadis itu sudah berulang kali mengajak Jisoo ke rumah sakit. Namun sulung Hwang itu menolak. Joy sempat menyesali kecerobohannya hingga mengakibatkan Jisoo terserempet motor. Meski petugas kesehatan kampus yang memeriksa Jisoo mengatakan jika tak ada luka serius, tetap saja melihatnya membuat Joy ngilu.

"Kau tadi dengar sendiri kan tak ada yang perlu di khawatirkan." ucap Jisoo di sela menahan rasa sakit di beberapa bagian tubuhnya. Sudah di pastikan ia akan mendapat tanda biru keunguan besok.

"Tapi sedari tadi kau tidak berhenti merintih. Pasti sangat sakit."
Joy kembali mengobati luka Jisoo. Tentunya dengan lebih hati-hati.

"Bukankah kau sudah mengobatinya. Ini akan membaik besok." ucap Jisoo mencoba meyakinkan Joy bahwa ia baik-baik saja. Dalam hati ia bersorak senang. Meski harus dengan mengalami insiden tak mengenakkan, setidaknya hal itu mampu membuat hati Joy luluh. Jisoo tersenyum melihat raut kekhawatiran dari wajah Joy.

"Seharusnya kau tak mengejarku tadi."
Joy menutup luka Jisoo dengan perban coklat. Tak begitu buruk, ia cukup berpengalaman menangani luka karna dulu sempat menjadi anggota PMR.

PROMISE 2Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt