Bab Enam : Hadiah yang Hancur

115 11 8
                                    

"Jangan bodoh, semua masalah tidak akan selesai hanya dengan tidur saja!"

~Rosediana~


Seorang gadis berkulit putih berjalan keluar dari kelas setelah seisi kelas kosong. Ia berjalan santai menuju parkiran. Gadis itu bingung karena sepedanya tidak ada di tempat. Gelisah mulai melanda. Matanya menyorot setiap sudut parkiran dan berhenti pada satu titik. Sepedanya telah hancur tidak berbentuk.

Gadis itu berlari dengan mata berkaca-kaca. Ia terduduk dengan memeluk kerangka sepedanya. Beruntung area parkir sangat sepi, sehingga tidak ada yang melihatnya meneteskan air mata. Betapa hancur dan sakit hatinya melihat sepeda kesayangan pemberian terakhir dari mendiang ayahnya yang masih ada hingga saat ini telah hancur.

Tanpa sepengetahuannya, dari kejauhan, Meteor dan keempat temannya  sedang mengamati gadis itu. Mereka tertawa melihat penderitaan gadis nelangsa itu.

Gadis itu bangkit dan memungut bagian-bagian dari sepedanya. Dengan susah payah ia menuntun dan membawa sepeda tersebut menuju tempat ia berteduh dari terik sinar matahari dan guyuran hujan juga salju.

Tak jauh dari jalan yang telah dilalui gadis itu, Meteor dan teman-temannya mengikuti dengan mobil miliknya. Tepat ketika gadis itu sampai di depan rumah, ibunya sedang memangkas daun bunga yang layu. Perempuan paruh baya tersebut berjalan menuju gerbang kayu reot rumahnya untuk menyambut anak gadisnya. Perempuan tersebut iba melihat kondisi anaknya yang begitu suram.

Tubuhnya basah karena menembus butiran salju yang menyentuh anggota badannya dari sekolah sampai di rumah yang berjarak lebih kurang enam kilometer. Wajahnya pucat yang diakibatkan oleh dinginnya cuaca dan duka yang melanda jiwa.

Gadis malang yang berjalan dengan menunduk mulai mengangkat kepalanya saat ia melihat sepasang sepatu yang dikenalinya tengah digunakan untuk menopang tubuh seseorang di hadapannya. Wajahnya datar, tidak menunjukkan raut senang karena disambut oleh ibunya.

Suara tamparan terdengar begitu ngilu di telinga. Meteor dan teman-temannya tertawa. Mereka merasa puas hanya karena satu hal dapat berdampak banyak di kehidupan gadis itu.

“Apa yang kamu lakukan, Alura?!”

“Apa kamu lupa bahwa sepeda ini pemberian ayahmu sebelum beliau meninggal?”

“Dasar anak tidak tahu diri!” Suara tamparan kembali terdengar.

Suara Mrs. Rosdiana  terdengar begitu kecewa. Seketika Meteor terdiam. Ternyata ia telah merusak dan menghancurkan hadiah dari mendiang ayah Alura.

**

Jarum jam terus berputar menunjukkan bahwa sudah pukul lima sore. Alura baru saja sadar dari alam bawah sadarnya. Ia tidur masih mengenakan seragam sekolah yang basah.

Setelah menggeliat beberapa detik, ia beranjak dari tempat tidurnya. Ia berjalan menuju lemari pakaian minimalis yang terbuat dari kayu jati berwarna cokelat yang terlihat sudah tua. Ia mengambil beberapa helai pakaian tebal berbahan linen yang berfungsi untuk menghangatkan badan.

Ia sengaja tidak mandi karena kondisi fisiknya yang tidak memungkinkan untuk mandi. Tubuhnya sangat panas akibat dari melawan salju yang tidak sebanding dengan metabolisme tubuhnya siang tadi.

Ia melangkah menuju tempat dimana ia dapat mengisi perutnya yang kosong. Di meja makan terdapat sebuah tudung saji, namun ketika Alura membukanya ternyata masih kosong. Ia beranggapan bahwa ibunya masih belum masak untuk makan malam.

Ia beralih pada sebuah kulkas yang berdiri kokoh selama  sepuluh tahun terakhir. Sebuah tangan mencegahnya untuk membuka pintu lemari es tersebut. Alura mengalihkan pandangannya, ternyata sang ibu.

“Mau makan?” Mrs. Rose mengeluarkan smirk di sudut bibirnya.

“Enak saja! Aku tidak rela pemberian dari suamiku hancur begitu saja dengan kamu yang sama sekali tidak merasa bersalah. Tidur berjam-jam tanpa mengganti pakaian. Jangan bodoh, semua masalah tidak akan selesai hanya dengan tidur saja!”

Alura menatap tajam ibunya. Asal sekali dia berbicara. Hatinya sedang hancur, tapi Mrs. Rosdiana malah membuatnya naik pitam.

Sebuah gelas kaca tergeletak di samping kulkas. Tangan kirinya mengambil gelas yang masih berisi sedikit air putih. Pada ruangan yang semakin memanas, Alura melempar gelas tersebut ke lantai yang berwarna putih. Kepingan kaca terhempas ke segala arah.

Alura berjalan dengan amarah yang meronta-ronta ingin disampaikan. Ia hendak kembali ke kamarnya, menggoreskan tinta hitam pada diary-nya. Mrs. Rosdiana yang kalap menarik rambut panjang Alura.
Kepalanya terasa perih dan sakit. Tangannya mencengkeram tangan milik ibunya agar segera dilepaskan. “Berani sekali kamu!”

Alura hanya diam saja menahan rasa sakit. Ia gadis yang tidak suka banyak bicara setelah kematian ayahnya. Dulu, Alura kecil merupakan gadis yang paling bahagia.  Setiap pulang dari bekerja Mr. Dybala  selalu datang ke kamar Alura kecil untuk menceritakan sebuah cerita yang tidak pernah ada di buku dongeng. “Cerita ini daddy buat khusus untuk gadis manis berhati malaikat.”

Sore itu Alura kecil tidak mau makan bila bukan ayahnya yang menyuapi, hal itu membuat Mrs. Rosdiana marah. Alura kecil menangis karena Mrs. Rosdiana meninggalkannya begitu saja di taman dekat rumahnya.

Untungnya kala itu musim semi, seseorang banyak berlalu lalang di sana untuk melihat bunga tulip yang bermekaran. Laki-laki seumuran ayahnya datang menghampirinya.

“Hai, gadis cantik. Kenapa wajahmu terlihat bersedih?” tanyanya.

“Ibuku marah dan aku ditinggal sendiri di sini.” Alura yang masih berusia delapan tahun menjawab dengan jujur.

“Kamu tahu alamat rumahmu?” Alura kecil mengangguk.

Tuan baik hati itu mengantarkan Alura kecil ke kediamannya. Sifat tuan baik hati yang ramah dan easy going membuat Mrs. Rosdiana melunak. Sayangnya, hak itu tidak bertahan lama ketika Mrs. Rosdiana kembali mendapat penolakan dari Alura kecil karena enggan ia suapi.

Alura tak henti-hentinya menangis karena didiamkan oleh sang ibu. Pada pukul setengah delapan malam ayahnya pulang.  Melihat putrinya menangis, Mr. Dybala menghibur Alura kecil dengan mengajaknya berlibur. “Jangan menangis, besok kita akan pergi melihat bunga bangkai yang mekar pertama kalinya di kota Toronto.”

Alura kecil bersorak gembira. Kesedihannya sirna begitu saja.

“Sejak kapan kau menjadi bisu, ha?!”

Wanita paruh baya itu menjambak rambut Alura sangat kencang. Beberapa helai rambutnya terlepas dari kulit kepala.

Ia menarik paksa Alura ke dalam kamar mandi. Tangannya memegang leher Alura. Ia memasukkan kepala Alura ke bak mandi. Alura yang memberontak terus dipukul menggunakan gayung.

Beberapa menit setelahnya, tidak ada lagi pemberontakan dari Alura. Gadis itu diam tidak bergerak.



*

*

Terimakasih sudah membaca cerita Timbal Balik

Wajib tinggalkan vote + komen

Silahkan bantai ceritaku dengan kritik dan saran

Jangan lupa follow instagram

Putrialyaas_


Wednesday, November 04, 2020

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Nov 04, 2020 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Timbal BalikWhere stories live. Discover now