DUA PULUH TIGA: Tersirat

85 9 4
                                    

Pagi-pagi sekali Cakka sudah berdiri di depan rumah Agni. Dia berniat mengajak Agni jalan pagi, sekaligus meminta maaf karena kelakuan anehnya semalam. Semalaman dia merasa bersalah karena marah tidak jelas pada gadis itu, padahal gadis itu tidak tau apapun. Cakka melongokkan kepalanya untuk melihat situasi rumah Agni. Masih sepi. Pagar rumah Agni bahkan masih tergembok. Padahal biasanya pagi-pagi seperti ini ibu Agni sudah sibuk dengan tanaman kesayangannya. Kalau seperti ini, kemungkinan besar orang tua Agni sedang tugas keluar kota lagi.

Cakka melirik handphonenya, tadi dia sempat mengirimkan pesan pada gadis itu, tapi belum ada balasan sama sekali.

"Gak mungkin Agni belum bangun" gumamnya sendiri. Dia sudah hapal diluar kepala kebiasaan Agni yang selalu bangun pagi, bahkan ketika hari libur seperti ini.

Baru saja Cakka berniat menelpon gadis itu, terdengar suara pintu terbuka dari rumah Agni. Agni muncul dengan rambut masih tergerai, lengkap dengan celana training dan baju kaos polos yang sedikit kebesaran di badannya. Agni berjalan menuju rak sepatu, mengambil sepatu olahraganya, lalu membawanya ke kursi terdekat. Nampaknya gadis itu belum menyadari keberadaan Cakka yang sedang mengamati gerak-geriknya dalam diam.

Agni mengenakan sepatunya dengan cepat. Saat mengangkat pandangannya dan melihat kearah pagar rumahnya, Agni berjengit kaget.

"Cakka! Lu ngagetin tau gak! Sejak kapan lu berdiri disitu?" omel Agni sembari membuka pagar rumahnya. Cakka hanya terkekeh melihat ekspresi kaget Agni, bahagia dan lega sekaligus. Bahagia karena bisa sedikit mengerjai gadis itu—hingga mengomel, serta lega karena ternyata gadis itu tidak marah padanya.

"Dari tadi, Ag. Lu mau ke taman 'kan? Bareng yuk" ajak Cakka, masih memamerkan cengirannya. Agni melipat tangan di depan dada dan menatap Cakka dengan menyipitkan mata.

"Lu aneh tau ngga. Semalam ngambek gak jelas, sekarang malah ngajak ke taman bareng. Lu sehat kan?" Cakka menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, pemuda itu lalu berjalan ke sebelah Agni dan melingkarkan tangannya di pundak gadis itu.

"Sorry ya soal semalam? Sorry karena lu jadi sasaran badmood gue" ucap Cakka sungguh-sungguh. Mereka berdua berjalan bersama dan tangan Cakka masih merangkul Agni.

Agni mengangguk pelan, "Iya, gue maafin", dia lalu menatap Cakka dan bertanya dengan hati-hati, "Soal Shella ya?"

Cakka mengernyit, "Shella?"

"Lu galau gara-gara gosip Shella di deketin sama si Sena anak SMA Nusantara itu ya?" Cakka melepaskan rangkulannya dari pundak Agni dan menghentikan langkahnya tanpa sadar.

Cakka baru ingat dengan gosip itu. Akhir-akhir ini dia sibuk dengan perasaannya dengan Agni dan malah tidak ambil pusing dengan gosip itu. Kenapa dirinya? Bukannya seharusnya dia cemburu dengan hubungan Shella dan Sena itu, tapi kenapa semalam dia malah uring-uringan karena kedekatan Agni dan Riko?

Agni ikut-ikutan berhenti dan menatap Cakka yang nampaknya sedang memikirkan sesuatu, "Gue bener ya?", tanya Agni sembari memperhatikan ekspresi di wajah Cakka. Cakka balik menatap Agni, namun tidak mengatakan apapun. Dan diamnya Cakka diartikan sebagai jawaban 'iya' oleh Agni. Agni mengalihkan tatapannya ke depan, menghela nafas pelan, lalu tersenyum tipis.

"Hebat banget Shella bisa buat lu uring-uringan seperti semalam" tanpa sadar Agni mengucapkan kata-kata itu dengan intonasi sedih, "Uring-uringan karena cewek itu bukan lu banget, Kka" Agni segera mengubah intonasinya menjadi ceria kembali, kali ini disertai senyum kecil—yang sedikit dipaksakan. Dia lalu menatap Cakka yang masih diam di sebelahnya. Cakka balas menatap mata Agni, entah kenapa Cakka bisa menangkap rasa sakit dan sedih dari tatapan mata Agni. Cakka tidak suka melihat tatapan mata Agni yang seperti itu.

Berbagi Arah (TAMAT)Where stories live. Discover now