DUA: Kafe

142 9 2
                                    

Alunan musik jazz menemani lima orang anak SMA yang masih sibuk bercengkrama di salah satu sudut kafe. Mereka tidak jadi pulang. Alvin bilang kepalanya sakit karena terlalu lapar dan meminta mereka untuk menemaninya makan di salah satu kafe yang terletak tidak jauh dari SMA Patriot Bangsa. Lalu Rio menyusul satu jam kemudian. Jadilah mereka berlima nongkrong bareng di kafe, tidak langsung pulang ke rumah masing-masing.

Agni mengetukkan jarinya diatas meja. Tatapan Shella tadi masih mengganggunya. Apa Shella cemburu karena dia dan Cakka terlalu akrab ya? Kalau memang begitu, berarti Shella juga punya hati pada Cakka? Tanpa sadar Agni menghela nafas pelan. Shella ternyata juga punya perasaan yang sama dengan Cakka. Entah kenapa memikirkan kemungkinan itu membuat hatinya sedih.

"Lu lagi mikirin apa sih sampai segitunya?" Cakka menatap Agni heran. Cakka hafal kebiasaan Agni yang satu ini—mengetukkan jari diatas meja saat dia sedang memikirkan sesuatu. Riko yang duduk tepat di depan Agni juga ikut memperhatikan.

"Oh itu. Ngga kok, ngga penting" Agni menjawab cepat. Tidak mungkin dia menceritakan soal tatapan Shella tadi dan analisis tanpa buktinya pada Cakka dan yang lain kan?

Cakka menatap Agni cukup lama kemudian memilih diam saja. Dia tahu Agni bohong, tapi dia tidak ingin memaksa Agni bercerita, toh dipaksapun Agni tidak akan bercerita kalau memang tidak ingin. Tumbuh dan menghabiskan banyak waktu sejak kecil membuat Cakka paham sifat Agni yang satu ini.

"Gimana rasanya jadi ketua OSIS, Yo?" Agni mencoba mengalihkan pembahasan kepada Rio. Rio menatap bingung, tidak paham maksud pertanyaan Agni.

"Lu berasa keren ngga jadi ketua OSIS? Di cerita-cerita 'kan suka gitu, ketua OSIS berasa paling keren satu sekolahan" Rio tertawa pelan mendengar pertanyaan Agni. Random banget emang pertanyaan yang dipilih Agni.

"Lu baca apa sih? Kurang-kurangin baca cerita macam itu, ngga realistis" bukan Rio yang menjawab tapi Alvin. Ngga, Alvin bukannya benci pada Agni, tapi emang mulut Alvin aja yang agak tajam. Dekat dengan Alvin membuat Agni paham tentang sifat Alvin yang satu ini dan tidak pernah mempermasalahkannya.

"Agni ngga nanya lu, Alvin. Agni nanya ke Rio, nama lu udah ganti jadi Rio sekarang?" sewot Cakka. Alvin hanya menatap Cakka datar, tidak peduli.

"Biasa aja sih, Ag. Gue ngga ngerasa lebih keren atau gimana, malah gue merasa ada beban baru, ada tanggungjawab baru" jawab Rio kalem sambil menyeruput jus jeruknya. Agni mengangguk, paham dengan beban dan tanggungjawab yang di maksud Rio.

"Tapi di cerita, ketua OSIS jadi punya kekuasaan gitu. Bisa nyuruh adik kelas pakai embel-embel ketua OSIS" kali ini giliran Cakka yang berbicara. Agni mengangguk mengiyakan, sementara Alvin menatap malas.

"Lu berdua sama aja. Cerita yang lu baca itu ngga nyata, cari pembahasan lain deh" omel Alvin yang kini sibuk dengan HPnya, tidak tertarik dengan percakapan ketua OSIS ini. Sepertinya kedua sahabat ini sama saja, kebanyakan membaca cerita yang ntah apa itu.

"Trus lu pingin bahas apaan? Bahas lu? Bahas Riko?" tanya Cakka pada Alvin.

"Kenapa gue?" kali ini Riko yang bersuara karena namanya tiba-tiba disebut.

"Si Alvin tuh"

"Loh kok gue yang lu salahin?"

"Kan lu yang tadi nyuruh cari pembahasan lain" Cakka memberikan alasan. Maka terjadilah perdebatan kecil antara Cakka dan Alvin.

Agni tersenyum melihat itu, jarang-jarang Alvin banyak bicara seperti ini, biasanya Alvin lebih memilih diam dan menyimak. Sepertinya terlalu sering berkumpul dengan mereka membuat Agni paham sifat mereka berempat sedikit demi sedikit.

"Tadi Bu Winda ngomong apa ke lu, Kka?" Rio melemparkan pertanyaan baru, berusaha melerai perdebatan tidak penting antara Cakka dan Alvin. Spontan Agni mengalihkan pandangannya kearah Cakka yang duduk tepat di sebelahnya. Ada urusan apa Cakka dengan salah satu guru galak di sekolah?

Berbagi Arah (TAMAT)Where stories live. Discover now