Track 29 : Home

525 100 49
                                    

Di tangan gue sudah siap satu buah payung yang akan gue gunakan untuk menerobos derasnya hujan di luar sana. Tetapi karena gadis di sebelah kiri gue ini nggak bersuara lagi sejak dua menit lalu, gue jadi nggak kunjung membuka payung tersebut dan malah berakhir menyandarkan tangan gue pada lingkar kemudi.

Lalu embusan napasnya terdengar sedikit lebih panjang.

"Ih, ini kamu beneran?"

Gue merasakan dahi gue mengerut tipis. "Beneran. Lah, ini udah sampai."

"Nggak bercanda?"

Bercanda, katanya.

Gue refleks tertawa ringan. "Nggak lucu dong jadinya kalau aku bercanda, ngabisin waktu tiga jam setengah, capek-capek pulang kuliah jemput kamu yang juga capek praktik terus masih harus pulang lagi cepat-cepat karena besok pagi kamu ada kelas dan aku yang mau ketemu sama orang manajemen?"

Wina memandang gue.

"Jakarta-Bandung tuh nggak sedekat itu, Adwina. Masa iya aku masih bercanda?"

Iya, Bandung. Gue dan Wina pergi ke Bandung.
Enggak perlu gue jelaskan dengan rinci kenapa gue bela-belain pergi ke kota ini malam-malam, kayaknya kalian sudah cukup tahu dan paham apa tujuan gue.

"Kamu takut aku sama Edwin bakal baku hantam?" Tanya gue, iseng, sembari membuka seatbelt di tempat Wina karena dia nggak kunjung membukanya.

"Iya, lah. Kak Ayi aja kamu tonjok, kan. Apalagi Edwin?"

"Heh."

Lalu dia malah tertawa. Gemas. Ingin gue peluk, tapi susah.

Lamanya waktu hubungan gue dan Wina berlangsung itu nggak menjamin gue kenal apalagi dekat dengan Edwin, karena, Wina pun yang notabenenya adalah saudara sedarah bahkan terlahir ke dunia hanya beda beberapa menit saja pernah mengaku nggak begitu dekat dengannya.

Walau begitu, Wina tetap sering memperlihatkan kasih sayangnya pada Edwin secara nggak langsung. Dan gue yakin, mereka berdua sebenarnya sangat saling menyayangi satu sama lain, hanya saja mungkin nggak bisa terucap secara terang-terangan.

Oh, iya. Gue pernah diberitahu oleh Wina bahwa Edwin ini berkuliah di salah satu universitas negeri terkenal di Bandung dengan mengambil program studi dari fakultas hukum. Yang sukses membuat gue terhenyak beberapa detik karena sedikit nggak menyangka.

Anak hukum lawan anak sastra, keren nggak, tuh.

"Hujannya tambah gede, Gal." Suara Wina terdengar lagi, memecah diam di dalam mobil gue.

"Tadi udah kecil, kamunya malah ngajak bercanda."

"Ya, abisnya ...."

"Apa yang bikin kamu takut?" Pertanyaan gue berhasil menarik atensi Wina dari kaca jendela. "Kamu ngajarin aku untuk nggak takut sama apa pun yang belum kita coba. Kamu yang bilang, kalau kita khawatir sebelum melakukan apa-apa itu wajar, right?"

Semenjak mengenal Wina, gue belajar banyak hal dan banyak berubah dari dia menjadi pribadi yang lebih baik lagi.

Misalnya, kalau kalian tanya ke semua orang yang mengenal gue dengan dekat, orang seperti apa sebenarnya Galileo itu? Mereka pasti akan menjawab bahwa gue adalah tipe orang yang ambisius, keras kepala dan cukup susah buat mengalah. Jujur, gue merasakan itu semua.

Namun setelah bertemu dengan Wina, pandangan gue kian berbeda. Jika gue adalah orang yang mudah mendapatkan apa yang gue mau (meski ada usahanya tetapi tetap nggak sebanding dengan Wina), Wina justru sangat bertentangan dengan itu. Dia harus berjuang sendiri untuk mendapatkan apa yang dia mau, belum lagi kalau realita datang enggak pernah benar-benar sesuai dengan ekspektasinya.

Soundtrack : A Miniature FinaleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang