Track 11 : Can't Hold You

616 117 51
                                    

Adwina tengah sibuk berkutat bersama lembaran-lembaran kertas yang telah dirangkum, di ruang tamu rumahnya sore itu, waktu istirahatnya yang singkat memaksa ia untuk mengerjakan tugas di rumahnya sendiri.

Sebenarnya Adwina tidak sendiri, pada sofa di sudut ruangan ada presensi Edwin yang sedang memainkan ponsel atau sesekali bermain dengan Soyaㅡanjing milik keluarga Adwina.

Jangan kira Adwina cukup dekat dengan Edwin, meski keduanya lahir ke dunia sebagai saudara kembar, ada sekat transparan di antara mereka yang membuat Adwina dan Edwin tidak tampak seperti anak kembar sama sekali.

Namun meski begitu, tentu saja keduanya tetap saling menyayangi satu sama lain.

"Kamu kuat banget nugas empat jam nggak ke mana-mana, Win. Belum makan lagi daritadi?"

"Nanti aja sekalian makan malam, nanggung." Adwina menjawab tanpa mengalihkan perhatiannya dari tumpukan kertas di atas meja.

Setelah melihat jam di layar ponsel, Adwina berdecak malas karena tidak terasa waktu telah menunjukkan pukul enam sore, yang artinya juga ia harus segera merapikan tugasnya dan kembali pergi ke rumah sakit tempat di mana ia ditugaskan.

Edwin yang menyadari bahwa saudara kembarnya hampir selesai merapikan kekacauan di atas meja, begitu saja membiarkan anjingnya berlari ke arah teras meninggalkan dirinya yang mendadak terdiam.

"Kamu mau di rumah aja? Aku mau langsung balik ke rumah sakit." Adwina bangkit dari duduk dan memijat lehernya yang terasa pegal. "Sekalian tungguin askep aku sebentar, ya? Takut diacak-acak Soya, aku mau mandi dulu."

Belum sempat Adwina menginjakkan kakinya pada anak tangga terbawah, suara Edwin telah lebih dulu menahan langkahnya di situ.

"Kamu sekarang sering banget keluar deh, Win. Kayak, bukan kamu yang biasanya."

"Kamu ngomong apa, sih?" Adwina menoleh pada Edwin di ujung sana. "Ya aku punya kegiatan, aku punya praktek sekarang."

"Tapi kamu tuh beda, beneran yang sering banget keluar terus pulang nggak tentu. Padahal aku lagi di rumah."

"Astaga Tuhan, Edwin ... ya kan emang jadwalnya begitu, masa gitu aja kamu nggak ngerti? Kalau nggak percaya coba lihat jadwal di hape aku." Adwina malas berdebat lebih jauh lagi. "Udah, ya. Nggak usah diperpanjang, aku capek."

"Yakin kamu sering keluar bukan karena pacar kamu?"

Adwina mengambil satu langkah mundur dan kembali berbalik menghadap Edwin. "Leo, maksud kamu?"

Yang ditanya mengangkat kedua bahunya tidak acuh.

"Ed, walaupun aku punya pacar, aku tahu di mana harus menomorsatukan dia. Aku juga pegang nyawa orang lain sekarang." Adwina membela diri. "Lagian kenapa sih kamu mikirnya tiba-tiba aneh, biasanya mana ada kamu mau peduli."

"Mau tahu kenapa? Coba tanya pacar kamu yang anak band itu."

"Wait," Adwina terdiam beberapa detik, memastikan baru saja ia tidak salah mendengar. "Kok kamu tahu Leo anak band? Seingat aku, aku nggak pernah sedikitpun cerita tentang kehidupan Leo sama kamu?"

Edwin bergeming, ia bisa merasakan mata tajam Adwina menatapnya lekat-lekat. Ia tahu bahwa Adwina akan melakukan hal itu hanya saat ia sedang menahan amarah, dan mungkin juga, di detik itu pula saatnya.

"Kamu ketemu Leo?"

***

"Shit shit shit."

Galileo menutup layar laptopnya dengan sekali hentakan, lantas melempar kacamatanya ke atas karpet dan segera mengusap wajahnya berkali-kali dengan kasar.

Soundtrack : A Miniature FinaleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang