Track 15 : Monologue

505 112 67
                                    

Dari dulu gue selalu percaya, kalau hidup itu bisa berjalan enggak sesuai sama yang kita mau.

Tetapi gue enggak pernah menyangka, kalau hidup yang bukan maunya jalan gue itu kayak begini jadinya.

Yang pertama, gue berantem sama anggota Antaresㅡwell, nggak semua, sihㅡtapi gue yakin mereka semua tetap terlanjur kecewa sama gue, walaupun mungkin alasannya berbeda-beda.

Antares sering, kok, berantem satu sama lain. Pemicunya bisa karena mereka telat datang latihan, bisa karena slek beda pendapat soal pilihan musik, bisa karena lajur chord pilihan kita nggak sesuai, bisa karena mereka pergi lupa bilang padahal kita sudah ada janji, atau terkadang malah cuma karena perkara siapa yang mau cuci piring di kostan. Semua keributan itu sering terjadi sama kita, namun bisa langsung hilang beberapa menit kemudian.

But now it's different, we're getting harder and harder to get a board together.

Gue benci bilang ini, tapi gue sedikit percaya kalau sebagian besar alasan kenapa Antares jadi berantakan begini, ya, itu karena gue juga.

Dulu, pertama kali gue ditunjuk jadi manajer atau leader Antares, gue bertanya-tanya kenapa mereka harus tunjuk gue? Kenapa nggak Ayi? Kenapa nggak Brian atau Wira yang bahkan kayaknya hidupnya lebih luwes daripada hidup gue? Jawaban mereka cukup simpel, mereka bilang karena gue dewasa dan lebih terorganisir.

Bukan dewasa dalam artian usia, soalnya usia gue sama mereka semua sama (kecuali sama Gianjar), tetapi dewasa dalam pemikiran dan dalam mengambil keputusan.

Dari situ pun sudah gue nggak bisa membantah, gue justru berterimakasih sama mereka karena mereka nggak anggap pemikiran gue yang agak beda dari orang seusia gue ini aneh, mereka malah mengarahkan pemikiran gue itu ke arah yang positif. Mereka mengerti, pemikiran dewasa gue itu datang begitu saja seiring bertambahnya usia gue, bukan dewasa yang gimana-gimana itu, ya, tapi dewasa yang kritis dan agak susah bercanda.

Entah gimana caranya bisa begitu gue juga nggak paham. Mama sama Papa pernah bawa gue ke psikolog saat gue masih duduk di bangku kelas lima SD. Kata psikolognya, hal itu sebenarnya wajar terjadi, meski kasusnya jarang sekali ada. Bisa jadi turunan gen jauh dari nenek buyut, katanya.

Maka ketika semakin diingat-ingat alasan utama kenapa gue bisa ditunjuk sebagai manajer atau leader Antares, semakin besar pula rasa benci sama diri gue sendiri atas apa yang terjadi sekarang.

Haha, dewasa apanya? Gue bahkan nggak bisa sekadar mencari akar masalah. Gue nggak bisa bikin kita bicara baik-baik. Gue nggak bisa bikin mereka ketemu sama titik terang, karena yang ada, gue sendiri adalah penghalang jalan itu sendiri.

Gue nggak menyalahkan siapapun di sini, selain menyalahkan diri gue sendiri.

Dan karena hidup kita sudah saling berkaitan, keributan pertama Antares kali ini sebenarnya tidak luput dari masalah pribadi gue yang lain.

Gue punya pacar. Dan nggak semua orang tahu itu, bahkan teman-teman dekat gue pun nggak tahu. Yang tahu mungkin hanya keluarga gue dan keluarga Wina masing-masing, ditambah Ayi dan Sita yang nggak sengaja tahu karena waktu itu pas kita lagi jalan bareng, gue pergi ke toilet dan meninggalkan ponsel gue bersama mereka karena dipikir-pikir, gue mau apa bawa-bawa ponsel ke kamar mandi?

Sialnya, gue benar-benar lupa kalau di waktu yang sama, gue lagi ada komunikasi lewat pesan sama Wina.

And boom, pas gue balik. Sita langsung to the point nunjuk ponsel gue di meja. "The text looks so intense."

Dan dilanjutkan oleh Ayi. "So, how about the backstreet relationship, Mr. Galileo?"

Memang, sama saja itu berdua.

Soundtrack : A Miniature FinaleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang