Track 22 : Again and Again

499 101 33
                                    

Galileo berguling, memandang jendela kamarnya yang belum tertutup gorden lekat-lekat.

Setelah usai menjalani rawat inap dan pemeriksaan lengkap terkait kesehatannya selama sehari penuh di rumah sakit, akhirnya pada malam berikutnya Leo diperbolehkan pulang dengan syarat harus tetap beristirahat di rumah. Beruntung, tidak ada masalah serius, hiperventilasi dan dehidrasi parah yang dialami Leo murni datang karena stress berat pasca imunnya menurun.

Leo juga sudah mengabari anggota Antares dan keluarganya jika ia sakit, namun Leo buru-buru menekankan mereka agar tidak khawatir karena sekarang Leo sudah merasa jauh lebih baik. Meski sebenarnya, Leo memang menghilangkan bagian saat ia pingsan dan dilarikan ke rumah sakit.

Itulah yang menyebabkan Leo terperanjat kaget pada pukul tujuh pagi tadi sebab tanpa kabar sekali, tahu-tahu ia mendapati kehadiran lelaki itu di pantry apartemennya dengan secangkir teh panas yang Leo yakin lelaki itu ambil dari lemari kacanya.

Lalu kemudian tertawa melihat tampilan Leo di ambang pintu.

"Kemaren muka lo kayak abis dibegal, sekarang kayak porselen hidup. Kapan benernya, sih, Le?"

Ya, siapa lagi jika bukan sang kakak.

"Bercanda banget lo ke sini pagi-pagi begini." Leo tidak menanggapi, ia melipat kedua tangannya di depan dada dan bersandar pada dinding. "Mana nggak bilang-bilang. Any urgent stuff?"

"Nanti agak siangan gue ada rapat sama tim material di Meruya, terus dikasih tahu Mama kalau lo sakit, jadi ya udah sekalian lewat."

"Whatta busy."

"Yep, my risk."

"Cuti dulu kek."

"Nanggung, sekalian aja biar dapat bonus dari projek gue yang sekarang. Buat masa depan gue sama Aci, haha."

"Yeah, suit yourself, Man."

Leo melangkah pergi, hendak kembali ke dalam kamarnya untuk mengambil obat andai saja suara Alpha tidak menghentikannya.

"Le."

Leo menoleh pada Alpha, bukannya melanjutkan, dagu Alpha lebih dulu bergerak menunjuk sebuah paper bag berwarna hitam di atas meja ruang tengah apartemen.

"What?"

"Yang lo minta?"

"Lah beneran?"

"Lah emang bohongan?"

Pemuda berkacamata itu termangu sebentar di tempat, lalu betulan melangkah dan menghampiri barang tersebut, melihat isinya beberapa detik sebelum lantas menutupnya kembali.

Kemudian menghela napas. "Kayaknya enggak ... nggak jadi."

"Why??"

Alpha meletakkan cangkirnya mendengar suara lirih Leo, lalu berjalan mendekati adiknya itu. "Le, gimana mau tahu kalau lo nggak mau beraniㅡ"

"Gue nggak bisa, Bang! Gue nggak bisa!" Leo menaikkan nada bicaranya. "Ini bukan masalah gue berani atau enggak, gue tuh cuma takut kita makin berantakan ... dan takut kalau kita nggak bisa kembali lagi kayak semula."

Alpha bergeming, membiarkan Leo mengatur napas kacaunya.

"Gue tahu mungkin masalah gue nggak seberapa dibanding masalah lo dulu, tapi ini tetap berat buat gue. Karena gue takut, kalau gue salah melangkah gue bakal jatuh dan nggak bisa balik, gue takut nggak bisa ke mana-mana lagi."

Leo pikir, rasa takutnya sudah berangsur menghilang sejak malam itu. Leo pikir, rasa takutnya jauh lebih kecil dibanding rencana-rencana yang ada di dalam bayangan otaknya.

Soundtrack : A Miniature FinaleWhere stories live. Discover now