Track 18 : Daybreak

519 107 50
                                    

Dahi gue dibuat mengernyit setelah memarkirkan mobil di dalam garasi rumah, hanya ada mobil Bang Al di sana, mobil Papa nggak ada membuat asumsi gue mengatakan jika Papa akan pulang terlambat mengingat ini sudah pukul sepuluh malam.

Saat gue masuk ke dalam rumah pun, nggak ada yang berbeda. Pintu nggak dikunci dan sepi. Gue yakin nggak ada orang di lantai satu, maka setelah menyalakan beberapa lampu gue segera beranjak menuju lantai dua dan menemukan Bang Al tengah terduduk di lantai, bersama laptopnya, tas dokumen, dan pintu balkon yang dibiarkan terbuka.

"Why you look so lonely?"

"Geez!" Bang Al terlonjak kaget, lantas berbalik menatap gue galak seraya melempar bantal sofa ke arah gue. "Do you want to kill me?!"

Gue tertawa sambil mendekatinya.

"Kapan lo nyampe?"

"Baru aja." Jawab gue, lalu meletakkan karton berisi dua gelas kopi dingin itu di belakang Bang Al. "Mama udah tidur?"

"Mana ada sejarah mama tidur jam segini."

"Lah?" Gue menoleh ke arah pintu kamar Mama yang terbuka sedikit, gelap. Lantai tiga pun terlihat sama. "Terus di mana? Kok di atas gelap?"

"Lagi pergi ke rumah Ama."

"Sendiri?"

"Diantar papa."

Gue mengangguk-angguk mengerti, kemudian mengambil posisi duduk tepat di bawah bingkai pintu balkon yang terbuka. Rasanya badan gue sakit di sana-sini.

Nggak lama, Bang Al bersuara lagi. "Lo harusnya bersyukur, karena Mama atau Papa nggak akan liat lebam-lebam lo itu."

Gue bergeming nggak menanggapi. Tetapi Bang Al malah tertawa ringan. "Lo persis banget kayak orang abis kena begal tahu nggak."

"Adek ipar lo tuh, begal."

Bukannya tersinggung, ia malah tertawa semakin keras. Gue sempat menilik layar laptopnya, dan segera memetik kesimpulan kalau ia pasti sudah mulai stress dengan pekerjaannya akhir-akhir ini yang semakin banyak, padahal pernikahannya hanya tinggal menghitung Minggu.

Sementara Bang Al masih menghabiskan tawanya yang keras itu, gue meraih satu gelas kopi dingin yang gue beli tadi, meminumnya sedikit seraya berusaha menenangkan diri sendiri.

Bersiap jika tiba-tiba ia akan bertanya perihal ke mana kaburnya gue seharian ini, kenapa gue memutus kontak dengan hampir semua orang, lebam pada wajah gue, atau alasan-alasan lain yang gue yakin sebenarnya dia sudah tahu. Entah dari siapa.

Namun tidak, cukup lama Bang Al terdiam, fokus kembali pada laptopnya dan membiarkan gue termenung sendirian atau sesekali mendongak memandang langit malam di atas sana.

Sampai sekitar lima belas menit kemudian, lelaki itu menguap tepat setelah ia menutup layar laptop.

"Well, what's the problems?" Tanyanya tanpa berbasa-basi, pelan, namun sedikit menuntut.

"Lo beneran nggak tahu? Atau?"

Bang Al terdiam atas jawaban gue. Matanya yang kecil memandang lantai. "Aci cerita. Tapi gue mau tahu dari sisi lo juga, bukan cuma dari sisi Ayi aja."

Bingo. Gue sudah menerka-nerka sejak tadi bahwa Ayi adalah orang yang telah membuat masalah ini berputar di antara dua kakak gue.

Enggak, gue nggak marah untuk itu. Gue sekarang lebih memilih untuk menyadarkan diri gue sendiri, kalau gue jauh lebih salah di sini.

"Antares ribut ... sama gue."

"Pasti ada alasan utamanya kenapa kalian ribut. Right? Kalian udah dewasa, pasti bukan ribut cuma karena masalah sepele."

Soundtrack : A Miniature FinaleWhere stories live. Discover now