Tragedi Anjungan Lepas Pantai

347 57 1
                                    

'Kau harus selalu menghargai laut, karena kau tidak akan pernah tau apa yang disimpanya di bawah sana'

Laut adalah salah satu fasilitas Tuhan, anugerah Tuhan yang harus kita syukuri. Ikan, garam, batuan laut, mutiara, dan minyak bumi, berapa banyak karunia yang Tuhan berikan melalui lautnya. Namun manusia selalu mengingkarinya, termasuk manusia-manusia tamak di Anjungan ini. Ketika laut tidak lagi dihargai, ia lantas menumpahkan kekesalannya, mengeluarkan iblis-iblis yang bersemayam di dalam perutnya.

Namun bagiku, itu semua adalah pemberian laut yang tetap harus aku hargai, seperti ucapan kakekku. Apa yang ia beri kali ini bukanlah kemurkaan, bukanlah kejahatan, bukanlah iblis-iblis dengan kaki terbaliknya, melainkan sebuah pelajaran. Laut mengajarkan pada kami kemampuan untuk bertahan hidup, dari kerasnya kehidupan tanpa daratan. Laut mengajarkanku tentang ketamakan dan batas-batas apa saja yang dapat kita ambil darinya. Seolah ia hendak berkata

'Cukup manusia, hanya itu yang bisa kau ambil, atau kau akan menggambil sesuatu yang tidak akan kau inginkan'

Aku duduk bersandar dibelakang Speed-boat yang berjalan pelan membelah lautan darah. Lim dengan kikuk berusaha menyetir, dibantu oleh Julia yang terus mengomel disampingnya. Gagan tertidur pulas di bangku Speed-boat disebelahku, ia pasti sangat kelelahan setelah semua ini. Aku lalu mencelupkan tanganku kedalam laut yang berdarah itu, ya... berdarah karena kami telah melukainya. Aku terus bergumam, berusaha menghikmahi seluruh peristiwa ini.

Aku tertawa kecil melihat Julia yang menjewer telinga Lim. Ah, kenapa sampai terlupa...Laut juga memberikanku teman-teman seperti Lim, Julia, Gagan, dan mendiang Abeba yang begitu setia melindung satu sama lain, seperti air lautan yang menyelimut, melindungi apa yang dikandungnya. Kau tidak akan menemukan manusia-manusia sebaik mereka dengan mudah, manusia yang tetap percaya pada sahabatnya meski keinginannya aneh-aneh. Padahal kita berbeda suku dan bangsa, tidak ada yang menghubungkan kita... Ah, bodohnya aku... Laut lah yang menghubungkan kita semua. Kita berpijak pada bumi yang sama, tanah yang sama, lautan yang sama.

Setelah melaju beberapa menit, dari kejauhan kami dapat melihat sebuah kapal kilang minyak besar. Lim langsung membunyikan klakson Speed-boat dan orang-orang diatas kapal itu menyeruak keluar. Beberapa terlihat berusaha melihat kami dengan menggunakan teropong binocular. Tentu mereka akan terkejut sekali, melihat Speed-boat yang mereka kirim kini berisikan empat orang yang terluka.

Orang yang mengamati kami dengan teropong binocular menjengit kaget, entah terkejut karena kami, ataukah karena fenomena lautan yang memerah darah dibelakang kami. Ia lalu memberikan teropong itu pada kawan disebelahnya. Mereka pasti akan lebih terkejut lagi ketika aku menceritakan apa yang barusaja kami alami. Tetapi cerita apa yang hendak aku ceritakan dahulu? Banyak sekali hal yang kami alami semalaman ini.

Benar... Laut juga memberikanku sebuah cerita, legenda-legenda jaman dahulu yang begitu kelam. Cerita yang seharusnya sudah tenggelam jauh di dasar laut, sejarah yang seharusnya tidak diketahui oleh manusia jaman sekarang Meski laut sudah berusaha menutupi semua aib masa lalu itu, menggunakan airnya yang begitu luas dan dalam. Namun kita manusia, karena ketamakan, justru kembali menggali aib itu dan mengulang kembali sejarah yang kelam.

Kau harus selalu menghargai laut, karena kau tidak akan pernah tau apa yang disimpanya di bawah sana... Kau tidak pernah tau dan tidak boleh tau, karena beberapa hal memang harus tersimpan rapat-rapat dan ditenggelamkan jauh di dalam sana.

Perhatianku teralih pada cahaya kuning hangat yang menyorot kuat dari arah timur, sang fajar sudah menampakkan dirinya. Setelah semalaman berselimut dalam kegelapan, terimakasih Tuhan... akhirnya aku kembali melihat mentari pagi.

...............................................

Aku duduk di pojokan kursi tengah mobil, bersandar pada jendela, berusaha memejamkan mataku dan mengistirahatkan otakku yang begitu lelah. Ya, begitu lelah oleh semua peristiwa yang terjadi dalam sepekan ini. Di sampingku, Julia tertidur pulas menyandar pada bahuku, aku jadi tidak berani bergerak karena takut membangunkannya. Di kursi depan ada Lim yang juga sudah tenggelam jauh dalam mimpi, padahal mobil ini belum memulai perjalanannya ke bandara internasional India. Begitulah gambaran kondisi kami saat ini, ku kira setelah selamat kami akan tenang dan bisa beristirahat, namun ternyata tidak seperti itu.

Setelah berhasil selamat dari tragedi Anjungan itu, kami ditolong oleh kapal kilang minyak besar yang kemudian membawa kami ke pelabuhan kota dwarka. Belum sampai kering lidah ini bercerita panjang lebar pada awak kapal kilang minyak itu, kami langsung dibawa ke kantor polisi dan dimintai keterangan. Lagi-lagi kami harus menjelaskan apa yang terjadi dari awal, pengalaman menyeramkan yang seharusnya aku buang jauh-jauh dalam pikiranku. Namun semakin aku bercerita pada setiap orang yang bertanya padaku, Polisi, Jurnalis media massa, pihak perusahaan, ingatan itu semakin terpatri jelas di otakku.

Tentu kejadian ini menjadi begitu heboh, karena di lautan sekitar Anjungan ditemukan potongan-potongan bagian tubuh manusia yang masih segar. Hal ini diketahui dari kesaksian awak kapal kilang minyak tersebut, kemudian langsung dikonfirmasi oleh pihak kepolisian menggunakan helikopter. Jumlah korbannya ratusan, dan semuanya teridentifikasi adalah pekerja-pekerja Anjungan kami. Wartawan internasional pun tidak kalah cepat, karena sebuah perusahaan besar yang memiliki Anjungannya sendiri seperti kami ini tidak akan luput dari pantauan media massa. Seketika berita tentang tragedi Anjungan ini menyebar luas ke seluruh dunia, baik di Koran, TV, bahkan sosial media. Wajah kami berempat disorot, disebarluaskan kemana-mana sebagai sekelompok pembunuh sadis yang membantai seluruh pekerja Anjungan.

Mengapa bisa seperti itu? Ceritaku mengenai makhluk bernama Pretni awalanya dipercayai oleh kepolisian India, namun wartawan internasional dan pihak perusahaan tidak akan terima dengan alasan mengkhayal seperti itu. Aku pun mengeluarkan sisa energi yang tersisa untuk berdebat dengan mereka. Ketika situasi semakin runyam tiba-tiba munculah beberapa pekerja Anjungan.

Pekerja itu adalah staf-staf Mr.Teigl dan beberapa pekerja lain, yang kabur lebih dahulu dari Anjungan kala itu. Mereka kabur menggunakan speed boat Anjungan yang terparkir di dermaga Living Platform. Alisku menekuk tajam, itulah sebabnya mengapa speed-boat di dermaga Living Platform tidak ada sama sekali saat itu, ternyata "mereka" lah yang membawanya kabur. Bagaimana mereka bisa kabur lebih dahulu? tentu 'mereka', staf-staf Mr.Teigl, juga mengetahui kenyataan tentang Pretni ini, jauh lebih dulu daripada kami.

Tidak hanya pengecut karena kabur lebih dahulu tanpa memberitahu pekerja Anjungan yang lain tentang semua ini, mereka juga biadab karena saat itu mereka menuduh kami sebagai pelaku pembantaian massal seluruh pekerja Anjungan. Mereka juga berbohong bahwa mereka kabur lebih dahulu karena takut pada kami. Tuduhan mereka begitu lengkap ketika menceritakan tentang Mr.Dennis dan Mr.Xoliza yang menurut mereka, dibunuh juga oleh kami.

Perbuatan mereka itu sontak meletuskan amarah Lim, dengan gesit ia menghajar semua staf itu. Namun sayang polisi keburu menahannya. Aku dan Julia menegangkan seluruh otot-otot wajah kami, menjelaskan sekuat yang kami mampu. Gagan pun berusaha merayu polisi India itu, namun sepertinya percuma, alasan itulah yang paling 'masuk akal' diterima oleh mereka semua. Alih-alih diberikan tempat istirahat, kamipun malah dijebloskan ke penjara.

Tiga hari didalam kurungan penjara, fisik dan jiwa kami terkuras habis. Aku tidak mampu berbuat apa-apa selain menatap kosong jeruji selku. Julia bahkan tidak mampu lagi meneteskan air mata. Gagan terus tidur, dan hanya Lim saja yang masih berenergi menendang-nendang tembok penjara karena kesal. Kesal karena tuduhan keji yang dilayangkan pada kami itu, semuanya tidak benar. Setelah semua yang kami lakukan untuk menyelamatkan diri, menyelamatkan semua orang dari keberadaan Pretni, pada akhirnya tidak ada satu pun yang percaya pada kami.

Tetapi aku paham mengapa bajingan-bajingan itu menuduh kami. Mereka ingin menutupi kenyataan kesalahan pengeboran itu, pengeboran yang merusak situs kuno di dasar laut yang telah menyebabkan semua ini. Bila sampai hal itu terkuak maka perusahan besar kami akan tutup, tentu bajingan-bajingan itu dibayar mahal oleh korporat perusahaan untuk membungkam siapa pun yang selamat. Lalu mereka memilih menuduh kami agar ada alasan yang logis dari semua ini. Seandainya aku memiliki cukup tenaga, aku pasti sudah berteriak penuh kesal saat ini.

Aku benci pada mereka, jurnalis media massa itu, bagaimana bisa mereka langsung mempercayai alasan tidak rasional itu. Memang ceritaku jauh lebih tidak masuk akal, namun bisakah tiga orang pemuda dan seorang anak kecil membantai ratusan orang? Kurasa mereka tidak perduli, yang mereka perdulikan hanyalah agar siarannya disaksikan banyak orang. Lebih heboh bila menceritakan tiga orang asing yang membantai ratusan orang daripada keberadaan makhluk yang tidak jelas asal usulnya. Aku harap mereka semua membusuk didalam neraka.

Iblis Kaki TerbalikWhere stories live. Discover now