"Nggak perlu. Gue masih punya uang, nenek gue kasih tahu, jika orang tua gue udah ninggalin harta warisannya. Seharusnya harta warisan itu dibagi dua sama adik gue. Tapi kata nenek, semua buat gue saja. Karena adik gue udah hidup bahagia, bersama keluarga barunya," balas Anton sembari tersenyum kecut, jika mengetahui fakta bahwa adiknya lebih bahagia dari pada dirinya.

Anton mengangkat kedua tangannya, dia taruh dikedua pipinya Vani.

"Dan soal kakak, lo bisa anggap gue sebagai kakak lo. Lo bisa berbagi cerita dan masalah sama gue. Gue bakal siap menampung semua unek-unek lo," kata Anton parau.

Dengan cepat Vani melepaskan kedua tangan kokohnya Anton dari wajahnya. Anton sempat terkejut dengan perlakuan Vani. Tapi tak lama kemudian Vani mendekat, mendekap erat tubuh Anton lagi. Berhasil menerbitkan senyum bahagia milik cowok itu.

"Bodoh, yang seharusnya ngomong gitu gue. Lo bisa anggap gue sebagai adik lo. Lo bisa berbagi cerita dan masalah sama gue. Gue bakal siap menampung semua unek-unek lo," ujar Vani yang sama dengan perkataan Anton sebelumnya.

Anton membalasnya dengan memeluk erat tubuh Vani. Menghirup harum parfum milik vani. Aroma mawar dan vanila. Sangat harum, hingga mampu membuat kedua mata Anton berlahan menutup.

Vani terbangun. Kali ini Vani tak yakin dengan sesuatu yang mendatanginya saat tidur tadi. Apakah itu memori masa lalunya, ataukah hanya mimpi belaka? Pasalnya, Vani sedikit terheran dengan perkataannya tadi di mimpi, saat dirinya mengaku sebagai anak tunggal. Jika dimasa lalunya dia hanya sebagai anak tunggal, lantas keberadaan Gilang sekarang sebagai apa? Apakah Gilang bukan kakaknya? Tapi bagaimana bisa?

Dengan cepat Vani meraih handphonenya. Mencari kontak seseorang, kemudian menekan tombol telpon. Hanya orang itu yang bisa Vani tanyakan kebenarannya. Tak berapa lama, nada tersambung akhirnya berbunyi.

"Halo?" sapa orang diseberang sana.

"Bisa kita ketemu?" seperti biasa, Vani selalu mengungkapkan tujuannya.

"Bisa. Mau ketemu dimana?"

Vani melirik jam wekernya, ternyata masih pukul setengah lima sore. "Ketemu ditaman."

"Okey. Gue ke sana sekarang."

Sambungan terputus, dengan segera Vani beranjak dari kasurnya. Masuk kedalam kamar mandi. Setelah mandi, Vani mencari pakaian yang akan dia kenakan. Dan setelah itu, Vani keluar untuk menuju taman.

Karena jarak rumah sampai ke taman hanya berjarak lima puluh meter, akhirnya Vani memutuskan untuk berjalan kaki saja. Sesampainya disana, ternyata Anton sudah sampai duluan. Dengan cepat, Vani mendudukan dirinya disamping kirinya Anton.

"Lo capek?" tanya Anton, pasalnya Anton melihat anak rambut milik Vani yang sedikit basah.

"Lo pikir, gue selemah itu?" tanya vani balik.

"Ya, gue kira lo capek. Tuh rambut lo basah," ujar Anton sembari menunjuk ke arah rambut Vani.

"Gue habis mandi," balas Vani dan Anton hanya membulatkan mulutnya.

"Jadi, apa alasan lo minta gue ke sini? Kalau lo kangen, kan bisa video call sama gue. Tapi nggak papa deh, gue jadi nggak sendirian dirumah," balas Anton dengan santainya.

Mendengar kata 'sendirian' yang keluar dari bibirnya Anton, membuat Vani merasa bersalah dan juga sedih. Bersalah karena dia tak ada disampingnya Anton saat Anton terpuruk, dan sedih saat mengetahui nenek Anton sudah meninggal.

"Gue udah tahu. Ingatan gue udah balik lagi. Maaf," ujar Vani lirih sembari menundukkan kepalannya. Anton hanya menatap dengan raut kebingungan.

"Maaf? Buat?"

I Love You My Pawang [REVISI]Where stories live. Discover now