Teman Sagara hanya bisa memandang Zea iba. Gadis itu selalu di abaikan. Ada, namun tak dianggap:v

"Aku suapin ya?"

Cukup!

Sagara muak! Ia menatap Zea tajam. Tidak suka dengan cara gadis itu.

"Dengerin gue baik-baik!" Telunjuk Sagara menunjuk tepat pada mata Zea yang bodohnya malah berbinar. Gadis itu lagi-lagi salah paham.

"Gue, nggak pernah dan nggak akan pernah suka sama lo! Gue muak! Please, jauhin gue!"ujar Saga penuh penekanan.

Yang lain hanya bisa menonton tanpa berani ikut campur.

Bahkan adegan selanjutnya sudah mereka hafal di luar kepala.

"Kenapa?"mata Zea sudah berembun. Siap menjatuhkan hujan.

"Gue nggak suka cewek murahan kayak lo!"

Selanjutnya Sagara pergi.

Meninggalkan Zea yang kembali ia permalukan di hadapan teman-temannya.

Eghi mendekat. Memberi senyum tipis pada gadis malang itu.

"Sagara emang gitu. Maafin dia ya?"kata Eghi menenangkan.

Jika tidak di tenangkan, maka tangisan Zea akan semakin menjadi. Sebagai manusia, ia tentu memiliki rasa simpati. Sean ikut mengelus punggung Zea yang bergetar. Kemudian mengantar gadis itu ke kelas. Selalu!

Hampir setiap pagi kejadian yang serupa selalu terjadi.

Sagara yang membentak

Kemudian Zea menangis.

******

Angin menerpa wajah saat Sagara sampai di rooftop. Atensinya langsung tertuju pada sofa usang disana. Ia jadi mengingat dia yang sering tertidur di sofa itu. Dulu. Katanya, itu miliknya. Padahal bukan.

Ia terkekeh kecil. Ingatan itu masih jelas terekam di memory kepalanya.

"Sagara."

Suara itu terdengar tak asing. Saga memilih diam, tak ingin menoleh barang sebentar.

"Masih mikirin Osha?"

"Gue nggak tau apa motif lo. Tapi yang jelas, gue pengin lo pergi. Jangan bikin gue makin muak! Jangan bikin gue ngelakuin hal yang udah lama gue tahan karena dia. Pergi Sya!" Sagara menekankan.

"Apa? Apa yang lo tahan?"

"Balas dendam." Kini Saga berbalik. Maniknya langsung bertubrukkan dengan iris pekat Rasya. Pemuda itu sampai menahan napas kala melihat seringaian di bibir Sagara.

"Maksud lo?"

"Kenapa sih. Kenapa bukan lo aja yang mati?"

Menelan ludah adalah satu-satunya hal yang bisa Rasya lakukan sekarang.

"Sa,"

"Gue bingung. Gue bingung harus gimana, Ras."

Tenggorokan Rasya tercekat. Ia seperti melihat sesuatu yang berbeda di diri Sagara. Sagara terlihat menyeramkan, tidak seperti biasa.

Apa dia hendak mengeluarkan semua emosinya saat ini juga?

"Gue hampir dan udah berencana menutup semua akses buat pengobatan lo. Ngehancurin bokap bangsat lo itu. Tapi apa?"

"Dia nahan gue buat nggak ngelakuin semua itu. Padahal gue bisa ngelakuin banyak hal. Segampang kedipan mata."

"Sebegitu pedulinya dia, meski udah disakitin berkali-kali."

"Permintaan dia sederhana, malam itu,"

"Dia cuma mau di peluk bokap, dan nyokap bangsat lo. Tapi nggak pernah bisa." Sagara menerawang jauh. Air matanya lagi-lagi jatuh. Sagara tidak bisa menahannya.

"Dia nggak sekuat kayak yang orang lain lihat. Dia... rapuh. Tapi selalu berusaha terlihat kuat." Sagara menekan dadanya yang terasa sakit.

"Dia berubah, nggak beretika, nggak lagi punya rasa manusiawi karena didikan keluarganya sendiri."

Tangan Rasya terkepal erat di samping tubuh.

"Sa,"

"Kapan dia pulang?"

Pertahanan Rasya hancur. Air matanya kini ikut tumpah. Ia mendekap Sagara erat. Sagara tidak pernah baik-baik saja semenjak kepergian kakaknya, Osha.

"Gue cinta dia, Ras. Jangan pernah sakitin dia lagi. Dia udah layu. Jangan pernah lagi." Racaunya.

Tubuh Sagara terasa panas di pelukkan Rasya. Membuat kekhwatiran Rasya memuncak. Tepat saat ia hendak memeriksa, tubuh Sagara ambruk.

Lagi-lagi, Sagara drop.

Semua ini salahnya. Ia mengakuinya.

Tak mau menunggu lebih lama, ia langsung memapah Sagara menuju UKS.

********

Jangan lupa tinggalin jejak:)

Sekian

AEROSHA [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang