Bagian 8

40 3 23
                                    

"140 … 141 … 142 … ah, ini dia kamarnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"140 … 141 … 142 … ah, ini dia kamarnya ...." Gumaman Randi terhenti ketika kami berdiri di depan sebuah pintu berwarna putih tulang dengan nomor 143. Tempat ini sungguh di luar ekspektasiku. Hilang sudah bayangan motel sempit dengan suara bising yang sempat tergambar di pikiranku. Ini bukan sekedar hotel biasa, Randi memesan sebuah suite dengan dua kamar tidur di hotel berbintang lima, Meriton.

Dari mana ia mendapatkan uang untuk membayar semua ini?

Dua tiket 5 Second of Summer sudah terlalu mahal untukku, ditambah lagi sebuah suite. Apa ia mempunyai pekerjaan di luar jam kuliahnya? Atau dia anak orang berada yang dengan mudahnya mendapatkan uang?

Sepeser pun aku tidak mengeluarkan isi dompet sejak meninggalkan rumah kakakku tadi pagi. Bahkan ia menawarkan untuk mampir ke sebuah toko pakaian jika aku membutuhkan ekstra pakaian ganti. Tentu saja aku menolaknya. Lagi pula, untuk apa mengeluarkan uang hanya untuk membeli pakaian yang tidak aku butuhkan?

Randi segera membuka pintu itu dan membiarkanku masuk terlebih dahulu.  Begitu berjalan melewati pintu, kami langsung disuguhkan dengan sebuah dapur kering yang berada di kanan pintu. Seluruh kabinetnya berwarna putih, pun dengan countertops pada dapur tersebut yang menggunakan material batu granit, tak ayal itu menambah kesan elegan.

Di depan dapur, terdapat ruang tamu yang luas, dengan sebuah sofa beludru berwarna hitam yang menghadap layar televisi berukuran 55 inci.

Kedua mataku takjub dengan desain ruangan suite ini. Meskipun mengusung tema minimalis, tetapi ruangan ini tidak terlihat membosankan. Sebaliknya, kesan elegan kuat terasa dari pemilihan perabotannya.

"Kita bisa lihat sebagian kota Sydney dari sini," ujar Randi dengan semangat. Ia berjalan ke arah jendela besar yang tertutup tirai berwarna abu-abu tua. Ketika dibuka, pemandangan gedung-gedung tinggi dengan latar belakang langit Sydney yang cerah, langsung memanjakan mata. "Lihat … gedung warna hitam yang tinggi itu The Metro Theater. Besok konsernya ada di sana."

"Wow … it's fancy," gumamku, disusul dengan kekehan canggung. Di dalam otakku terus berputar angka-angka hasil penjumlahan dana yang Randi keluarkan kurang dari sehari ini dan itu sangat mengusikku. "This place is too nice."

Randi berbalik ke arahku dan tersenyum menenangkan. "It's … good."

"But it just seems so expensive .... "

"Trust me, it's not. It's budgeted … is all good," tungkasnya dengan masih terlihat santai. Seperti baru saja tidak mengeluarkan uang banyak hanya sekedar untuk bersenang-senang. Melihat aku yang tidak merespon, Randi berkata, "Just don't think about it, okay. We're supposed to have fun here."

Aku tidak mungkin membiarkan Randi membayar semuanya, setidaknya aku ikut menanggung setengah dari biaya selama kami di Sydney. Setelah memikirkan itu, aku mengutarakan keinginanku. "Kita patungan aja deh, biar aku lega."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 05, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

He's the OneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang