Prolog

64 9 26
                                    

"Far, apa kamu yakin bisa beradaptasi di sana?" tanya ibuku dengan ekspresi khawatir yang berlebihan

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

"Far, apa kamu yakin bisa beradaptasi di sana?" tanya ibuku dengan ekspresi khawatir yang berlebihan. Ini sudah ke-100 kalinya mungkin pertanyaan itu terlontar dari beliau.

Aku menghentikan aktivitasku yang sedang mengikat tali sepatu, lalu beralih menatap ibu. "Bu, Kimberly aja bisa kok. Masa aku enggak?"

Ibu menghela napas dan duduk di sebelahku. "Kimberly 'kan dari SMA udah tinggal di kos-kosan, udah mandiri dari dulu. Apalagi dia pintar dan juga sudah menikah. Jadi buat beradaptasi di negara orang, ya enggak susah. Kalau kamu .... "

Aku memejamkan mata agar tidak terlihat jika sedikit tersinggung akan hal itu. Kemudian setelah beberapa saat, aku membukanya kembali. "Iya aku tahu, Bu. Aku enggak mandiri dari kecil kayak Kim, tapi Ibu enggak perlu khawatir. Yakin deh, aku bisa jaga diri. Ibu sama bapak sendiri 'kan yang dulu suruh aku kuliah di Australia?"

"Iya, tapi 'kan kamu enggak jadi diterima. Kalau di sana cuma kerja, kenapa enggak di sini aja?" Suara ibu mulai terdengar sinis. "Yang mau kamu cari itu apa sih di sana?"

Sebisa mungkin aku tidak terpancing untuk mengeluarkan kata-kata yang hanya akan kusesali nantinya. Aku tahu, walaupun nilai kelulusanku sudah bagus, tapi itu masih belum bisa mengantarkanku untuk melanjutkan ke jenjang selanjutnya di Australia. Dua kampus yang kupilih semuanya tidak dapat kutembus. University of Sydney dan University of Wollongong hanya akan menjadi anggan-anggan saja sekarang.

Namun, aku akan tetap pergi ke Australia. Siapa yang tahu aku bisa diterima di kampus lain, bukan?

Jika masih gagal pun, aku bisa bekerja di sana. Memulai kehidupan baru.

"Far, sudah siap?" teriak bapak dari halaman depan.

"Iya, Pak," balasku dengan teriak juga. Itu membuat ibuku menghela napas panjang.

Aku terkekeh pelan sambil meneruskan untuk mengikat sepatuku dan setelah itu mengajak ibu untuk keluar, "Ayo, Bu."

Lalu kami berdua berjalan keluar menuju halaman depan, di mana bapak sedang memanasi mesin Corolla merah tahun 1980, peninggalan kakekku. Kami mempunyai dua mobil, yang satu keluaran tahun 2010, tapi bapak lebih menyukai barang antiknya tersebut.

Saat semua koperku sudah masuk ke bagasi dan kami bertiga duduk di kursi masing-masing, bapak membuka suara, "Ingat ya, Far. Ini semua murni keputusan kamu. Bapak sama ibu cuma bisa mendoakan yang terbaik buat kamu. Misalnya kamu enggak jadi kuliah di sana, jangan patah semangat. Kalaupun kamu mau bekerja atau membuka usaha di sana, bapak sama ibu pasti dukung."

"Iya, Pak. Makasih." Kedua mataku berair ketika mendengarkan wejangan dari bapak. Ibuku pun tak kuasa menahan air matanya. Aku tahu, sikap ibu itu hanya reaksi ketidakrelaan karena anak bungsunya juga memutuskan untuk pergi ke negeri orang.

"Satu lagi, walaupun Kimberly itu kakak kamu, tapi dia sudah berkeluarga. Jadi bapak harap, kamu jangan merepotkan mereka ya. Kalau ada apa-apa kasih tahu bapak atau ibu."

Aku hanya bisa mengangguk, karena jika menjawab, pasti aku akan menangis dan itu hanya akan membuatku semakin berat untuk untuk meninggalkan mereka.

Dengan itu, mobil kuno merah yang kami kendarai melesat menyusuri padatnya jalanan ibukota untuk menuju bandara.

Aku yakin, pilihanku ini tidak salah dan aku sudah siap untuk memulai menulis kisahku di negeri Kanguru.

Halo, selamat datang di cerita keempat yang saya tulis di akun ini

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Halo, selamat datang di cerita keempat yang saya tulis di akun ini.

Cerita ini akan penuh keromantisan ala anak remaja yang sedang dimabuk cinta ^_^

Sesuai yang tertulis di deskripsi, ini adalah spin-off dari Steph & Dion. Saya menulis ini karena sedang mengikuti suatu lomba menulis yang diadakan oleh Benito Publisher.

So, enjoy ( ˘ ³˘)♥

He's the OneWhere stories live. Discover now