Bagian 5

15 3 9
                                    

Semilir angin menerpa anak rambutku yang terlepas dari ikatan kuda, membuatnya menari-nari seolah ingin terbang bebas

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Semilir angin menerpa anak rambutku yang terlepas dari ikatan kuda, membuatnya menari-nari seolah ingin terbang bebas. Sama seperti pemiliknya yang ingin keluar dari tekanan batin sang ibu. Pagi tadi saat aku dan Kim sedang menikmati sarapan, ibu menelepon. Volume tinggi yang keluar dari lubang suara pada ponsel milik Kim, membuatku bisa mendengar apa yang ibu katakan.

"Jangan manjain adik kamu itu. Dia udah gede, Kim. Enggak seharusnya ulang tahunnya dirayakan kayak gitu. Di restoran mahal lagi. Buang-buang duit."

"Bu, itu enggak masalah kok. Joe juga setuju. Lagian kemarin 'kan Farah ulang tahun yang ke delapan belas, wajar dong kalau ada sedikit perayaan."

Kimberly tersenyum miris ketika ia menyadari aku ada di dapur dan mendengar semua itu. Ia langsung mengalihkan pembicaraan dengan ibu dan berbincang mengenai keadaan restoran yang akhir-akhir ini sedikit menurun.

Aku masih tidak bisa mengerti mengapa ibu begitu menaruh rasa ketidaksukaan padaku, anak kandungnya sendiri. Bahkan ingatan tentang beliau yang memanjakanku, sama sekali tidak ada dalam memori. Bapaklah yang selalu memperlakukanku dengan baik, layaknya anak bungsu.

September merupakan bulan pertama pada musim semi, udara masih sedikit terasa dingin untuk ukuranku. Meskipun sudah tinggal di sini selama lima bulan lamanya, penyesuaian masih terus berjalan. Aku merapatkan selimut tebal berwarna biru muda pada tubuhku. Selimut ini milik bapak yang kubawa dengan sengaja, supaya ketika rindu, aku bisa merasa dipeluk olehnya.

Aku menyesap teh dengan aroma melati yang masih hangat, sembari menikmati pemandangan pegunungan Keira yang terlihat jelas dari jendela kamarku. Kegiatan yang akan aku lakukan seharian ini tidak lain dan tidak bukan, hanyalah bermalas-malasan. Kim sudah pergi sejak tadi pagi untuk ke restoran, sedangkan Kak Joe berangkat ke kantor. Ia bekerja sebagai desain interior sejak lulus kuliah dan seperti masih betah hingga sekarang.

Deringan nyaring yang berasal dari ponselku, mengalihkan perhatianku dari film romantis yang sedang aku tonton. Aku menekan tanda jeda dan meletakan laptop di sofa.

Randi Mahardika. Kenapa dia hubungi aku?

"Halo?"

Sebuah kekehan yang sudah tidak asing terdengar. "Ternyata ini benar nomor kamu."

"Randi. Mau apa kamu?"

"So feisty, huh? I like it."

Nada menggoda itu kembali ia gunakan. Tidakkah ia tahu setiap kali berkata dengan nada seperti itu, aku selalu merasakan sesuatu yang aneh?

He's the OneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang