Bagian 1

35 6 44
                                    

"Farah, nanti kalau kamu berangkat ke kafe, mampir dulu beli susu ya

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

"Farah, nanti kalau kamu berangkat ke kafe, mampir dulu beli susu ya. Persediaan di restoran tinggal tiga kotak," pinta Kim saat kami menikmati makan siang bersama.

Aku mengalihkan pandangan dari semur ayam yang hampir habis di piringku. "Kenapa aku? Itu 'kan tugasnya Sean."

Sean adalah rekan kerjaku di restoran. Dialah orang yang selalu berurusan dengan penyuplai, sedangkan aku hanyalah seorang pelayan yang terkadang merangkap sebagai kasir jika Devorah tidak masuk kerja.

"Aku suruh dia beli bahan kue di Cakers Warehouse. Kalau nunggu Sean enggak bakal keburu," jelas Kim sambil membelah sebuah alpukat yang akan ia buat untuk tambahan roti panggangnya.

"Oh, oke. Mau beli berapa kotak nanti?" tanya sebelum meminum jus jeruk.

"Dua puluh kotak aja dulu kali, ya? Nanti kita tutup agak awal aja. Jam tujuh harus udah tutup," kata Kim sambil mengangkat kedua alisnya dan tersenyum dengan mencurigakan.

"Emang kenapa?" tanyaku berpura-pura tidak tahu.

Kak Joe yang sedang membaca artikel di tabletnya pun terkekeh. "Kamu ini, Far. Pura-pura enggak tahu."

Di dalam kepala, aku bersorak gembira. Berarti memang benar apa yang kudengar minggu lalu, mereka berdua sudah merencanakan untuk merayakan ulang tahunku. Kimberly bukan tipe orang yang mengucapkan ulang tahun pada orang lain, tetapi ia lebih memilih untuk langsung memberikan kado atau kejutan.

Kim menggelengkan kepalanya dan mengambil sejumlah uang dari dompetnya. "Udah, habisin makan siangnya. Terus berangkat gih."

Setelah menghabiskan makan siangku, aku bangkit dari kursi dan berpamitan pada mereka. Dengan senyuman lebar, aku memasuki mobil Honda SUV merah milik Kimberly dan melaju menuju restoran yang berlokasi di jalan Darling.

Aku memutuskan untuk tidak kuliah dan memilih untuk bekerja di sini. Lagi pula, jika aku harus kuliah tanpa beasiswa, itu akan sangat memberatkan kedua orang tuaku. Bagaimana mungkin mereka mengeluarkan uang sekitar 342 juta per tahun untuk biaya kuliah S1 di Wollongong. Itu belum termasuk biaya akomodasi kampus yang mencapai sekitar 161 juta dan biaya hidupku di sini yang entah berapa totalnya.

Bisa-bisa rambut mereka berdua cepat memutih gara-gara memikirkan biaya kuliahku di sini.

Saat ini aku tinggal bersama Kimberly dan Joe suaminya, di daerah McKenzie Avenue. Di sebuah rumah yang terbilang cukup mewah. Itu bukanlah suatu masalah bagi kak Joe untuk memiliki hunian di kawasan kelas atas, mengingat ayahnya adalah seorang diplomat yang bertugas di Australia. Walaupun demikian, aku tetap menolak saat KAK Joe ingin membantu jika aku kuliah.

He's the OneWhere stories live. Discover now