Satu

1K 111 1
                                    

Ada sepasang kaki yang melangkah tanpa hati-hati menyusuri serambi yang memiliki beberapa bangku untuk diduduki. Senyumnya terpatri sembari bersenda-gurau dengan tiga orang di dekatnya. Jemarinya menggenggam erat sebuah totebag  berwarna putih gading polos dengan gambar minimalis yang berisi beberapa buku perkuliahannya. 

"Gue nggak paham sama pola pikir temen lo itu," ujarnya terbata-bata sambil menahan tawa.

"Gue juga cengo anjir, bingung dosennya tadi ngomong apaan. Filsafatis banget. Kaya anjir maba dapet dosen yang begitu banget?" temannya mengimbuhi sembari menyusul gelak tawa di akhir.

Empat puan berstatus mahasiswa baru tersebut berjalan menuju pusat bahasa untuk menghadiri perkuliahan selanjutnya. Terhitung telah memasuki minggu ke tiga di semester awal ini. Seorang mahasiswa baru yang masih mencoba beradaptasi dengan kehidupan perkuliahan dengan dosen-dosen yang nyentrik, menurut mereka.

"Li, lo kan ya yang presentasi?"

Kepala sang puan pemilik nama Amalia Nariswari yang akrab dipanggil Lia itu mengangguk mengiyakan, sebab memang saat ini gilirannya untuk mempresentasikan materi yang berkenaan dengan bab tiga mata kuliah tersebut.

Untuk kali ini, dosennya tidak sebegitu nyentrik seperti sebelumnya. Bahkan dapat dikatakan terlampau aman dan mengangkat teguh budaya jawa. Sehingga beliau sangat kalem dan santun, begitu menurut mereka. Yah, perilaku dosen yang seperti itu disenangi juga turut diremehkan oleh mereka.

Sudah minggu ketiga agaknya Lia aktif mengikuti pembelajaran dengan sematan baru; seorang mahasiswi. Ia mendarat pada sebuah jurusan murni melalui jalur undangan dengan mengerahkan semua kantong hoki yang dimilikinya. Walau sebenarnya dia melakukan strategi dengan probabilitas diterima alias menggunakan trik mana jurusan yang selalu menerima banyak murid dari sekolahnya.

Bila ditanya apakah dirinya tertarik dengan jurusannya ini, jawabnya tidak terlalu.

Sebenarnya ada jurusan beserta universitas yang lebih diidamkan olehnya, namun terhalang dari restu Ayah dan Ibu karena terlalu bahaya untuk putri semata wayang juga lokasinya ada di provinsi sebelah. Selain itu, Lia juga mengerti mengenai banyaknya biaya yang akan dikeluarkan oleh orang tuanya bila dirinya hidup sendiri. Uang untuk makan, tempat tinggal, transportasi, uang untuk jajan dan kebutuhan sehari-hari, belum uang buku, dan yang paling utama adalah uang kuliah tunggal per-semesternya. Tentunya bukan nominal yang sedikit, dan Lia enggan membebani orang tuanya lebih jauh.

Namun, kalau ditanya mengenai mampu-tidaknya, mungkin Lia cukup mampu, setidaknya untuk saat ini. Sebab ia selalu lepas dari himpitan jackpot mata pelajaran yang sama dengan jurusannya sekarang saat masih di bangku menengah atas.

Setibanya di ruang kuliah, Lia memilih sebuah kursi yang ada pada deret tengah, tepatnya baris keempat dari depan. Walau dosen yang mengampu tidak mematikan, Lia tidak gemar duduk di depan.  Matanya mudah mengantuk, pula kapasitas otaknya tidak mampu untuk lama-lama berkonsentrasi.

"Lo, udah ngehubungin mentor yang matkul pengantar?" tanya Lia berbisik pada Gina, temannya yang kemudian dibalas anggukan sambil menunjukkan ruang obrolan yang ada di layar ponselnya.

"Angkatan berapa? Bentar deh, yang jadi mentor angkatan setahun di atas kita atau gimana?" tanya Lia ajukan lagi.

"Ini kalau kata mentor gue sih, ada dua. Yang satu dua tahun di atas, satunya lagi setahun. Cuma yang dua tahun di atas ini nggak bisa dateng sih nanti. Kelompok lo udah?"

Lia menggeleng, ia belum menghubungi mentornya, atau entah, barangkali teman satu kelompoknya sudah ada yang menghubungi. 

"Na, lo udah chat mentornya?" menolak untuk santai dengan keambiguan siapa mentornya, Lia beralih menuju Nana, rekan satu kelompoknya yang duduk di barisan kursi yang ada di sebrangnya.

Nana mengangguk, "Udah di chat Ben kok, Li. Katanya nanti jam empat di suruh ke galeri buat bahas."

"Ah, gitu. Udah ada grupnya belum deh?" tanya diajukan oleh Lia.

"Ini baru selesai gue buat. Lo udah gue masukin ke grupnya kok."

"Oh, oke-oke. Makasih, Na." Lia kembali ke posisi semula untuk mengikuti perkuliahannya. Ponsel miliknya dimasukkan dalam tasnya.

Pukul empat, tepatnya empat puluh lima menit selepas perkuliahannya hari ini selesai. Lia tidak menjelikan matanya terhadap sebuah notifikasi yang masuk pada ponselnya.

***

AMOR TAKSA [Leeknow x Lia]Where stories live. Discover now