Mungkin tidak perlu dijelaskan lagi siapa orang-orang itu.

Orang-orang yang sangat berharga di hidup Bhanu, tapi tak pernah ia temui lagi selama sepuluh tahun.

Ah, lupakan saja! Mungkin mereka semua sudah lupa dengan Bhanu!

Mereka hidup baik-baik saja dan sepertinya sangat bahagia tanpa kehadiran Bhanu. Tak pernah sekalipun mereka menjenguk atau mungkin menanyakan bagaimana kabarnya sekarang. Bhanu yang dulu masih kecil, sekarang sudah menapak pada kedewasaan. Mereka semua meninggalkan dan melupakan Bhanu terlalu lama. Sangat lama hingga membuat hati Bhanu sedih dan terluka.

Bhanu dibiarkan hidup sendiri.

Hidup sendiri bersama kukungan rasa sakit terdalam.

Tak jauh dari tempat Bhanu berdiri, Faris sibuk mengacungkan jempol dan menyorakan nama Bhanu berulang kali. Bhanu merasa sedikit lega. Jika sosok kakek yang merupakan satu-satunya orang yang ia miliki telah tiada, paling tidak, dia masih memiliki seorang paman.

Kaki tegap Bhanu melangkah turun dari panggung. Satu-satunya tempat yang ingin Bhanu tuju adalah tempat di mana pamannya sedang berdiri.

Faris tersenyum bangga, "Otak Om insecure liat kamu. Hebat, Bro!" Faris bertos ria dengan Bhanu.

"Makasih, Om."

"Selamat ya, Nak Bhanu. Kamu memang hebat!" Bi Ratna memeluknya. "Aduuuhh, juara satu olimpiade fisika nasional. Kamu makan apa sampai pinter kayak gini, Nak? Pasti karena makan rendang ayam Bibi tadi pagi."

Bhanu tersenyum kecil, "Makasih, Bi. Bhanu sayang Bibi."

"Bibi juga."

Mereka melepas pelukan itu.

"Kakek pasti bangga di sana sama kamu," ucap Faris.

Bhanu menghela napas berat. "Semoga..."

"Pasti." Faris mengacak-acak rambut keponakannya. "Kita ke makam Kakek, yuk!"

Bhanu mengangguk.

"Bhanu!"

Suara itu membuat Bhanu membalikkan tubuhnya. Ia melihat Arya datang mendekat. Ini adalah kali pertama ia melihat ayahnya setelah sekian tahun lamanya.

"I-itu Ayah?" tanya Bhanu memastikan.

"Kamu lupa sama Ayah kamu?" tanya Faris.

Bhanu menelan salivanya. Tubuhnya bergetar seketika, air mata pun menetes. Ia teringat akan apa yang sudah orangtuanya lakukan dulu. Bahkan bekas lukanya masih dapat Bhanu rasakan sampai sekarang. Bhanu rindu, namun juga kecewa. Katakan, apa yang harus Bhanu lakukan? Perlukah Bhanu menunjukkan rasa kecewa dalam lubuk hatinya meski sebenarnya ia sangat rindu?

"Bhanu!" Arya memeluknya. "Kamu udah gede aja, Nak."

Bhanu cepat-cepat melepas pelukan itu.

"Bhanu?" tanya Arya kebingungan.

"Permisi," potong Bhanu kemudian pergi begitu saja.

Di saat itu pula Bhanu menumpahkan seluruh tangisnya. Ia meremas bajunya gusar. Sarang peluru memberinya kenangan tentang rindu yang diteriaki diam-diam dalam jiwa yang kosong. Seteguk nyeri di ujung hati mampu membuatnya runtuh ketika sang ayah muncul kembali di hadapannya setelah sekian tahun lamanya.

Ke mana janji ayahnya untuk selalu menjenguknya?

Dan bagaimana sekarang ia bisa bertemu seolah tidak ada apa-apa?

Arya mengejarnya, meraih tangan Bhanu, "Bhanu!"

Bhanu melepas tangan itu.

"Kamu ... marah sama Ayah?" tanya Arya pelan.

UNSPOKEN [TELAH TERBIT]Where stories live. Discover now