Tak Pernah Senyaman Ini

Start from the beginning
                                    

"Kalau boleh tahu orang tuanya Anton kemana nek?"

"Orang tuanya Anton sudah meninggal. Mereka mengalami kecelakaan. Jadi neneklah yang membesarkan Anton."

Vani shock, dia tak menyangka jika jalan hidup Anton sangat memprihatinkan. Anton pasti sangat kesepian. Tapi, saat di luar, Anton tak menampakan kesepiannya, malah dia terlihat seperti sebaliknya.

"Ehm, Vani minta maaf nek."

"Tidak apa-apa. Kamu pasti bisa menemani dia. Karena nenek yakin, Anton akan bahagia bersama Vani."

"Vani usahain nek, Vani bisa buat Anton bahagia," balas Vani dengan diakhiri senyum manisnya.

"Anton tidak salah sudah memilih teman sepertimu. Terima kasih banyak."

"Iya nek. Sama-sama."

Bayangan si nenek menghilang. Vani bingung, kemana perginya nenek itu. Hingga lama kelamaan, seluruh ruangan berwarna hitam. Gelap, sangat gelap.

Hingga sebuah memori yang lainnya muncul menggantikan memori yang tadi. Kali ini Vani sedang duduk berdua dengan Anton di sebuah lapangan. Mereka berdua sedang duduk dibawah pohon yang rindang, dengan ditemani bola basket. napas keduanya memburu, karena sehabis bermain basket. Gelak tawa selalu mengiringi kegiatan mereka berdua.

"Lo masih punya hutang penjelasan ke gue," tagih Vani.

Seketika raut bahagia milik Anton tergantikan oleh raut kesedihnya. Kemarin saat membawa Vani bertemu dengan neneknya, Anton berjanji akan menceritakan semua tentang dirinya. Hingga tibalah waktunya, kini Vani menagih janjinya.

"Orang tua gue meninggal saat gue masih bayi. Mereka kecelakaan dan meninggalkan dua orang anaknya. Yaitu gue dan adik gue. Kita emang kembar, tapi tak sama. Cuma beda setengah jam. Dan setelah itu, ada sepasang suami istri yang ingin mengadopsi adik gue."

Sudah dua kali Vani mendengar kabar jika kedua orang tuanya Anton sudah meninggal. Tapi dia masih merasa shock. Sama shocknya saat pertama kali mendengarnya, apalagi kali ini yang bercerita Anton sendiri, yang benar-benar mengalaminya.

"Lo tahu siapa adik lo?"

"Awalnya gue nggak tahu. Sampai suatu hari, gue penasaran sama adik gue. Gue tanya ke nenek gue, dan kata nenek gue, adik gue seorang cewek. Tapi nenek gue, nggak kasih tahu siapa namanya. Karena kata nenek gue, orang yang mengadopsi adik gue, akan menggantikan namanya."

Vani mendekati Anton dengan perlahan, kemudian memeluk tubuh Anton dengan hangat. Menepuk punggungnya, mencoba menguatkan.

"Lo yang sabar ya. Gue yakin, suatu saat lo bakal bertemu sama adik lo itu," ujar Vani masih menepuk punggung tegap milik Anton.

Tak ada ucapan yang keluar dari mulut Anton. Hanya balasan pelukan, yang dirasa Vani semakin erat. Mereka tetap bertahan dengan duduk saling berpelukan. Hingga tak lama kemudian Vani merasakan hembusan halus yang menerpa kulit lehernya.

"Ton, lo tidur?" tanya Vani sembari menepuk punggung Anton lagi. Tapi Anton masih diam.

"Ya udah. Lo tidur dulu. Gue rela pegel-pegel begini, tapi lo nggak boleh sedih lagi. Oke?"

Vani tak mengharapkan balasan, tapi sepertinya Anton belum sepenuhnya tidur.

"Hmm," balas Anton kemudian semakin mempererat pelukannya. "Gue udah nyaman sama elo. Jangan tinggalin gue, saat gue dalam keadaan seperti ini," ujar Anton lirih, tapi Vani masih dapat mendengarnya.

"Nggak akan. Gue pastiin, gue akan tetep ada disamping lo," balas Vani dengan nada lembutnya.

Vani gelisah dalam tidurnya. Kini memori saat Vani berpelukan dengan Anton hilang lagi. Tak ada memori masa lalunya yang muncul kembali. Hanya keadaan yang gelap gulita. Hingga tak lama kemudian, kepalanya merasakan sakit yang luar biasa. Dan tak bisa dicegah lagi, Vani terbangun dari tidurnya.

Tanpa kompromi, kedua kelopak matanya membuka dengan lebar, langsung melihat keadaan kamarnya yang berputar-putar. Seperti sehabis naik rollercoster, penglihatan Vani berkunang-kunang. Dengan cepat, Vani menutup kelopak matanya kembali untuk mengurangi rasa sakitnya. Dengan sekuat tenaga, Vani memaksakan tubuhnya untuk bangun bersandar dikepala ranjang.

Sungguh kepalanya sangat berat. Bahkan ketika dia membuka matanya, rasa sakit dikepalanya semakin mendera. Dengan sisa tenaganya, Vani memanggil kakaknya. Karena orang tuanya tak ada dirumah. Mereka sedang bertugas keluar kota.

"Ka-kak. Kak Gilang! Eegh-" panggilnya Lemah. Vani masih setia menutup kedua matanya.

"Kak Gilang," panggilnya lagi. Hingga tak lama kemudian terdengar langkah kaki seseorang.

Pintu kamar Vani terbuka, menampilkan Gilang dengan raut khawatirnya. Gilang khawatir, karena Vani memanggil namanya dengan sangat lirih. Karena Gilang tak tahu jika Vani sedang sakit. Buru-buru Gilang mendekat ke arah Vani.

"Lo kenapa dek?" Gilang menempelkan punggung tangannya dikening Vani. "Lo demam. Astaga, kenapa gue nggak sadar. Bentar gue ambilin kompresan sama obat dulu. Lo tiduran aja."

Vani menurut, Gilang membantu Vani untuk berbaring lagi. Dengan segera Gilang berlari keluar kamar untuk mencati barang-barang uang diperlukan.

Gilang khawatir, sangat khawatir. Karena selama ini Gilang tahu, jika Vani tak pernah merasakan sakit. Saat Gilang mencari obat penurun panas demam, dia teringat sesuatu pesan. Pesan dari orang tuanya.

'Apa jangan-jangan, ingatan Pita sudah kembali? Tapi, nggak mungkin secepat ini. Ini bahkan bukan waktu yang dokter perkirakan. Semoga bukan itu yang terjadi. Gue belum siap, gue belum siap jika Pita harus berubah'---Gilang.

I Love You My Pawang [REVISI]Where stories live. Discover now