Never Apologize for being a Powerful Woman

4 1 0
                                    

Aku perempuan.
Akhir 30an.
Terlalu tua ngga kalau aku berbagi kisahku disini?
Haha.
Maaf ya adek-adek sekalian,
Salahkan Dara kalau kalian tidak tertarik membaca kisahku yang remeh ini.
Lagian, ini bukan soal sakit hati atau yang sedih-sedih kok.
Tapi entah kenapa Dara meyakinkanku kalau hal ini menarik untuk dibagi.

Aku tidak secantik yang dikatakan Dara..
Tapi yaa...untuk gadis seumuranku, aku bangga atas pencapaianku.
Aku bukan dari keluarga berada..
Aku memulai semuanya dari nol.
Dari pintu ke pintu.
Kini aku tinggal duduk dan mengawasi.
Memastikan semuanya berjalan dengan baik.

Aku benar-benar workaholic.
Gila kerja. Tapi aku memang menyukai pekerjaanku.
Hingga aku tidak sempat untuk memikirkan pria.
Yaaah...dulu...ketika aku masih muda, twenty something..
Aku sama kok seperti kalian.
Bucin abis.
Tapi..aku jadi benci pada diriku sendiri ketika aku menggilai pria.
Pekerjaanku terbengkalai.
Bisnis yang baru kurintis kacau balau mengikuti moodku.

Akhirnya aku menyerah.
Aku memutuskan berkarir terlebih dahulu.
Menyekolahkan adik-adikku.
Membanggakan orang tuaku.
Lelaki? Maaf ya, aku anggap kalian sebagai mainan saja.
Come and go. No hard feeling.

Tapi disini aku tidak mau membual soal pekerjaanku.
Aku hanya mau membagi sudut pandangku memaknai cinta.
Bagaimana aku akhirnya percaya pada kata yang dulu selalu aku anggap sebagai imajinasi.
Bagaimana diriku yang tangguh akhirnya luluh.
Bagaimana aku begitu mengasihi lelaki berkebangsaan asing yang kini dengan bangga kusebut sebagai suami.

Kini dia sedang bekerja nun jauh di sana.
Di negara yang bahasanya saja tak bisa aku mengerti.
Dulu sebelum pandemi..
Ia selalu menyempatkan diri pulang dua minggu sekali.
Bulan depan..sudah menginjak bulan ke-enam aku tidak pernah melihat wajah tampan yang mulai penuh dengan kerutan itu.
Menua bersama.
Itu kan yang kita semua harapkan?

Tapi dulu...aku tidak pernah percaya akan harapan, akan manisnya janji lelaki yang kata orang mirip peribahasa lawas habis manis sepah dibuang.
Haha.
Duh tua banget ngga sih aku?
Tapi itu benar terjadi padaku.
Saat aku belum menemukan orang yang tepat.

Bukannya aku tidak mencari,
Aku berkelana dari satu hati ke hati lain.
Mencari frekuensi yang sama.
Yang seimbang. Yang sepadan.
Karena kebanyakan pria yang aku kenal terlalu sempit memaknai cinta dan hubungan.
Sisanya, terlalu berlebihan hingga aku tidak siap menerimanya.

Bagaimana dong..
Aku pun tidak mau "mengalah".
Aku tidak mau merendahkan diri hanya demi pasanganku tampak lebih bersinar daripadaku.
Aku tidak mau seperti nasihat orang lawas..
"Jangan lebih tinggi dari suami.."
Menurutku, sah-sah saja kan kalau kita mau berkembang?
Lagipula, orang tuaku sudah capek-capek menyekolahkanku tinggi-tinggi.
Yakin hanya untuk tenggelam karena segan terhadap pasangan?

Bukannya aku tidak mau diajak susah lho.
Tapi kalau pemikiranmu saja tidak sebanding dengan pemikiranku dalam memandang karir;
Mohon maaf ya aku sih tidak mau repot-repot menuntunmu layaknya pengasuh.
Aku ingin hubungan yang dinamis.
Yang saling memecut diri untuk keluar dari zona nyaman, tapi juga menyediakan bahu untuk mengambil jeda.

Yang tidak seenaknya menyuruhku memakai pakaian yang dianggap "pantas" kemudian melirik wanita lain yang melenggang dengan pakaian yang minim bahan.
Atau menyuruhku agar mengurus kebersihan rumah dan melarangku bergaul dengan kawan-kawanku dengan dalih "weekdays kan udah kerja...weekend sama aku dong di rumah rebahan."
Oh tunggu dulu. Aku tak segan menyeretmu mengikuti banyak kelas tentang ini itu.

Haha. Maaf ya aku jadi terpancing untuk membicarakan hal-hal yang biasa dibicarakan wanita di belakang lelakinya.
Tapi, aku harap...banyak lelaki yang juga merasa terpecut setelah membaca tulisanku ini.
Bukan uang tujuan kami.
Tapi bertumbuh bersama.
Berdebat. Bebas mengutarakan apa saja tanpa takut merasa rendah diri atau mengutamakan arogansi.

Dari sekian banyak hati yang aku intip,
Aku tak sengaja menemukan sesuatu yang utuh dari balik cokelat panas pukul tujuh malam di kedai kopi kecil itu.
Aku menatapnya lama.
Memastikan bahwa gelenyar di kulitku nyata.
Sh*t.
Cercaku.
Kamu tau, sungguh mudah membangun chemistry dengan orang lain, menurutku.
Aku dengan mudahnya mengambil hati semua customerku; baik wanita maupun pria.
Karena memang semudah itu menjadi luwes dan menarik perhatian.

Tapi kali ini.
Berbeda.
Cercaanku berubah menjadi sumpah serapah ketika kalimat-kalimat lugas meluncur dari bibir pria kharismatik berkebangsaan asing ini.
Sh*t. I don't have to build it. The chemistry lingers on us.
Kalimat-kalimat itu berubah menjadi tawa tertahan.
Bahuku yang berguncang.
Dan gelenyar yang terus menyiksa.

Kini, cokelat panas pukul tujuh malam itu selalu mengisi hari-hari kami. Tergantikan oleh pancake pukul tujuh pagi.
Kopi hitam tanpa gula ketika terjaga pukul empat pagi.
Atau salad buah yang tergesa-gesa aku beli pukul sebelas malam..
Menggantikan sepotong kue ulang tahun yang jarang kuingat;
Hari itu aku cepat-cepat pulang ke rumah dan tau bahwa aku sudah terlambat mengucapkan selamat ulang tahun;
yang disambutnya di depan pintu sambil membawa jam dinding yang sengaja dilambatkan sehingga tepat pukul dua belas malam, dilanjutkan dengan kalimat,
"Well..it's still my birthday.
Err...you brought me a salad?
That's all?"
Aku tergelak.

Kini, cokelat panas itu aku sesap perlahan sendirian.
Bahkan face time pun tidak mampu membebat rinduku.
Aku teringat malam-malam sebelum kepergiannya.
Cinta kami sudah tidak menggebu-gebu.
Terkadang aku hanya membaca buku dan meletakkan tanganku di dadanya.
Atau menjahilinya ketika aku tidak bisa tidur pukul empat pagi.
Membacakan kalimat di buku yang aku baca keras-keras diakhiri dengan gertakan pelan, "Wake up sleepy head!"
Atau pura-pura tidur ketika hari sudah menjelang siang; tapi lucunya ia selalu membisikkan, "Morning. Miss me already?" Diiringi dengan entah dengungan atau senandung tak bernada yang keluar dari mulutnya.

Haha maaf ya jadi bernostalgia sendiri.
Tolong salahkan zodiakku yang notabene hopelessly romantic.
Jangankan ketika tidak bertemu, saat kepulangannya saja aku menangis.
Aku sungguh ingin seperti di film-film dimana pemeran wanita menjemput di bandara dengan wajah bahagia menunggu kepulangan pemeran pria.
Lalu bergandengan tangan pulang ke rumah dilanjutkan dengan percintaan yang menggebu.
Tapi aku malah menangis.
Bergelung di lengannya seperti kepompong ulat sutra dan menikmati aroma aftershave di lehernya.
Haha ya ampun...sungguh aku merasa kalah.
Aku yang dulu tangguh; kini kalah telak menangisi seorang pria.
Aku yang dulu tidak mudah percaya; kini perlahan satu-satu meletakkan pondasi di kakinya.
Sebuah kekalahan yang sungguh aku nikmati.

Mungkin pada akhirnya, ketika menemukan pria yang sepadan..melepaskan ego ternyata tidak sesulit kata orang.
Mungkin aku hanya beruntung karena menemukan saat aku berhenti mencari.
Mungkin kamu juga harus berhenti mencari.
Karena aku tau pencarian itu melelahkan.
Membangun chemistry juga ternyata sia-sia belaka.
Mungkin kamu harus menunggu karena; okay pembicaraanku mulai terdengar klise; tapi memang ada pria yang tepat di waktu yang tepat.
See? I cant believe that it's coming from me.
Haha.
Well, beginilah bucin di akhir 30an.
Tapi sebagaimana Dara selalu bilang bahwa luka tidak mengenal usia...bukannya cinta juga tidak mengenal usia?

KISADARADove le storie prendono vita. Scoprilo ora