Menatap dari Kejauhan

20 4 0
                                    

Aku perempuan.
Aku hampir lulus kuliah tahun ini.
Terlepas dari pandemi, kehidupanku tidak rumit.
Aku bisa makan enak, tidur nyenyak.
Sesi perkuliahan pun masih bisa aku ikuti secara online.
Lagian, sebelum pandemi berlangsung..
Dosen-dosenku sangat melek teknologi sehingga aku tidak kagok dengan face time.
Aku tidak mau membual soal perkuliahanku.
Sudah cukup kan kalian mendapat masukan soal passion dan kawan kawannya?

Aku hanya mau membagi keresahanku.
Yg mungkin juga pernah kalian rasakan.
Atau yang kini mulai kalian tertawakan.
Andai aku bisa menertawai kehidupanku.
Tapi sepertinya aku belum menemukan waktu.
Padahal waktu terus berjalan.
Hampir beberapa tahun.
Tapi jiwaku seperti terdiam di masa lalu.
Tidak mampu bergerak meski terkoyak waktu.

Jangan dilanjutkan kalau kalian tidak
mau membaca kisah remeh ini.
Aku pun tidak sakit hati.
Toh memang hal ini remeh kok.
Ini hanya perkara menerima kenyataan.
Kenyataan bahwa aku tidak pernah ada di hatinya.
Yang dulu selalu aku anggap kebalikannya.
Meski hanya porsi kecil, menurutku dulu.
Aku tidak pernah mengungkapkan perasaanku.

Yang pernah aku sesali tapi kini malah menjadi kelegaan yang luar biasa karena aku tak mampu menanggung malu seandainya dia berkata tidak sanggup.
See? Remeh ya?
Bodohnya aku terlalu berharap.
Padahal kalau dipikir, aku berharap soal apa?

Aku hanya bermain imajinasi.
Bahwa kami sungguh saling melengkapi.
Kami sama-sama lugas.
Sama-sama pandai berorganisasi.
Sama-sama pandai mengambil hati orang yg baru dikenal.
Persuasif. Mungkin juga terlalu banyak ide sehingga kami sering bertabrakan opini yang malah membuat topik yang kami bicarakan lompat sana sini.
Aku sering menyebutnya bodoh, jelek, gendut karena memang begitulah adanya.
Haha.
Tapi entah mengapa ada candu yang aku rindukan.
Terutama malam ini.

Oh ya, aku sudah bilang bukan dia sudah punya pacar yang cantik?
Berambut pendek dengan kulit yang putih sempurna.
Aku sudah bilang belum kalau pacarnya memiliki sifat yang sama sepertiku? Ah, ditambah lagi pintar memasak dan  tidak memiliki kekuranganku yang mudah bosan atau galak setengah mati.
Mungkin sih ya.
Aku juga tidak terlalu mengenalnya.

Yang ku tau, dia sungguh beruntung
bisa memiliki hati lelaki yang aku inginkan.
Meski mungkin tanpa usaha.
Tanpa harus membuka buku bagaimana mempermainkan hati pria dan segala hukum tarik ulur dan kibas rambut sembari mengerlingkan mata lalu melenggang penuh percaya diri meski sakit hati.
Meski mungkin di akhir permainan aku hampir mendapatkan hatinya, aku tidak pernah sampai kesana.

Bukannya aku tidak mengira sejak awal
kalau kisahku tidak mempunyai ujung.
Oh. Ada. Aku hanya perlu mengambil
gunting dan memotong harapanku.
Tapi mungkin gunting yang aku punya terlalu ringkih.
Mungkin aku harus mencoba mengguntingnya berkali-kali.
Tapi pada percobaan ketiga aku selalu terpaku pada masa lalu.

Sewaktu ia bersumpah serapah ketika aku menggoda tak mau lagi berteman dengannya.
Sewaktu dia memperhatikanku dari kejauhan yang aku tidak sadar hingga muncul notifikasi,
"Kamu mau jalan sampe mana sih?"
Haha.
Sewaktu aku sibuk mencari pastry favoritku untuk dibawanya pulang.
Sewaktu aku melihat rambutnya tergerai acak-acakan menikmati es krim coklat.
Atau sewaktu aku meloncat kegirangan karena dia mau menemaniku minum kopi.
Aku tidak pernah meloncat sebelumnya. For God's sake.

Ya ampun padahal aku hanya mengenalnya beberapa bulan saja tapi pernahkah kamu dengar kalimat, "when you know..you know."
Aku langsung tau bahwa dia orang yang tepat.
Atau mungkin hanya perasaanku ya?
Bagaimana aku bisa tau padahal tidak pernah menghadapi suatu masalah bersama?
Tidak pernah membicarakan hal-hal prinsipil bersama.
Aku hanya ingat celetukannya,
"Kamu pintar dalam segala hal, kecuali satu."
"Apa?"
"Ngaji."
Aku tergelak.
Sudah ya, aku tidak mau membicarakan
SARA di tulisanku ini.
Aku memang tidak religius kok.

Entah kenapa ya waktu singkat yang kuhabiskan bersamanya tidak pernah habis dimakan waktu.
Padahal aku sudah sering nongkrong, pdkt, pacaran, putus.
Dengan banyak pria.
Dari berbagai fakultas.
Dengan berbagai cara pandang yang membuatku takjub.
Sudah ya, jangan ngejudge aku murahan.

Dari sekian banyak itu, dulu aku pikir patah hati terakhirku sebelum mengenal lelaki ini...akan melekat terus.
Dulu aku juga lama melupakan pria itu.
Butuh beberapa tahun hingga pedihnya tidak terlalu menyengat.
Aku juga dekat kok dengan beberapa pria.
Tapi aku mengenalnya sebagai titik terendah di hidupku.
Yang selalu aku hindari meski aku sungguh ingin memilikinya kembali.
Aku takut bertukar sapa.
Setakut itu mendengar suaranya lagi.
Kamu tau, sungguh mirip alec baldwin.

Aku takut...hingga aku bertemu lelaki bodoh jelek dan gendut ini.
Aku mencoba menyapa patah hati terakhirku.
Memastikan bahwa suara indah itu tidak lagi mengganggu pikiranku.
Dan memang tidak.
Bebanku serasa lepas.
Aku merasa hidup kembali.
Hanya karena lelaki bodoh satu ini.
Jangan ketawa ya membaca tulisanku yang lebay.
Boleh kan aku berbagi luka?

Aku sendiri tidak tau apa beda cinta dan imajinasi akan cinta itu sendiri.
The idea of the subject. And the subject itself.
Yang aku tau, perasaan seperti ini...
Yang mungkin kamu sebut unrequited love
Atau almost-relationship...
Ternyata sama pedihnya dengan patah hati biasanya.

Bagaimanapun juga, aku menghormati keputusannya.
Aku tidak mau mengganggu kehidupannya.
Tidak juga mengusik pacarnya yang cantik.
Aku hanya ingin mengenang.
Mungkin perlu waktu yang lama mirip seperti patah hati terakhirku.
Tapi mengenangnya saja sudah cukup.
Dengan bodohnya kadang aku tertawa.
Kadang aku menangis pagi-pagi setelah bermimpi tentangnya; yang sekedar menyapaku atau berlari mengejarku.
Kadang dengan bodohnya lagi, aku mengirim pesan di malam hari lalu menghapusnya pagi-pagi sebelum dia bangun.
Kebodohan khas anak kuliahan kan?

Yang penting, aku tidak mengulangi kebodohanku untuk berharap padanya lagi.
Aku hanya melakukan hal yang dulu pernah dilakukannya untukku.
Memandang dari kejauhan.
Aku terlalu takut untuk mendengar suaranya atau melihat cengiran jeleknya. Haha.
Dan aku rasa,
Itu cukup bagiku.

Shimbalaiê,
Anonymous.

KISADARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang