Has Corona Virus Made Us More Human?

50 6 0
                                    

Aku perempuan.
28 tahun.
Dulu rasanya bangga ketika pertama kali menjejakkan kaki di lobi kampusku.
Pun halnya ketika aku disumpah.
Tapi semua rasa itu hilang ketika akhirnya aku melihat realita.
Aku memang masih bangga memakai jas putihku. Yg makin membuat parasku ayu, apalagi disandingkan dengan stiletto hitamku.
Kini, ah...jangankan stiletto..
Memakai maskara pun sepertinya aku tidak sempat.
Seiring bertambahnya umurku,
Aku menyadari bahwa bebanku mulai berat.
Titelku tak lagi terlihat mentereng.
Yg aku pikirkan kini hanyalah sebagai pengabdi masyakat.
Tapi yg namanya pengabdi ya tetap pengabdi.
Setelah selesai pengabdian setahun,
Aku mengambil ATLS dan ECG course untuk syarat bekerja di IGD.
Dan hey, itu tidak murah!
Gaji pertamaku pun tidak sanggup membayarnya.
Tapi tenang saja, aku tidak masalah kok...
Toh itu untuk bekalku nantinya.
Sebenarnya aku tidak merasa tertekan di emergency room, sekalipun jadwalku melelahkan, jam-jam tidurku makin sempit, pasien hilir mudik riwa-riwi, jahit sana sini, belum lagi kalau ada code blue..
Aku suka dengan ritmenya.
Begitu dinamis. Challenging.
Begitu banyak nyawa yg kuselamatkan di detik-detik terakhir.
See? Aku masih bangga sebagai pengabdi.
Sekalipun kini aku harus memakai hazmat selama shift-ku. Menahan kencing dan lapar.
Aku tidak masalah.
Ini tanggung jawabku.
Yg jadi masalah adalah kamu di luar sana.
Kamu yg menggampangkan soal hidup dan mati.
Kamu yg berkeliaran tanpa menjaga jarak.
Asal kamu tau saja, saat awal-awal pandemi ini menghebohkan jagat raya..
Semua stok masker dan APD kosong.
Asal kamu tau saja,
Aku mencuci masker surgical-ku berulang kali.
Menjemurnya di tengah teriknya matahari.
Aku tidak tau dimana mencari N-95 karena semua supplier tiba-tiba hilang entah kemana.
Memang seharusnya di-supply, tapi pihak rumah sakit juga kewalahan.
Gajiku sendiri?
Kini tertawalah, karena bayaranku jauh di bawah bayaranmu.
Mana aku sanggup beli seboks yg harganya saat itu menembus angka 5jt.
Sanggup sih, tapi aku harus makan nasi kecap.
Minta orang tua pun aku malu.
Katanya dokter? Kok tangannya masih tengadah.
Percayalah, kehidupan kami bila benar-benar lepas dari orang tua...amatlah kere.
Kecuali kamu anak sultan yg tinggal suruh sana sini.
Tapi akupun tidak masalah dengan anak sultan.
Temanku banyak yg sultan, toh mereka baik.
Fase hidup orang kan berbeda.
Jadi, jika kamu sudah baca tulisanku ini..
Aku harap kamu mengerti.
Aku harap kamu mengangguk ketika aku bolak-balik ngomel hingga bibirku dower, "Pakai masker ya kak. Jaga jarak. Di rumah aja kalau bisa. Hindari kumpul-kumpul ya. Kasian bapak ibumu. Kasian yg rentan terkena dampak."
Mengangguklah.
Bukan dibalas dengan,
"Sampeyan dukun ta? Dikirone aku covid?"
"Lha lapo soro-soro? Covid lho hoax dok! Wocoen ta nang internet"
"Haduh aku wes pengen piknik dokk..."
Aku cuma bisa geleng-geleng.
Nak, dengar ya..
Aku sudah melihat begitu banyak nyawa meregang di masa pandemi ini.
Aku melihat banyak profesorku berguguran.
Bahkan, profesor penguji temanku saat stase interna.
Mungkin hati kami tidak sesakit keluarga yg ditinggalkan.
Tapi siapa pun itu, kami sejawat.
Sejawat berarti saudara.
Dan aku harap kamu menghormati jasad saudaraku.
Kami lelah berteriak, kami lelah memaki, menghimbau, mengantisipasi, apa saja telah kami lakukan,
Tapi kamu tetap acuh.
Masih beruntung pita suara kami tetap utuh.
Masih beruntung pula raga kami tidak luruh.
Jadi, di sisa-sisa suara penghabisanku ini,
Dengarkanlah.
Kami terus berjuang nak.
Demi kamu.
Demi keluargamu.
Maka berjuanglah demi kami.

Regards,
Doktermu terkasih.

KISADARAWo Geschichten leben. Entdecke jetzt