4. Suasana Baru

216 5 1
                                    

Amal menghela nafas lega saat menduduki tempatnya di pesawat kedua perjalanan menuju London. Tubuhnya terasa lemas tak bertenaga dan iapun tertidur pulas sepanjang perjalanan dari Dubai hingga Heathrow. Tiket pesawatnya bukan direct-flight dari Jakarta menuju Inggris namun transit terlebih dahulu di Uni Emirat Arab. Jarak transit-pun hanya satu jam sehingga ia seolah 14 jam duduk manis di pesawat. Apalagi karena memesan tiket pesawat secara tiba-tiba di musim pasca libur musim dingin, pesawat pertamanya terisi penuh dan ia mendapatkan tempat duduk di bagian tengah pesawat. Amal diapit oleh dua orang kulit putih yang tidak ingin mengganti tempat duduk mereka dengan alasan bagasi mereka sudah diletakkan sesuai nomer tempat duduk. Karena ia juga terlambat memasuki pesawat, ia tidak ingin mencari masalah sehingga terpaksa ia bertahan di tempatnya dengan tubuh yang dipastikan selalu tegak sepanjang 7 jam pertama perjalanannya.

"...We will soon be landing in the Heathrow International Airport. Excuse me Miss."

Samar-samar ia mendengar suara pramugari di alam mimpinya hingga ia terbangun. Dengan senyum ramah yang tak pernah meninggalkan bibirnya, sang pramugari kembali mengisyaratkan Amal untuk membuka jendela dan menegakkan kursi.

Walaupun ia merasa kaku di seluruh badan, namun kini pikirannya sudah lebih jernih dibandingkan beberapa jam lalu saat pikirannya dihantui oleh bayangan tertinggal pesawat dan di pesawat sebelumnya ia sibuk dengan usahanya bisa duduk nyaman dengan posisi dusuk tegak.

Tak lama kemudian daratan Britannia Raya mulai terlihat. Rasa sedih tiba-tiba menyelimuti dada Amal. Bukannya ia tidak senang akhirnya sampai di tanah yang selama ini hanya dalam bayangan, namun baru sekaranglah benaknya memiliki ruang yang cukup untuk merindukan keluarganya. Dalam ketergesa-gesaan seluruh proses pemberangkatannya, ia merasa belum puas pamitan dengan orangtuanya padahal ia tidak tahu kapan lagi mereka akan berjumpa kembali.

Teman-teman yang selama ini mengenal Amal dan mengetahui betapa jauh jarak yang sudah ia tempuh untuk mencari ilmu tidak akan menyangka bahwa Amal sebenarnya bukan orang yang menyukai perjalanan atau berkelana. Mereka semua mengira ia bukan orang yang mudah merasa homesick.

Ia menatap orang-orang disekitarnya sekilas. Kebanyakan berambut terang dengan kulit yang terbakar. Kemungkinan besar mereka orang-orang yang berdomisili di Inggris, masih berada di usia produktif mereka dengan semangat berpetualangan yang begitu kuat. Tak sulit untuk menyimpulkan mereka baru saja berlibur di daerah tropis dari pakaian dan sepatu olahraga yang mereka kenakan. Melihat pemandangan tersebut pikirannya kemudian teringat sosok temannya yang sudah 3 tahun tidak ia temui. Seseorang yang barangkali sudah menunggunya di Bandara Heathrow untuk menjemput.

Pesawat Amal mendarat tepat waktu. Karena tempatnya yang kali ini dekat dengan jendela, ia tidak beranjak hingga ia merasa sebagai orang terakhir yang masih berada di tempat duduk. Amal lebih suka menghindar dari fase desak-desakan para penumpang yang semakin membuatnya merasa mungil sebagai orang Asia Tenggara di tengah-tengah ras Kaukasia. Akhirnya ia berdiri untuk mengambil barang-barangnya di bagasi. Sesuatu yang seharusnya cukup mudah menjadi lebih berat karena fisiknya yang mungil. Ia berjinjit namun kopernya hanya bergerak sedikit. Ditengah kesulitannya, ia tidak menyadari keberadaan orang didekatnya hingga ada tangan lain yang dengan mudah meraih kopernya dan menaruhnya di lantai pesawat.

Memutar balik untuk berterima kasih, ia bertatapan langsung dengan sepasang bola mata abu-abu terang yang menatapnya tanpa malu. Terkejut, Amal tertegun sesaat. Ia tak yakin bagaimana harus bersikap di hadapan laki-laki asing yang berdiri dihadapannya, lengkap dengan wajah yang tidak dihiasi senyuman walaupun masih muda, lengan yang dihiasi tattoo, dan anting logam di telinga kirinya. Amal memutuskan mengucapkan terima kasih secara sopan, berbalik dan segera berjalan menyusuri pesawat menuju pintu. Ia tidak menoleh kebelakang walaupun di lubuk hatinya ia merasa sikapnya cukup ketus mengingat ia baru saja ditolong. Desperate calls for a desperate measure. Ia berharap si penolong paham sikapnya yang kurang mengenakkan.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 18, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Ta'aruf Yang GagalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang