Sedikit berbincang, menanyakan kabar. Dan terakhir sedikit kata-kata menenangkan yang selalu Jisoo berikan pada kakak dari gadis yang sampai saat ini masih ia anggap sebagai adik angkatnya. Jisoo, berusaha menguatkan ketiga kakak Yeri.

"Apa kau akan kembali dalam waktu dekat?"

Jisoo ingin, sangat ingin kembali ke Indonesia. Ia mengutarakan niatnya pada Wendy. Dua tahun lebih bukan waktu yang sebentar. Meski ia pernah sekali ke Indonesia tanpa sepengetahuan keluarganya. Tapi keadaan sekarang sedang tidak memungkinkan.

"Aku akan kembali secepatnya."

Entah sejak kapan Jisoo mulai dekat dengan ketiga saudari Yeri, bahkan dengan Irene dan Suho.

Di rasa cukup, Jisoo mengakhiri panggilannya. Sedikit terkejut saat mendengar pintu kamarnya di ketuk dari luar.

Gadis itu membuka pintu kamarnya perlahan. Terlihat sang Ibu yang kini berdiri di hadapannya. Tersenyum lembut ke arahnya.

"Bagaimana kabarmu?"

Saat ini keduanya sedang duduk di sisi tempat tidur, di kamar Jisoo tentunya. Gadis itu terlihat berbaring dengan menjadikan paha Ibunya sebagai bantal. Tiffany bertanya seraya mengusap lembut surai hitam anaknya.

"Seperti yang Mama lihat. Aku baik." ucap Jisoo dengan mata terpejam. Menikmati usapan lembut Ibunya.

"Satu bulan Jisoo. Apa kau lebih betah tinggal di apartemenmu?"

Mengingat sudah satu bulan Jisoo tidak pulang. Saat di Indonesia dulu, meski jarak rumah dengan kampusnya terbilang jauh, gadis itu tetap akan lebih memilih pulang. Hanya sesekali ia akan menginap di apartemennya.

"Akhir-akhir ini tugasku menumpuk Ma."
Tentu ini hanya Jisoo gunakan sebagai alasan.

"Apa ada kesulitan dengan kuliahmu?"

Jisoo menggeleng. Ia membuka matanya, menatap sang Ibu yang saat ini juga sedang menatapnya. Rasanya sudah lama ia tak sedekat ini dengan Ibunya. Statusnya sebagai anak sulung membuatnya tak bisa sedikit bermanja, mengingat ia masih memiliki tiga orang adik.

"Jika ada kesulitan, katakan pada Mama. Jangan jadikan kesulitanmu beban untukmu sendiri. Bagilah pada Mama." ucap Tiffany.

Jisoo tersentuh mendengar ucapan Ibunya. Apa mungkin ia akan mengatakan semua yang ada di pikirannya. Bukan beban, dan itu yang selalu memenuhi pikiran Jisoo.

"Jangan khawatir, aku baik-baik saja Ma. Tanpa beban apapun." ucap Jisoo menjawab kekhawatiran Ibunya.

Tiffany merasa ada hal yang Jisoo sembunyikan sendiri. Namun ia tak bisa memaksa. Tiffany akan menunggu jika Jisoo memang sudah siap untuk berbagi cerita.

"Temuilah Lisa, semalam dia menanyakanmu."

......

Seorang gadis terlihat berdiri di balkon kamarnya, menatap pemandangan di hadapannya. Rasanya baru kemarin ia menginjakkan kakinya di tempat itu. Tak di sangka waktu berjalan begitu cepat. Lisa, gadis yang mulai nyaman dengan kehidupannya sekarang.

Awalnya ia sedikit takut dengan lingkungan baru. Namun seiring berjalannya waktu, gadis itu mulai mudah bersosialisasi dengan orang lain. Tak sulit baginya untuk mendapat teman.

Sekilas ia teringat saat pertama memasuki bangku sekolah menengah atas. Saat itu ia hanya memiliki satu teman. Tidak, bahkan mereka sempat bersaudara. Dan Lisa sama sekali tak ingin mengingat hal itu lagi.

"Sudah malam, mengapa masih di luar?"

Lisa tersentak saat tiba-tiba Jisoo sudah berdiri di sebelahnya. Sedikit mengerjapkan matanya, meyakinkan penglihatannya jika seseorang yang berdiri di sebelahnya itu benar-benar kakaknya.

"Kak Jisoo." ucap Lisa lirih, nyaris berbisik.

Jisoo tersenyum tipis pada Lisa.

"Belum tidur?" tanya Jisoo.

Lisa kembali menatap ke depan. Sejujurnya ia rindu pada kakak sulungnya. Namun pertengkarannya beberapa waktu lalu sulit untuk Lisa lupakan. Itu adalah kali pertama Lisa mendapat bentakan dari Jisoo.

"Aku tidak mengantuk." jawab Lisa.

Selanjutnya hanya keheningan yang menyelimuti keduanya. Lisa melirik ke arah Jisoo. Ada yang berbeda dengan kakak sulungnya. Bahkan saat tadi ia pertama kali melihat Jisoo, tak lagi ia melihat wajah penuh emosi seperti waktu itu.

"Baru pulang?"

Jisoo menoleh, adiknya itu bertanya tanpa menatap ke arahnya.

Jisoo mengangguk.
"Banyak tugas, dan aku selalu pulang malam."
Cukup untuk alasan mengapa dirinya jarang pulang ke rumah.

"Ku kira ada hal lain."

Jisoo tak menanggapi ucapan adik bungsunya. Ia sedang tidak ingin berdebat.

"Kau baik-baik saja?" tanya Jisoo seraya menatap Lisa di sampingnya.

Adiknya itu hanya menjawab dengan anggukan. Jujur saja hatinya sedikit menghangat mendengar nada khawatir dari pertanyaan kakak sulungnya.

"Maaf karna pernah membentakmu."

Kali ini Lisa menoleh, keduanya saling bertatapan. Lisa menunggu kelanjutan dari ucapan kakaknya.

"Aku tidak bisa jika harus bersikap seolah musuh di hadapan kalian. Kalian adik-adikku, tak seharusnya kita seperti ini."

Dirinya yang tertua diantara yang lain. Ia tidak ingin pertengkaran ini terus berlanjut. Apalagi penyebabnya adalah seseorang yang sama sekali tak pantas disalahkan. Jisoo ingin memperbaiki hubungannya dengan keluarganya. Biarlah ia tidak lagi menyinggung soal Yeri di hadapan mereka. Seperti apa yang mereka inginkan.

Lisa tertegun mendengar ucapan kakak sulungnya. Jisoo sampai rela meminta maaf lebih dulu. Padahal Lisa sendiri sadar jika Jisoo tak sepenuhnya salah. Apa yang Jisoo lakukan bukan hal yang patut di salahkan. Jisoo hanya bersikap layaknya kakak terhadap adiknya. Tak terkecuali pada Yeri. Karna yang Lisa tau, kakaknya itu sangat menyayangi Yeri.

Cemburu? Tentu. Melihat kakak sulungnya terlihat lebih menyayangi Yeri dibanding adik kandungnya sendiri. Hanya menurut pemikiran Lisa.

"Maafkan kakak Lisa." ucap Jisoo seraya menatap mata Lisa.

"Maaf jika sikapku sampai membuatmu berpikir jika aku tak memprioritaskanmu."

Bukan Jisoo tidak tau jika Lisa cemburu. Jennie pernah mengatakan hal itu padanya. Ketika itu dirinya bertengkar hebat dengan Jennie. Di antara saudarinya yang lain, hanya Jennie yang berani pada Jisoo. Terlebih menyangkut Lisa. Siapapun yang membuat adiknya menangis, Jennie tak segan-segan untuk memarahinya. Sekalipun itu kakak sulungnya sendiri.

"Aku hanya takut kau berpaling. Kau bahkan membentakku hanya demi membelanya."

Jisoo menghela nafas. Entah apa yang sudah meracuni pikiran adiknya hingga Lisa sampai berpikir sejauh itu.

'Kau benar-benar sudah melupakannya.'

Tentu itu adalah suara hati Jisoo. Baiklah, cukup dirinya yang menyayangi Yeri. Biarlah mereka menganggap Yeri apa. Ia tak akan lagi melakukan pembelaan untuk Yeri di depan keluarga Hwang.

"Apa aku terlihat sejahat itu di matamu? Kau adikku Lisa, kau jelas segalanya untukku."

Tak ada kebohongan yang Lisa lihat dari wajah kakaknya.

Untuk apa Jisoo berbohong. Karna memang benar, Jisoo sangat-sangat menyayangi keluarganya sendiri.

"Aku juga minta maaf karna sudah mendiamkanmu kak."

.
.
.
.
.
.





PROMISE 2Where stories live. Discover now