KEPULANGANMU DI UDARA

304 5 3
                                    

Malam melingkar di angka sebelas. Di depannya, langit melamun dalam gelap. Kota setengah mati ini berusaha menuntunku pulang, tetapi aku menolak. Lampu-lampu jalan bahkan tidak memiliki kesempatan untuk menerpa wajahku yang hilang di balik duka. Wajah-wajah lain berlalu lalang di depanku seperti angin. Aku memeluk tubuh erat sambil sesekali menyibak keramaian dari pikiranku. Seharian ini, cuaca menjamu ramah para pejalan kaki yang hilir mudik dari pagi hingga malam. Ah, rupanya itu alasan di balik setiap senyum yang berlalu lalang di depanku. Terkadang aku mendengar hentakan dari langkah-langkah riang yang sempat memberi getaran getir pada telapak kakiku yang memucat.

Malam kembali berjalan melingkari angka dua belas. Kali ini, kota yang seharian ini berusaha melerai kesepian, menyudahi tugasnya. Kali ini, tidak ada lagi angin-angin kecil yang menerpa rambutku, tidak lagi terdengar hentakan-hentakan riang yang menyentuh tubuhku yang selalu menggigil di buatnya.

Lampu di seberang jalan, masih bertahan menerangi jalan, menungguku, berjaga-jaga jika aku memutuskan untuk beranjak dan memilih menelan duka dalam-dalam, berhenti membiarkannya melahap habis diriku.

Setiap malam, setiap malam yang berpijak di bumi selama tiga ratus hari ini, aku hanya berdiam di kamar bersama seluruh penerangan yang ku punya, membiarkan setiap cahaya itu menerpaku, merenggut malam dalam diriku. Di tengah sekian cahaya yang menerpaku, aku akan menangkupkan kedua tangan dalam diam, memanggil pagi untuk segera sampai tujuan. Ketika pagi kembali, jiwaku menyambut kebebasannya dengan tidak sabar.

Malam ini, aku membiarkan diriku terbakar habis oleh duka. Aku membiarkan diriku mendatangi jurang tiga ratus hari yang lalu. Aku tetap tak bergeming meski jiwaku meronta ingin kembali ke kamar atau ke ruangan mana pun yang paling terang untuk meredam hausnya akan pagi.

Pandanganku menerawang, berusaha menembus kabut yang bergelinang dalam mataku. Siluet lelaki itu masih berdiri disana. Seperti tiga ratus hari yang lalu. Ia masih bersandar pada railing jembatan di seberang sana, menatap hamparan sungai yang tenang, seolah tak terusik dengan pikirannya yang buas. Kakinya bergetar menapaki railing jembatan, berusaha melarikan ketakutannya, menghela kebebasan yang ingin di jemputnya segera. Sepersekian detik hanya ada dirinya dan ketenangan malam yang di batasi oleh kekalutan miliknya, dan aku yang berpijak pada jarak 300 km menghentak-hentak riang di hujani keramaian pergantian tahun.

Pergantian tahun yang pada malam itu ku genggam dalam doa untuk dapat terus merebahkan diri di atas cinta dan kebahagiaan. Ketika pagi membangunkanku dari kebahagiaan, aku tidak tahu lagi bagaimana jantungku bekerja memompa hidup. Senyum pergi tanpa pamit dan hanya meninggalkan secarik kertas dengan tulisan miliknya.

"Semalam aku mendatangi mimpi.. untuk pertama kalinya." aku tidak pernah bisa menyelesaikan kata terakhir pada suratnya. Aku tidak pernah bisa menarik diriku untuk terus menyusuri kalimat lain setelah kalimat-kalimat itu.

Untuk sekali dalam hidupku, satu hari itu, ketika tahun masih merencanakan bagaimana ia akan mengakhiri masa remajanya dan beranjak dewasa, aku tidak menginjakkan kaki di tempat yang tak pernah luput dari aroma obat yang meresahkanku.

Untuk sekali itu, aku menutup tirai pada tubuhku, menghindari pagi yang berkali-kali mengetuk jendela kamarku. Aku merasa kepunahan sedang merangkak pelan di atas tubuhku, mencari setiap celah yang ada untuk menghembuskan resah ke dalamnya.

Untuk sekali itu, aku membiarkannya terbaring di ranjang rumah sakit sendirian, memasrahkan diri pada garis monitor yang terus berusaha bergerak naik turun.

"Suatu hari nanti, ketika tubuhku pulih, aku ingin terjun dari jembatan yang tinggi, menyapa lautan bebas. Aku ingin kau menemaniku, merayakan kepulanganku di udara. Pasti menyenangkan.."

"Jangan berkata yang tidak-tidak.."

"Kesembuhan harus di rayakan di udara, sebelum mendarat di tempat yang tepat."

Malam itu, kuputuskan untuk pergi menjauh, mencari ruang bagi diriku sendiri, mencoba menemukan sedikit kebahagiaan di luar sana yang sekiranya mampu menyentuhku. Malam itu, aku larut dalam keramaian. Aku larut dalam hentakan riang yang selama ini sulit ku jangkau. Langit yang memecah kesunyiannya dengan riuh warna warni, udara yang hingar bingar dengan keramaian di sekitarku, seperti membawaku pada dimensi lain untuk sesaat.

Aku tidak tahu bahwa satu malam bisa merenggut malam-malam lainnya dari hidupku.

Malam ini, aku terduduk di bangku kota, tepat di seberang jembatan. Secarik kertas yang sudah sedikit lusuh akibat genggaman kasarku yang berkali-kali menyentuhnya, kini terselip pada jemariku.

Mataku menelusuri dengan nanar setiap kata-kata yang ada di dalamnya.

"Semalam, aku mendatangi mimpi.. Untuk pertama kalinya. Tahun tengah mempersiapkan pesta ulang tahunnya. Aku berpijak di suatu tempat yang tak ku kenali. Langit malam menaungi keramaian yang menunggu untuk lepas dari sangkarnya. Ku lihat kau berdiri di antaranya, berusaha melepaskan cangkangmu. Aku masih bersandar pada railing jembatan ketika langit menyambut kemegahan bersama para manusia di bawahnya, dan kau tertawa lepas. Aku mengurungkan niatku untuk menarik lenganmu, memintamu menemaniku menunggu sampai pagar yang melingkari tubuhku lepas dan aku bisa terjun bebas. Melihat tawa menyentuh wajah yang selama ini kelabu di sisiku, tidak mungkin aku sanggup menawarkan kelabu itu kembali.

Perlahan, kakiku berpijak di atas railing jembatan, menatap hamparan sungai yang luas, menyambut udara yang merentangkan tangannya, siap menerima jiwaku. Untuk terakhir kalinya, aku menoleh, mendapati senyummu semakin menjalari tubuhmu, aku tidak bisa untuk tidak tersenyum. Senyummu, terasa seperti sambutan ikhlas bagi kepulanganku.
Maka kuputuskan untuk melepas jeda, membiarkan kesembuhan merayakan kepulangannya di udara, sebelum mendarat di tempat yang tepat.
Aku terbebas. Kau terbebas."


Ketika pagi menyudahi tugasnya menyapa tahun yang beranjak dewasa, ia bersungut-sungut memanggilku yang tergopoh memasuki ruang dimana ia terlelap dalam tenang, sebelum wajahnya hilang di balik kain putih. Seorang pria tua berjas putih memberikan secarik kertas padaku.

"Semalam, ia terbangun dari tidur lamanya, untuk beberapa saat. Ia tidak ingin pergi tanpa pamit. Kau masih penuh harapan dan tanya bukan? Ini jawabannya."

Aku berdiri di tepi tempat tidur, menyibak sedikit kain putih itu, menggenggam jari jemarinya. Tanganku yang satu masih menggenggam secarik kertas itu, tidak tahu apakah ini jawaban dan harapan yang ku inginkan atau pertanyaan lainnya yang tak akan bisa ku jawab sampai kapan pun. Sama seperti malam-malam yang lalu, ia tidak membalas genggamanku. Penyesalan perlahan mengoyak batinku. Jika semalam, untuk satu malam itu, sekali saja aku bisa menggenggam tangannya seperti wanita lain, mencintainya, memberikan ingatan baru pada genggaman lama yang sudah mulai ku lupa bagaimana hangatnya.


Mengingat senyumnya yang begitu tenang pada pagi itu, membawaku kembali pada kesadaran.

Aku beranjak dari tempatku, berhenti di tepi jembatan, menatap hamparan sungai di depanku. Udara malam ini perlahan melerai penyesalan dalam diriku, menyibak duka dari pundakku. Aku merasakan dirinya merengkuhku, mengangkat duka itu dengan sabar, melemparnya jauh di dasar sana.

Pandanganku yang semula hanya menangkap siluetnya yang memunggungiku dan kemudian menghilang di balik udara, kali ini mendapati wajahnya tersenyum menatapku. Jari jemarinya yang dingin mengusap wajahku. Ia tidak berkata apa-apa, dan aku tidak sanggup berkata apa-apa. Udara di belakangnya melambaikan isyarat tanda pamit, sebelum akhirnya merentangkan tangan dan membiarkan wajahnya menjauh perlahan merebahkan diri dan jatuh bersama senyumnya yang di balut udara bebas. Senyum yang akan selalu menjejaki ingatan kekalku.

Kau telah merayakan kesembuhan di udara, dan mendarat di tempat yang tepat..

Malam ini, aku menatap langit lekat-lekat..

Senyumku perlahan merekah di udara.

[]

Kita sama-sama lelah membungkus mata dengan langit senja dari negeri khayalan. Bibir kita sama-sama muak mencecap permen kapas yang telah basi.

Aku, kamu.

Mari kita telanjangi sakitnya.

Sampai hati dan tubuh kita mampus.

Temukan kisah Alijah, Panji, dan Tirta di sini.

https://www.wattpad.com/story/328361293

BERTAMU DI RUANG PILUWhere stories live. Discover now