10.

45 10 14
                                    


Apa yang Raga lakukan menurut Andin sangat keterlaluan. Andin tidak akan memaafkan cowok itu walau megemis sekalipun.

Bella berbaring disebelah nya. Ia membawa camilan juga sop hangat yang baru saja mereka buat. Bella sudah mengetahui apa yang terjadi tadi karena Andin menceritakan nya. Dan Bella, sangat mendukung Andin untuk memusuhi Raga. Bahkan ia mengompor-ngompori Andin.

"Udah, Din. Lo usir aja dia dari sini. Gue aja muak lihat mukanya." Bella memakan kripik dari toples sekali tiga.

"Gue akui sih dia ganteng, Din. Tapi kalau mesum gitu mending lempar aja lah. Gak guna euhh," ujarnya lagi.

Andin mengeratkan selimutnya. Saat ini hujan mengguyur kota mereka. Hawa dingin benar-benar menusuk kulit, bahkan AC di ruangan tak terasa lagi.

Gadis itu mendesah berat. Ia menatap lurus. "Raga itu ... memang gila. Sangat gila." Lalu menggeleng miris.

Mereka kenal sudah cukup lama. Awalnya mereka hanya sebatas partner kerja. Yang bertugas untuk menyelesaikan 'misi-misi' dari kepala atasan.

Namun Andin tidak tahu entah sejak kapan, perasaan asing muncul di antara keduanya. Dan bahkan Andin lupa, siapa yang mulai segalanya hingga mereka ... berakhir seperti ini. Hubungan tanpa status.

"Ya udah usir aja dia, Ndin! Usir!" Bella sangat bersemangat tentang ide itu. Atas dendam kesumat tanpa alasan, ia ingin melihat Raga sengsara. Tidak mau melihat cowok itu bahagia bersama gadis kesayangan.

Bella benar-benar kesal kepada Raga.

Entah karena apa?

"Iya, Sen. Gue usir."

"Sen-sen! Lu ngajak ribut, Ndin?!"

Andin meninju bahu gadis itu. "Halah, sok-sokan mau ribut. Masak aja lo gak bisa."

"Karena gue gak bisa masak, jiwa lakik gua kental, Ndin! Lo mau kelahi sama gue?!"

Andin semakin mengeratkan selimut nya. Ia memundurkan tubuhnya sedikit.

"Lo ... mau lukai gue, Bel? Lo tega?" Andin mengusap matanya.

Bella menghembuskan napas keras-keras. Andin dalam mode drama, dan Bella sangat membenci itu.

"Ya! Gue mau keluar aja sumpa! Dahlah, capek." Bella berdiri dari duduknya. Sekaligus membawa beberapa toples camilan juga sop nya yang belum ia sentuh.

"Muak gue, muak! Sama aja lo kaya Raga!"

Setelah Bella keluar, Andin terkikik sendiri. Bella itu ... benar-benar lucu.

****

Setelah menimang-nimang segala hal, Raga berencana ke toko coklat untuk memberi beberapa coklat. Ia ingin meminta maaf kepada Andin dengan sungguh-sungguu, sekaligus menyogok gadis itu dengan coklat. Tentu saja.

Raga sudah siap didepan toko coklat, dengan menggegam beberapa lembar uang tanpa dompet. Raga memang tidak pernah membawa dompet, karena benda tersebut sepenuhnya ditangan Andin tercinta.

"Seratus ribu dapat apa anjir!" Raga mengelus dada sabar. Ia menatap uang dua ribuan juga lima ribu beberapa lembar dalam tangannya. Uang tersebut ia dapatkan didalam saku seragam baju pramuka Andin.

Raga mengangkat wajahnya. "Pasti ... gak cukup."

Wajah memelas nya membuat beberapa orang yang lewat melirik nya. Bukan karena seberapa menyedihkan cowok itu. Tetapi karena wajah tampan bersinar-sinarnya membuat orang sempat terpukau.

Raga mulai berjalan penuh tekad. Demi Andin, demi gadis tercintanya.

Cowok itu meneguk salisiva nya saat melihat sederet coklat megah di meja.

Raga menatap coklat-coklat tersebut. Mengapa ia baru sadar jika coklat langganan yang selalu Andin beli itu mahal-mahal?

Seratus ribu ....

Cukup kah?

Raga meringis dalam hati. Ia mendekati sang penjaga coklat, bertanya ragu-ragu. "Mbak, harga coklat nya berapaan, ya?"

Penjaga wanita tersebut hanya diam dengan mulut terbuka lebar. Matanya tak berkedip, bahkan kedua tangan sudah tertangkup rapi dikedua pipi.

Indahnya .... ciptaan Tuhan!

Raga menggaruk rambut canggung. Ia sadar kalau wajahnya itu tampan, tapi ... memangnya gak bisa lihat situasi juga kondisi?

"Mbak?" Raga mengibaskan tangan nya didepan wajah penjaga wanita tersebut.

"Mbak?"

"Eh, iya, Mas. Eh-dek, Om? Bang? Aduhh-" Raga sampai tak berkedip dibuat nya. Gerakan terkejut dari wanita tersebut membuat Raga sedikit, tidak enak?

"Jadi, mbak?" Raga bertanya lagi, "berapa harga coklatnya?"

"GRATIS UNTUK MAS GANTENG!"

Gotcha! Raga berteriak senang dalam hati. Tidak menyesal punya wajah yang terpahat sempurna. Ternyata, bisa menaklukan apapun yang dia inginkan.

Lagipula, ini sangat kebetulan karena Raga lagi tidak memiliki uang. Hanya seratus ribu.

"H, hmm ... serius, mbak?"

"IYA SERIUS MAS!"

Raga mengelus dada kaget. Kalimat ngegas itu membuat Raga jadi takut sendiri.

"Jadi, mbak?"

"Iya, mas. Silahkan dipilih sesukanya. Tapi setelah itu mas harus foto sama saya, oke?" ujarnya disertai kedipan.

"Oke, mbak cantik!"

Raga langsung memilih beberapa coklat dan menaruhnya di nampan yang sudah tersedia. Raga tidak mengambil banyak, hanya beberapa saja yang menurut nya cukup untuk stok coklat Andin dua minggu.

Tidak terlalu banyak. Mungkin.

Raga membalikkan badannya. Menghadap sang penjaga wanita yang masih anteng di tempat nya berdiri. Sekaligus dengan sebuah ponsel ditangannya.

"Udah, mas?" tanyanya berbinar.

Raga mengangguk. "Sudah, mbak." Pun menyodorkan nampan berisi coklat kepada wanita tersebut, "ini, mbak. Dikit aja kok."

Sepertinya tidak ada masalah dari penjaga tersebut karena ia langsung mengambil nampan dari tangan Raga dan membawanya ke kasir.

Padahal, Raga cukup banyak mengambil coklat tersebut.

Wanita itu kembali kehadapan nya. "Sekarang giliran kita foto," ujarnya. "Eh, Yani! Tolong fotoin kami!" Ia berteriak memanggil salah satu kawannya.

Raga mengulas senyum tipis. Sedang didalam hati ia sudah mengumpat kasar.

Semua berlalu begitu saja. Saat Sang penjaga berterima kasih kepadanya karena sudah mau diajak foto. Juga Raga yang berterima kasih karena sudah di gratisin coklat.

Ya, oke. Raga rasa tidak apa-apq sesekali ia menyenangkan orang lain. Demi ... Andin tercinta tentu saja.

****

Sabtu, 10-10-2020.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 11, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Teman [Tapi] BukanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang