Tiga Puluh Tujuh

Mulai dari awal
                                    

Sekali lagi Adrian mengangguk singkat. Ia mempersilahkan Hardi masuk ke dalam rumahnya. Ia duduk berhadapan dengan Hardi. Pria itu mengeluarkan sebuah map. Adrian tidak mengetahui apa isi dari map tersebut.

"Saya yakin Sita sudah menjelaskan semua. Saya hanya ingin menegaskan. Tuan Neo, dalang yang membuat hotel-hotel milikmu terkena masalah. Mulai dari kebakaran kecil di beberapa hotel sampai gangguan sistem atau bahkan perhitungan data yang tidak tepat. Itu semua ulah dari Tuan Neo. Namun kamu tenang saja. Semua sudah saya dan Sita atasi." Hardi mengambil napas sejenak.

Hardi membuka map di atas meja. "Sita berkerja sangat keras untuk ini. Dia mengambil beberapa data hotelmu untuk dianalisis. Ternyata memang ada kejanggalan. Sita bahkan pergi memeriksa kebakaran hotel bintang empat kepunyaanmu di dekat Transmart."

"Istrimu itu sangat keras kepala Adrian. Saya sering memperingati dirinya agar tidak terlalu keras mencari barang bukti. Tapi dia sama sekali tidak mau mendengarkanku. Jujur, kamu sangat beruntung mendapatkan istri sebaik Sita." Hardi tersenyum tulus. "Saya hanya berharap kamu bisa menjaganya."

Adrian merasa tertampar mendengar kalimat terakhir Hardi. Masih dengan wajah kaku Adrian menerima paper bag yang dibawa Hardi untuknya.

"Itu hadiah untuk kamu. Hadiah itu langsung dari saya. Tidak seperti kemarin." Hardi terkekeh pelan. Lalu menepuk bahu Adrian.

"Bilang pada Sita. Saya sudah menemukan Tuan Neo. Semua akan segera diproses. Adikku itu selalu menyuruhku segera menemukan Tuan Neo. Dia memang tidak sabaran." Hardi menatap jam di pergelangan tangannya. "Mungkin hanya itu. Saya masih ada pekerjaan. Lain kali lagi kita bertemu. Saya titip salam untuk Sita."

Kaki Adrian lemas. Ia tidak bisa berpikir harus berekspresi bagaimana. Ribuan bom terasa menyerang jantungnya. Bahkan Hardi tidak tau keberadaan Sita, pria itu ke sini sekedar memberitahu jika Mr. Neo sudah ditemukan.

Adrian menatap map yang ditinggalkan Hardi. Masihkah ada kesempatan untuknya?

*****

Sita meletakkan semua barang belanjanya ke troli. Kakinya menelusuri rak-rak susu ibu hamil. Mengambil beberapa kardus dan menaruh kardus itu di troli.

Sita juga mengambil snack sehat. Di belakangnya sudah ada penjaga suruhan Mr. Aland, Sita tidak bisa menolak karena Ayah mertuanya itu memaksa dirinya.

Kaki Sita berhenti di rak berisi mie instan. Senyum tipis menghiasi wajahnya.

"Aku mau mie ini Mas!" Sita merebut Samyang dari tangan Adrian.

"Gak boleh!" Adrian mengembalikan mie instan kesukaan Sita kembali ke tempatnya semula.

"Satu aja Mas. Pelit banget sih!"

"Mau satu atau setengah Mas tetap gak akan izinkan kamu ya Ta."

Sita cemberut. "Mas pelit!"

"Buat apa makan makanan seperti itu Ta? Gak sehat." ucap Adrian memberi nasihat. "Mas bakal beliin makanan yang kamu suka. Kecuali mie instan."

"Dulu waktu di Korea, Mas ngebolehin aku beli Samyang. Kenapa sekarang enggak?"

"Beda cerita dulu. Mas gak berhak ngelarang kamu."

"Ih! Sama aja Mas!" sungut Sita kesal.

"Buat apa sih makanan kayak begitu?"

"Buat cemilan Mas." Sita ingin mengambil Samyang, namun secepat kilat Adrian menahan tubuh Sita dengan berdiri di depan wanita itu. Tubuh tegap Adrian menutupi pemandangan Samyang kesukaan Sita. "Mas! Minggir ih."

"Ngemil yang lebih seru ada Ta."

"Ngemil apa tuh?" tanya Sita penasaran.

"Ngemilikin kamu selama-lamanya."

Sita memukul lengan Adrian. Pria itu tertawa melihat wajah Sita yang memerah. "Mas bisa aja gombal gembelnya."

Sita menggelengkan kepalanya. Ia melewati rak mie instan menuju kasir. Daripada mengingat kejadian bersama Adrian, tidak akan ada habisnya. Sita ingin mengulang kejadian itu lagi. Tapi Sita tidak tahu, apakah peristiwa itu bisa terjadi lagi atau tidak.

Adrian sudah mengusir dirinya dari hidup lelaki itu. Ingat?

Penjaga suruhan Mr. Aland membawakan semua belanjaannya. Sita berjalan ke lobi samping, supirnya menunggu di sana.

"Lama Pak? Maaf ya Pak."

"Tidak Bu. Ibu tidak usah meminta maaf."

Sita menatap ke luar jendela. Jalanan Semarang tidak sepadat biasanya. Mobilnya memasuki sebuah gedung apartemen terbesar di Semarang. Milik Ayah mertuanya.

Kedua satpam penjaga menunduk pada Sita. Sita masuk ke dalam. Menaiki lift dan berhenti di lantai paling atas di gedung ini.

"Taruh saja di meja." suruh Sita. Kedua bodyguard yang menjaganya mengangguk. Meletakkan semua belanjaan Sita.

Sita membuka semua kantong plastik berisi belanjanya. Meletakkan semuanya di dalam wadah. Mengeluarkan beberapa sprei yang ia beli di rak sebelah lemari.

Kehidupannya masih bejalan normal sejauh ini. Namun ketika ingatan itu datang lagi, Sita memilih menyendiri di kamar dan menangis. Kalian kira, apa yang bisa Sita lalukan selain menangis? Tidak mungkin Sita menelpon Adrian dan memberi tahu keberadaan dirinya sekarang.

Belum tentu Adrian perduli. Untuk apa Adrian repot-repot perduli padanya?
Bisa saja sekarang Adrian lupa pada dirinya.

Senyum miris itu tercetak lagi di wajah Sita. Sita merindukan Adrian yang dulu. Adrian yang PERNAH mencintainya.

Bel unit apartemennya berbunyi, membuyarkan seluruh lamunan Sita. Siapa yang datang? Setahu Sita, orang yang ditugaskan membersihkan unit apartemennya sudah kembali ke tempatnya. Lalu itu siapa?

Sita melangkah ke arah pintu. Membuka pintu perlahan. Sita tidak dapat menutupi raut wajahnya. Ia terkejut.

"Sita."

"Ayah?"

Itu bukan Ayah Aland-nya. Namun Ayah Bima yang selalu menyakitinya.

*****

Sweet Husband [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang