Sebelas

31.1K 2.6K 71
                                    

Bagi Sita, seorang laki-laki kaya adalah spesies yang harus ia hindari. Semua lelaki jika sudah mempunyai segalanya pasti akan melupakan wanita yang sudah mendukungnya dari titik terendah. Seperti Ayahnya sendiri, contoh yang nyata untuk kehidupan Sita. Ibunya ditinggalkan oleh Ayahnya dengan alasan Ibunya yang terlalu sibuk mengurus usaha yang dirintis oleh Ibunya. Maka dari itu, Ayahnya akan mencari pelampiasan lain.

Sita memang beruntung. Ia tidak harus mengalami masa sulit dalam hal materi di dalam hidupnya, tidak seperti Elle. Namun beruntungnya Elle, Elle tidak pernah merasakan kekerasan seperti yang dialaminya, kekerasan oleh seorang Ibu Tiri dan Ayah kandungnya sendiri. 

Pikiran Sita melayang pada kejadian pada saat ia menduduki bangku SMA kelas sebelas. Dimana saat itu harus tinggal bersama dengan Ayahnya dan Ibu Tirinya yang tak kenal ampun.

"Mau kemana kamu?!" Suara ketus itu terdengar di telinga Sita ketika dirinya sudah bersiap-siap akan ke rumah Laras. 

"Mau ke rumah Laras Ma."

"Enak banget kamu mau pergi gitu aja. Dapur udah beres?" Mrs. Jena beranjak dari duduknya, menghampiri Sita yang masih berdiri di tempatnya. "Sini kamu." Mrs. Jena menarik tangan Sita secara paksa ke dapur. "Kamu bilang keadaan dapur kayak gini itu udah bersih?! Buta kamu ha?!"

"Tapi tadi Sita udah bersihin Ma, ini noda emang yang susah hilang."

"Berani ngelawan kamu ya?" Mrs. Jena menarik kasar rambut Sita, wanita itu berjalan ke dapur ke masih dengan tangan yang berada di rambut Sita. "Sekarang kamu ulang bersihin lagi. Sampai bener-bener bersih." Mrs. Jena mendorong Sita hingga dahi gadis itu menyentuh lantai, menyebabkan dahi Sita memerah.

Mrs. Jena menjambak rambut Sita, lagi. Sita mendongak dan menyentuh tangan Mrs. Jena, rasanya tarikan rambut ini lebih sakit dari yang sebelumnya. Puas melihat Sita yang kesakitan, Mrs. Jena melepaskan rambut Sita, tangan wanita itu berganti mengapit dagu Sita lalu berujar pelan namun tajam. "Ingat ya. Kamu di sini itu cuman buat menggantikan pembantu, jadi jangan berlaku semaumu sendiri."

Sita mengangguk. Kepalanya terhempas ke samping, gadis itu masih terdiam saat Mrs. Jena berdiri angkuh di depannya. 

"Cepetan! Malah bangong!"

"I-iya Ma." Sita mengambil kain lap di dekat gas dan mulai membersihkan bagian-bagian yang masih tedapat noda. Sesekali Sita mengusap matanya yang basah, Sita sungguh rindu Ibunya yang penyayang. Bukan Ibu Tirinya yang jahat. Kalau saja Ayahnya—

"Sita?" 

Tangan kokoh seseorang menyentuh pundaknya, menyetak Sita dari lamunan. Dilihatnya, orang itu merubah posisinya menjadi duduk di sebelah Sita, mengambil tangan Sita, menggenggamnya. "Kamu melamunkan apa?"

"Bukan apa-apa kok." 

"Jelas-jelas tadi saya lihat kamu melamun. Ada masalah?" 

"Enggak apa-apa, Mas."

Adrian menyelipkan anak rambut Sita ke belakang telinga. Adrian menatap mata Sita, tersenyum menengkan. Sita hampir saja menangis mengingat kejadian pahit itu. Hanya sebentar, tidak sampai tiga tahun. Namun penuh dengan penderitaan dan penyiksaan. Bukannya Sita tidak ingin melupakan peristiwa itu, pikirannya yang tidak ingin melupakannya.

Tiba-tiba Adrian memeluk tubuh Sita, gadis itu tidak perlu mengatakan apapun. Adrian sudah mengetahui semua yang Sita sembunyikan selama ini dari orang-orang, menutupi semua kesedihannya dengan wajah ceria. Hanya dua sahabat Sita yang tahu apa saja yang dialami gadis ini dulu. Melihat tatapan kesedihan itu membuat Adrian tidak tahu mau melakukan apa lagi selain memeluk gadis ini.

Sweet Husband [END]Where stories live. Discover now