28 - I'll Remind You

43 11 1
                                    

"What if I never forget you?
What if, all my life, when I meet someone new, I can never fall for them because they aren't you?" 

—nefariousluminescence

Malam itu Biru keluar dari rumah tanpa sepengetahuan Ibun-Papahnya. Tak ada yang tau. Bahkan kalau bisa, Biru ingin udara tidak tau alasan kepergiannya dari rumah. Baru sebentar berjalan, langkahnya terhenti dipersimpangan. Tadinya berniat ingin berjalan kemanapun, tapi saat persimpangan tepat dihadapan, tungkainya berhenti. Kehilangan arah.

Benar-benar buta arah ... untuk kemana dirinya harus melangkah.

Menghembus napas tinggi-tinggi lalu membuangnya sebanyak mungkin. Ini hari terparah dari segala kehampaan yang pernah dirasakannya.

Mengenai dirinya yang tidak pernah mengenal Biru kecil. Dirinya yang tidak pernah ingat apa cita-cita dan imajinasinya saat sekolah dasar. Semua membuatnya kadang berpikir, apa dirinya terlalu pelupa untuk mengingat semuanya?

Bukan begitu teorinya.

Bukan itu.

Bukan pelupa.

Tapi memang dirinya yang ingin melupakannya.

Matanya memejam. Tidak ada air mata atau bahkan semburat sedih. Dirinya masih belum menerima kalau penyebab kebingungannya sendiri adalah dirinya sendiri.

Saat matanya terbuka dan tungkainya hendak melangkah. Seorang nenek tua berjalan dengan membawa kantung belanjaan yang terlihat cukup berat. Di persimpangan itu mereka berpapasan. Biru hendak melangkah ke kanan dan nenek itu ke kiri. Tepat ketika mereka berselisih napas nenek itu terdengar meminta bantun.

Tapi kali ini dirinya ingin acuh. Acuh, karena Biru pun tidak bisa membantu dirinya sendiri. Dia masih kacau, rasanya berat mengingat apa yang dirinya lakukan pada orang-orang yang tidak diingatnya, kalau ada.

Ah, tidak bisa.

Dengan cepat Biru mendesah pasrah. Menarik belanjaan nenek renta itu tanpa mengatakan apapun dan menggangguk saat ditanya dirinya berniat membantu.

Langkah kecil nenek itu menjadi fokus perhatiannya meskipun pikirannya melayang jauh hingga ke bulan. Setelah membantu nenek itu Biru kembali dihadapkan persimpangan tadi. Kakinya melangkah lurus.

Seragam sekolah yang masih melekat kusut di badan membuatnya tampak seperti remaja tanpa arah dan tujuan.

Dirinya kembali ingat pertengkaran Ibun-Papahnya tadi. Mengenai jujur dan pengakuan. Mengenai siapa sebenarnya dia, Biru, anak yang selama ini tinggal satu atap dengan mereka. Sebenarnya Biru tidak selugu itu untuk dibodohi, tapi apa yang logikanya sampaikan membuatnya sangat tidak percaya.

"Biru?"

Panggilan itu membuat Biru menoleh pasti ke arah pemuda yang dikenalnya.

"Ngapain? Belom balik kali?" tanyanya heran melihat betapa kucel muka serta seragam yang dikenakannya.

"Bang Dipa ngapain?"

"Lah ini jalan ke rumah Lentera. Gue mau ngasih adek gua makan. Lah lo sendiri ngapain? Kaya anak ilang malem-malem keliaran," deliknya tidak santai karena Biru yang malah balik bertanya.

Kalau ditanya ‘ngapain’, Biru nggak tau jawabannya apa. Jadi, dia cuma menghela nafas kecil tanpa bisa didengar orang di depannya.

“Lo mau main ke rumah Tera?” tanya Bang Dipa.

Biru cuma garuk-garuk kepala canggung, tapi ngikutin Bang Dipa yang emang ngajak jalan bareng. Pemuda berseragam itu sebenernya nggak tau dimana rumah Tera yang ditinggali bareng bapaknya, dia cuma tau rumah di komplek elit dan yang rumahnya gede banget.

You're My BlueWhere stories live. Discover now