1 - Front

180 43 3
                                    

Sepatu Converse Chuck All Star High Top berwarna navy bergulir menabrakkan bagian bawahnya pada lantai. Setiap bunyi yang dihasilkan bagai khalayak penyemangat. Pelakunya fokus pada layar perangkat digital yang selalu didekap.

Selama waktu berjalan, babak berlalu, ketukan sepatu dengan suara yang semakin mengejar. Membuat sang pemain laga berambisi mengejar kata WIN!

Biru hanya fokus mentap layar ponselnya. Permainannya hampir selesai. Dan layar menampilkan papan perayaan bertuliskan 'WIN!'.

Meletakan ponselnya, dan menatap Rendra penuh angkuh. Seakan mengatakan 'menang nih gue!'.

Tak lama Pak Maran datang mengisi kelas.

•••

Setelah membahas beberapa teori, Pak Maran menyinggung perihal tugas yang sebelumnya sudah diberikan. Para murid harus maju satu-satu secara acak begilir untuk membacakan tugas itu.

Tugas dari Pak Maran mudah, ia menyuruh murid menuangkan sepenggal kisah yang masih mereka sesali sampai sekarang. Beberapa murid menganggapnya sangat baik karena selalu memberi tugas mudah, namun yang lainnya menganggap ini kurang berguna. Bukannya Pak Maran guru yang aneh, melainkan ia punya cara sendiri untuk membentuk emosi berkualitas dan jati diri pada masing-masing muridnya.

Rendra menceritakan bagaimana gagalnya dia memenangkan lomba melukis ketika masih sekolah dasar. Setelah lomba itu Rendra tidak mengikuti lomba lagi. Makanya ia sesali. Bakat lainnya tidak memungkinkan, untuk dilombakan. Memilukan.

Pak Maran memberi saran kepada Rendra untuk tidak menyerah, ia bisa mengikuti perlombaan lagi kalau mau. Kemudian Rendra duduk.

Tera ditunjuk setelah Rendra, Tera bukannya bercerita malah melantunkan sebuah puisi. Isinya penyesalan mendalam karena melepaskan, karena rasa kehilangan bukan hal yang mengada-ada. Rasa kehilangan bukan tentang apa yang ditinggalkan, melainkan setiap kata yang tercipta disetiap pertemuannya.

"Wah, Tera kenapa terdengar seperti puisi?" tanya Pak Maran.

"Kepengen aja, Pak."

"Kamu juga tidak menyebutkan, siapa yang kamu lepas dan mengapa kamu melepasnya ... ," heran Pak Maran.

"Biar itu jadi bagian dari privasi saya pak," ujarnya. Matanya menatap mata Pak Maran sebentar dan kemudian menatap teman-temannya. Terutama orang itu, sayangnya matanya terhalang sesuatu untuk menatap iris harapannya.

Tera merupakan gadis dengan perilaku dan wajah yang manis. Tidak diperlukan apa-apa lagi untuk menarik minat padanya. Apa yang dilakukannya seakan punya 'magnet' tanpa harus banyak berusaha.

Pak Maran mempersilahkan Tera duduk kembali.

Pak Maran matanya mulai menjelajah mencari giliran selanjutnya. Pandangannya jatuh pada sosok murid yang sibuk melihat jendela dengan kepala bersandar meja.

"Lunar, silahkan maju!" ujar Pak Maran dari tempatnya.

Rendra segera menyenggol Biru. Namun tak kunjung mengeluarkan Biru dari dunia kosongnya.

"Lunar Biru?!"

Detik selanjutnya Biru terbangun. Dirinya merasa tidak tahu apa-apa. Menatap semua yang dilihatnya dengan nyalang.

"Saya?" tanyanya heran.

"Silakan maju!"

Biru diam. Biru berpikir, apa yang harus ia ceritakan. Lembaran tugas rumahnya pun kosong tak berisi. Hanya sebentar matanya menjelajahi makhluk hidup lain. Kemudian melangkah meju ke depan kelas.

Pertama-tama Biru menatap setiap mata dihadapannya. Biru tak tau ingin bicara apa. Tidak ada yang harus diceritakan.

"Silahkan ceritakan, Lunar!" seru Pak Maran yang melihat Biru hanya diam.

Biru menatap lantai berpikir, masalahnya ia tidak punya hal yang diminta Pak Maran.

"Nggak, nggak ada Pak," ujarnya dengan suara lantang. Kemudian menatap Pak Maran lanjut menatap teman-temannya.

"Nggak ada," lanjutnya karena beberapa dari temannya mendadak riuh mendengar pernyataannya.

"Kamu lupa mengerjakan tugas saya?" tanya Pak Maran.

"Enggak, Pak, saya inget," jawabnya.

"Kamu dicap paling cepat mengerjakan tugas rumah oleh guru lain Lunar. Kenapa kamu mengabaikan tugas saya?" Pak Maran terlihat kecewa, merasa tidak dihargai lagi.

Sebagai guru yang ramah kepada murid bukan berarti memberikan banyak kelonggaran.

"Bukan gitu pak." Lunar hanya menunduk dalam. Ia ingin menjelaskan lebih lanjut, namun sepertinya akan sulit dipercaya. Jadi daripada buang tenaga lebih baik diam dan menahan dengan helaan napas.

"Saya punya aturan kalian tau itu kan, semuanya. Ini adalah pertemuan kelas kita yang ke-12. Tugas kalian ada dua, menuangkan dalam kertas, dan menceritakan. Jadi, hukuman kamu 24 kali putaran lapangan sepak bola Lunar. Silahkan terima konsekuensinya!"

"Iya, Pak." Biru hendak melangkah kembali ketempatnya.

"Lunar?!"

"Sekarang, Pak?"

"Kapan lagi, nak?"

Biru akhirnya melangkah, ini adalah penyebab dari otaknya yang tidak akan bisa bekerja jika disuruh berbohong.

Padahal, niat bohongnya itu ada. Tapi ia takut-takut jikalau acara bohong-bohongnya bertambah dan ujungnya ia sendiri menjadi mesin pencetak kebohongan. Biru yakin otaknya tercipta dan berjalan bukan untuk melahirkan kebohongan.

Tak ingin memperpanjang masalah, ia cukup sensitif untuk yang satu ini.

•••

Regrads,
December 3, 2019

Lunar Biru

Lunar Biru

Ups! Tento obrázek porušuje naše pokyny k obsahu. Před publikováním ho, prosím, buď odstraň, nebo nahraď jiným.


You're My BlueKde žijí příběhy. Začni objevovat