· s h o e s ⁰⁵ ·

44 20 1
                                    

Halo, readersQ!
Cerita ini ngebuat aku bener-bener ngerasa keluar dari comfort genre-ku yang sebelumnya. Terasa lebih dewasa, ngebuat aku eksplor lebih banyak. Selamat menikmati, ya~

Hari yang cukup melelahkan bagi Saras, karena kelas terakhirnya hari ini berakhir pukul setengah empat sore. Sudah memiliki kelas sejak pagi, rasanya Saras ingin segera kembali ke indekost-nya dan merebahkan tubuh yang terasa kaku karena lebih banyak duduk. Apalagi dua kelasnya hari ini diisi oleh dosen sepuh. Dia benar-benar harus menyiapkan telinga untuk mendengarkan setiap kalimat yang diucapkan.

Namun, Saras tidak bisa merealisasikan rencana itu karena direct massage dari seorang yang sangat dia hindari. Ingin untuk tidak menghiraukan pesan itu, tetapi harga diri Saras rasanya akan terluka kalau tidak memenuhi ajakan bertemu itu. Dia bukan pengecut, hanya terlalu malas berurusan dengan gadis tinggi di hadapannya sekarang ini.

Jeya.

"Gue gak punya banyak waktu buat ladenin lo. Langsung ngomong ke intinya aja," ucap Saras dengan malas.

Mereka sekarang berada di parkiran belakang fakultas ekonomi dan bisnis. Pagar yang memanjang hingga 3 meter di samping mereka membantu menyamarkan, ditambah dengan tanaman merambat yang telah menguasai hampir seluruh bagian pagar.

"Gue juga gak mau lama-lama, tapi kayaknya mendingan kita pindah tempat."

"Kenapa? Lo takut?"

"Well, girl.. gue gak takut apa pun, apalagi sama lo. Gue saranin pindah tempat karena ngerasa bisa aja lo ngelakuin sesuatu yang berakhir permaluin diri sendiri. Ini lingkungan lo, gimana kalau ada kabar buruk yang membayangi lo setelah ini." Jeya membalas dengan angkuh. "Tapi, karena lo yang mau, gue bakal langsung ke intinya."

Saras menatap lurus gadis di hadapannya itu, menunggu kalimat apa yang akan dilontarkan.

"Jujur aja, ya, gue udah lama suka sama Gavi. Gue gak suka Gavi bareng sama lo."

Oh, akhirnya gadis yang selama ini bertitel sahabat kekasihnya menunjukkan wajah asli. Saras tidak terlalu terkejut akan hal itu.

"Gue udah bareng sama Gavi dari kita kecil. Di mata gue, lo gak pantes bersanding sama Gavi. Karena itu gue harap lo bisa putus sama Gavi."

Saras mendengkus. "Lucu banget, gue baru tahu seorang 'sahabat' bisa ngatur-ngatur hidup 'sahabatnya'. Orang tuanya aja gak ada keliatan protes apa-apa."

"Apa juga yang ngebuat lo ngerasa berhak ngenilai orang lain? Lo Tuhan? Nyuruh-nyuruh putus segala." Dia menatap sinis Jeya yang memasang tampang angkuh.

"Gue harap lo renungin baik-baik apa yang udah gue omongin. Lagian yang gue liat Gavi gak bahagia bareng lo, lo sendiri juga gitu."

Setelahnya Jeya mengambil langkah menjauhi Saras. Beranjak dari sana.

"Terus yang pantes buat Gavi itu cewek murahan kayak lo?"

Jeya menghentikan langkahnya. Seketika berbalik dan balas menatap tajam pada Saras.

"Watch your mouth!" Jeya menekan setiap kata dalam kalimatnya.

"Kenapa? Seharusnya lo gak marah, dong. Itu pujian ... cuma cewek murahan yang masih bertahan buat ngejar cinta yang gak akan pernah didapat. Wah banget! Gak kenal kata nyerah, sampe hal rendahan termasuk dalam usahanya, lho."

Plak!

Terjadi begitu cepat.

Jeya mengambil langkah lebar dan mendaratkan tamparan di pipi kiri Saras. Cukup keras sampai wajah Saras terdorong ke sisi lainnya.

"I've told you to watch your mouth." Jari telunjuk Jeya berada tepat di depan wajah Saras. "You'll never know what could I do. Tamparan ini cuma hal kecil, gue bisa lakuin lebih kalau lo gak dengerin gue. Better to think before get those words out from your mouth!"

Memberikan ancaman dengan nada menusuk, kemudian Jeya langsung benar-benar pergi dari sana. Meninggalkan Saras yang terdiam dengan tangan yang terkepal di kedua sisi tubuhnya.

"Cewek sialan!" kutuknya dengan marah.

Memperbaiki tali tote bag di pundaknya, Saras lalu segera beranjak dari sana. Melangkah cepat menuju parkiran tempat motornya berada.

· 📜 ·

Langkahnya membawa dia keluar dari minimarket kampus. Di tangannya terdapat sebotol minuman bersoda yang akan menjadi teman selama menunggu Akvi menyelesaikan kelasnya. Jika bukan karena tadinya dia berangkat dari kafe bersama Akvi, Naren tidak mau menunggu temannya itu sampai selesai kelas, yang mana lebih sering tidak menentu.

Hari sudah sore. Langit pun telah menjingga. Melirik jam tangannya, jarum menunjukkan pukul setengah empat sore lebih dua menit.

Beranjak dari sana, Naren memutuskan untuk menunggu di motor milik Akvi. Dia menuju parkiran belakang fakultas ekonomi dan bisnis, tempat Akvi biasa memarkirkan motor. Tiba di sana, Naren mengedarkan penglihatannya sejenak untuk menemukan motor yang tadi digunakan Akvi. Begitu menemukannya, dia langsung melanjutkan langkah menuju motor hitam itu.

Menunggu sambil memainkan ponselnya, kehadiran dua gadis yang tidak jauh dari tempatnya menarik perhatian Naren. Apalagi dia mengenali salah satunya, Saras.

Dia bisa melihat bahwa kedua gadis itu tidak memiliki hubungan yang baik, tampak saling melemparkan tatapan tajam.

Tidak ingin ikut campur. Naren hanya memperhatikan dari tempatnya. Dia masih bisa mendengar percakapan kedua gadis itu. Hingga dia menangkap bahwa mereka terlibat pertengkaran.

Lalu, pertengkaran itu memanas hingga Naren dapat melihat bagaimana tangan gadis yang satunya melayang dan mendarat dengan keras di pipi Saras. Seketika dia bangkit dari posisinya yang duduk di atas jok motor milik Akvi.

Ingin menghampiri Saras dan memeriksa pipinya yang terkena tamparan. Namun, gadis itu sudah lebih dulu beranjak dari sana sebelum Naren berhasil menghampirinya.

Kemarahan menguasai raut wajah gadis itu, Naren melihatnya. Kemudian sebelah pipinya yang tampak memerah.

Sialan!

Seharusnya kekasih Saras memberikan batas tegas untuk sahabatnya itu. Jika itu Naren, dia tidak akan membiarkan siapa pun melukai gadisnya.

Tidak siapa pun.

Bersambung!
Notice typo dan kesalahan penulisan lainnya, ya, itu sangat membantu untuk revisi nanti. Dukungannya jangan sampai kelupaan. Jejak bintang dan suntikan semangat. Sampai jumpa~

[✓] To be in His ShoesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang