· s h o e s ¹² ·

15 10 1
                                    

Halo, readersQ!
Akuu sebenarnya mau lanjut nabung kemarin, tapi entah kenapa tiba-tiba feel-nya hilang dan aku jadi gak bisa ngetik apa pun. Dan akhirnya tadi aku memaksakan diri untuk nyicil, taunya bisa sampe nyelesaiin bab ini. Selamat menikmati, ya~

Lampu lalulintas yang tadinya merah kini telah berubah warna menjadi hijau. Naren pun kembali melajukan motornya memasuki gerbang utama kampus. Mengantre sebentar untuk mengambil karcis parkir di loket. Setelahnya, kembali berlalu menuju gedung fakultasnya.

Memarkirkan motornya di tempat biasa, mumpung belum ada yang menempati, kemudian Naren menyantolkan helm di spion. Ingin langsung masuk ke gedungnya, tetapi teringat bahwa dia harus mengembalikan buku pinjamannya ke perpustakaan.

Bukan buku yang membantu dalam mata kuliahnya, melainkan sebuah novel.

Itu karena adik tingkatnya, Atha. Gadis itu mendapatkan limit peminjaman buku bulan ini dan memanfaatkan dirinya untuk meminjam novel incaran di perpustakaan kampus. Entah apa yang membuat Naren tidak bisa menolak permintaan gadis itu. Dia tidak ingat.

Alhasil Naren melangkahkan kakinya menuju gedung perpustakaan, yang untungnya berada tepat di belakang gedung kuliahnya. Untuk memotong jalan, laki-laki itu menggunakan gedungnya yang memiliki dua pintu utama. Lebih cepat melewati bagian dalam gedung kuliahnya daripada memutari gedung itu untuk ke perpustakaan.

Kelasnya akan dimulai pukul 08.40 nanti di lantai tujuh. Namun, lingkungan kampus masih begitu sepi. Saat tiba di perpustakaan pun kondisi yang sama menyambutnya. Hanya ada seorang petugas yang berada di tempat biasanya.

Mengeluarkan ponsel, dia membuka QR code keanggotaan perpus agar bisa masuk. Setelahnya langsung menuju lantai tiga, tanpa elevator. Hah, gadis mungil itu memang benar-benar merepotkan dirinya. Kenapa pula perpustakaan kampus tidak memiliki elevator, dia kan jadi harus menguras tenaga di pagi hari.

Akhirnya Naren tiba di lantai tiga perpustakaan. Langsung menghampiri meja petugas untuk laporan pengembalian. Begitu selesai, dia segera mengembalikannya di bagian rak literatur-fiksi Indonesia.

Dia menuruni anak tangga demi anak tangga dengan cepat agar bisa kembali ke gedung kuliahnya. Masih ada 20 menit sebenarnya sebelum kelas dimulai, tetapi memang sudah menjadi kebiasaan laki-laki itu untuk bersiap lebih awal di kelas. Apalagi dia adalah penanggung jawab untuk mata kuliah hari ini. Dia perlu memastikan alat-alat mengajar di kelas nanti berfungsi sebagaimana mestinya.

Namun, langkah terburu-burunya itu seketika terhenti saat melihat seorang gadis berambut sebahu yang terlihat sedang berjalan menuju gedung fakultasnya. Naren jadi mempertanyakan keberadaan kendaraan milik gadis itu sekarang.

Perhatian segera tersita kala melihat senyuman lebar yang Saras kembangkan saat dari arah belakang seorang teman memanggilnya. Saras dan temannya itu kembali melanjutkan jalan mereka ke gedung fakultas yang masih berjarak 200 meter.

Indah.

Kata itu muncul di kepala Naren tanpa sadar. Namun, setelahnya dia mengakui bahwa senyum gadis itu memang indah ... dan terasa lebih bebas. Naren turut senang dengan keadaan gadis itu sekarang, apalagi dengan potongan rambut baru membuat Saras terlihat lebih segar sekarang. Dia ikut senang dengan gadis itu yang sudah putus dari kekasihnya. Laki-laki itu, yang belakangan ini dia tahu bernama Gavi, memang tidak pantas bagi gadis seperti Saras.

Dari sticky note milik Saras yang tertempel di Silent Ear, Naren jadi tahu bahwa gadis itu mendaftarkan diri di salah satu UKM kampus. Jika ingatannya benar, hasil seleksi UKM itu akan diumumkan besok. Naren hanya bisa turut mendoakan agar gadis itu bisa lolos.

Saras yang telah hilang dari pandangannya membuat Naren kembali teringat pada tujuan awalnya. Dia harus segera ke kelasnya.

Sembari melangkah dengan cepat, Naren melirik sekilas jam tangan hitam yang ada di tangan kirinya. Tersisa 10 menit lagi. Semoga tidak ada antrean elevator.

Laki-laki itu bernapas lega kala harapannya terwujud. Menekan tombol untuk elevator lantai ganjil, dia perlu menunggu beberapa saat sampai balok baja itu turun ke lantai dasar. Ketika akhirnya pintu elevator terbuka pun dia harus menunggu sampai orang-orang sebelumnya keluar.

Masuk ke dalam elevator, Naren langsung menekan tombol dengan angka tujuh di atasnya. Saat pintu akan tertutup, sebuah tangan dengan cepat menghalangi. Naren mengangkat pandangannya dan mendapati si adik tingkat gebetan Akvi dengan napas yang tidak karuan.

Setelah gadis itu masuk, pintu lift akhirnya tertutup dan mulai bergerak ke lantai tujuh.

"Kelas jam 8.40 juga?"

"Iya." Atha menjawab, masih sambil mengatur napasnya.

Dentingan yang terdengar mengumumkan kalau elevator telah berhenti di lantai tujuan. Keduanya segera keluar dan menuju kelas masing-masing.

Tiba di kelasnya, Naren mendapati setengah dari jumlah keseluruhan mahasiswa yang sekelas dengannya telah mengambil duduk. Menghampiri salah satu bangku dan menaruh tas di atasnya, kemudian dia mulai menyalakan LCD dan microphone. Bukan suatu hal yang berat. Begitu selesai dia mendudukkan dirinya.

Sambil menunggu kedatangan dosen, pikiran laki-laki itu melayang. Terhantar pada ingatan dia melihat Saras untuk pertama kalinya di Kafe Legenda.

Mungkin selama ini ketika Akvi melontarkan banyak guyonan untuk menggodanya mengenai Saras, dia akan membantah bahwa tidak memiliki perasaan apa pun pada gadis itu. Bukannya tidak jujur atau benar-benar tidak memiliki perasaan apa pun, hanya saja Naren menghargai Saras yang sedang memiliki kekasih.

Kini, setelah Saras tidak lagi bersama laki-laki yang tidak pantas itu, Naren bisa dengan percaya diri mengatakan bahwa dirinya memang telah jatuh pada gadis itu sejak awal.

Bersambung!
Yosh, bentar lagi menuju tamat. Kangennya aku sama bayi sebelah makin membludak. Mohon doanya agar ke depannya juga lancar dan bisa segera namatin cerita ini.
Notice typo dan kesalahan penulisan lainnya, ya, itu akan sangat membantu dalam proses revisi nanti. Jejak bintang dan suntikan semangat juga jangan sampai kelupaan. Sampai jumpa~

[✓] To be in His ShoesWhere stories live. Discover now