· s h o e s ¹⁰ ·

16 9 1
                                    

Halo, readersQ!
Double update gegara pengen cepat kelar tanggungan ke cerita ini. Lima chapter lagi buat ending, kayak yang udah tertulis di desk cerita–will be just a novella. Selamat menikmati~

Sebenarnya pekan yang tidak begitu padat, tetapi karena merupakan pekan ujian, maka itu terasa lebih melelahkan dari pekan biasanya. Selalu berlangsung selama dua pekan, Naren harus menyiapkan otaknya untuk dua pekan itu.

Setiap ujiannya telah selesai, Naren akan mengunjungi Kafe Legenda. Lantai dua kafe itu sudah seperti ruang belajar kedua baginya. Dia bisa menghabiskan banyak waktu di sana untuk me-review materi, ditemani dua sampai tiga cangkir kopi. Terkadang ditambah dengan milkshake saat dirasa mulutnya sudah terlalu pahit.

Namun, sebelum itu, Naren tidak ketinggalan untuk berdiri di depan Silent Ear. Berdiri di depan papan yang dipenuhi sticky note berwarna merah muda, kuning, dan jingga itu untuk beberapa saat. Sambil menatap ke satu titik, sebuah sticky note berwarna jingga.

Saras sudah tidak lagi tampil di atas Panggung Kisah. Karena sebelumnya pernah sekali melihat gadis itu menggunakan Silent Ear, kebiasaan Naren berubah jadi mencari sticky note milik gadis itu.

Tidak pernah lebih dari dua sampai tiga kalimat isinya. Entah apa yang membuat Naren sampai berdiri sedikit lama di depan papan itu. Akan tetapi, laki-laki itu tahu, tulisan milik gadis itu bisa menceritakan bagaimana keadaan gadis itu.

“He shouted on me 'cause I called that bitch as a BITCH. I said the truth, tho. Mungkin dia perlu donor mata untuk bisa ngeliat gimana wajah asli sahabatnya itu.”

Sialan!

Dalam diamnya, tangan laki-laki itu mengepal di dalam saku celananya. Rasanya dia ingin menghadiahkan sebuah tinjuan keras di wajah kekasih Saras, sambil berharap tinjuan itu mematahkan hidung laki-laki brengsek itu.

"Hei, Bro!"

Sepertinya sudah menjadi kebiasaan seorang Akvi untuk menepuk pundaknya.

"Tertarik buat nulis sesuatu?" tanya laki-laki itu. "Maybe 'bout your feeling on her. And maybe, dia bakal gak sengaja liat itu terus penasaran, dan akhirnya fall at the first sight sama lo."

"Gegara punya book cafe lo jadi pinter ngarang cerita gini, ya." Naren tidak mau menghiraukan khayalan temannya itu, jadi beralih untuk beranjak dari sana.

Dia berdiri di depan seorang pegawai untuk menyampaikan pesanan, kemudian langsung melangkah ke lantai dua agar Akvi tidak bisa mengganggunya. Larangan berisik baru pemilik kafe itu pasang beberapa hari yang lalu. Jadi, tentu sebagai pemasang sign Akvi tidak bisa untuk tidak menghiraukannya.

Pemandangan tetap begitu tiba di lantai dua kafe itu adalah adik tingkatnya, Atha, yang berada di area lesehan. Biasanya ditemani satu buah novel yang tebalnya menyaingi buku mata kuliah mereka, tetapi saat pekan ujian ini, gadis mungil itu ditemani bindernya dan berbagai macam alat tulis–dari pulpen, xerox machine, highlighter dengan beberapa warna, pensil mekanik, sticky note dengan ukuran dan warna yang berbeda-beda, dan lainnya.

Cukup. Naren tidak datang ke sini untuk mengabsen alat tulis milik gadis itu.

Ingin mencari hiburan sedikit. Naren menghampiri adik tingkatnya itu dengan langkah penuh kehati-hatian, sangat pelan agar tidak menimbulkan suara. Dia melihat sejenak isi binder milik gadis itu. Kalau ingatannya tidak salah, itu adalah materi psikologi dasar.

Wah, Naren hanya bisa bantu mendoakan kesuksesan bagi gadis itu untuk ujian besok. Psikologi dasar terkenal dengan materinya yang banyak. Terdiri dari 16 bab yang masing-masingnya mencapai 20 halaman, bukunya terbagi atas 2 jilid yang tebalnya sama saja. Belum lagi harga buku itu sudah sangat mencekik bagi mereka saat semester awal–lebih dari setengah juta.

Tangan laki-laki itu terangkat pelan, kemudian mendarat di puncak kepala Atha dan mengusak rambut gadis itu dengan gemas. Seketika terdengar seruan tertahan dari adik tingkatnya disusul tepisan kasar yang didapatnya di tangan.

"Aw! Tha, kasar banget, sih." Naren mengusap tangannya yang mendapat tepisan dari gadis mungil itu.

"Makanya jangan jahil!" Atha membalas dengan ketus sembari merapikan tatanan rambutnya.

Naren mengambil duduk tepat di samping gadis itu.

"Tumben ikutan duduk sini," celetuk Atha.

"Gue mau liat doang bentar." Tangan Naren bergerak meraih binder milik Atha dan mulai melihat-lihat, membalik beberapa halaman untuk sekadar melihat materi yang sedang ditekuni gadis itu.

Well, rangkuman milik gadis itu cukup bagus dan rapi. Cocok untuk membuka akun studygram. Melihat dari isinya, pasti Atha mendapatkan Bu Indiyani sebagai dosen pengampu.

Akhirnya Naren mengembalikan binder milik gadis itu.

"Gak capek lo buat rangkuman segitu banyak?"

"Kalau dikata capek, mah, jujur capek. Tapi itu udah nyicil dari jauh hari juga. Abisnya Bu Indiyani gak ngasih PPT lagi, gak mungkin baca buku setebal ini dalam sehari." Atha berucap seraya mengangkat buku besar yang tadinya ditumpuki alat-alat tulisnya.

Pemikiran Naren tidak salah bahwa gadis itu mendapatkan Bu Indiyani sebagai dosen pengampu.

"Lo ngerangkum segini banyak paham gak sama isinya?"

"Ya paham, dong. I put my soul in it."

"Lo masuk psikologi gegara apa?" Karena kalimat terakhir gadis itu, Naren jadi penasaran. Alhasil dia lontarkan saja isi pikirannya.

"Dunno." Atha mengedikkan kedua bahunya dengan santai. "Tertarik sama pikiran manusia ... mungkin."

"Pikiran manusia cuma gitu-gitu aja, gak ada yang menarik. Kalau gak suram gegara depresot, ya, tolol gegara cinta."

Atha memandang Naren dengan kening yang mengkerut. Apa laki-laki ini benar kakak tingkatnya di jurusan psikologi?

"Gak usah natap gue kayak gitu. Lagian yang gue omongin bener, kok." Naren mengetuk kening Atha dengan telunjuknya agar kerutan di sana menghilang. "Dah, lah. Gue juga mau belajar buat besok."

Dia beranjak dari sana, kemudian mengambil tempat duduk seperti biasanya.

Lalu, seakan déjà vu, Naren kembali mendapati sosok Saras duduk di single table yang ada. Tampak serius dengan buku tebalnya, serta kacamata yang bertengger di batang hidungnya kali ini.

Bersambung!
Gak sabar namatin projek ini biar bisa pokus ke anakku yang satunya lagi :' Mohon dukungannya, jejak bintang dan suntikan semangat. Sampai jumpa~

[✓] To be in His ShoesWhere stories live. Discover now