· s h o e s ⁰⁷ ·

22 12 0
                                    

Halo, readersQ!
Beneran, aku pengen cepet selesaiin anak yang satu ini. Alurnya berasa keliatan keren kalau udah dapat label tamat. Aku merasa berkembang :" Selamat menikmati~

Beberapa hari belakangan ini, hampir dua pekan penuh, Naren menjalani masa sibuk hingga tidak sempat menyisihkan waktu untuk sekadar nongkrong dengan Akvi. Laki-laki itu pun tampaknya juga sibuk hingga jarang mengoceh di ruang percakapan mereka. Karena itu, ketika hari ini kelas terakhir Naren selesai lebih awal, dia memutuskan untuk mengunjungi Kafe Legenda. Jika dipikir-pikir pun dia juga sudah lama tidak ke sana.

Langsung keluar ketika dosen menutup kelas mereka dan mengizinkan untuk meninggalkan ruangan, Naren melangkah dengan cepat untuk mencapai elevator. Beruntungnya masih sepi sehingga hanya perlu menunggu beberapa saat, salah satu dari tiga elevator membuka pintunya. Dia segera masuk dan menekan tombol dengan angka satu di atasnya. Pintu elevator yang kembali menutup membuat Naren menunggu sejenak sambil menyandarkan tubuh di dinding elevator.

Dentingan yang terdengar membuat laki-laki itu kembali menegakkan posisi tubuhnya. Begitu pintu terbuka, terlihat beberapa orang yang menunggu di depan elevator.

Melangkah dengan cepat, tetapi tetap memperhatikan untuk tidak menyenggol orang lain, Naren berhasil keluar dari gedung. Kemudian langsung melanjutkan langkahnya menuju tempat dia memarkirkan motor.

Selang hampir 20 menit, setelah melewati pos satpam kampus lalu berkendara di jalanan bersama pengguna lain, dia akhirnya tiba di depan Kafe Legenda. Terlihat lebih sepi dari biasanya, hanya ada lima motor yang terparkir di sana selain motor miliknya.

Menyantolkan helm di spion motor dan mencabut kunci, kemudian Naren melangkah untuk masuk ke kafe.

Oh, tidak sesepi yang terlihat dari luar.

Hampir semua meja di lantai dasar kafe itu telah diisi. Mungkin kebanyakan memakai kendaraan umum daripada milik pribadi. Maklum, telah masuk musim penghujan sehingga mungkin kebanyakan orang malas membuat kendaraan masing-masing kotor.

Naren mengambil duduk di salah satu meja dekat jendela yang tersisa. Melepaskan tas dari punggung dan meletakkannya di kursi samping, tidak lama kemudian seorang pegawai mendatanginya. Kali ini dia menyebutkan minuman yang berbeda dari biasanya, bukan kopi. Dia ingin sesuatu yang lebih manis sekarang.

Setelah mencatat pesanannya, pegawai itu beranjak.

Kemudian ponsel di tangan mengambil alih perhatiannya. Ada pesan masuk dari sang ibu ternyata, melihat dari jamnya, pesan itu terkirim saat dia masih mengikuti kelas. Segera dia gerakkan kedua ibu jarinya untuk mengetikkan balasan, begitu selesai langsung menekan gambar pesawat kertas.

Tidak hanya sampai di situ, Naren juga memeriksa pesan masuk lainnya yang membuat angka notifikasi mencapai puluhan. Dia tidak suka melihat itu, jadi seringnya langsung menekan 'mark as read' begitu melihat bar notifikasi di bagian atas layar.

Selang beberapa saat, minuman pesannya tiba, diantarkan oleh pegawai yang berbeda. Mengucapkan terima kasih, kemudian dia langsung mengarahkan sedotan ke bibirnya. Keningnya sedikit mengkerut, itu kala merasakan ngilu karena menyedot minumannya terlalu cepat.

"Hei, Bro!" Seruan disertai tepukan di pundak membuat Naren menoleh. Membuatnya mendapati Akvi dengan tas yang masih tergantung di salah satu pundak laki-laki itu. "Udah lama?"

"Belum," jawab Naren dengan singkat.

Akvi mengambil duduk di depan Naren, kemudian ikut menaruh tasnya di kursi samping.

"Jadi.. makin sibuk lo?"

"Hum, gitulah. Kayak lo nggak aja." Naren menjawab dengan tidak minat. Sekali lagi mereguk minumannya melalui sedotan, lalu dia mengedarkan pandangan ke penjuru kafe.

"Itu ada apa? Kok, banyak orang rame ngumpul di situ?" Dia menunjuk satu titik dengan dagunya.

Akvi pun mengikuti arah pandang Naren. "Oh. Itu mereka lagi gunain ikon baru kafe, Pendengar Bisu. Bahasa kerennya Silent Ear."

Naren tidak memberi sahutan, malah menaikkan salah satu alisnya.

"Penamaannya bukan buat joking atau ngejek. Itu papan buletin di mana orang-orang bisa gunain buat nempelin sticky note yang udah mereka tulisin. Banyak orang yang gak seberani itu buat pake Panggung Kisah dan berbagi hal-hal yang seharusnya gak boleh dipendam kalau kata Atha, salah satu alasannya karena takut di-judge. Nah, papan buletin itu kayak pendengar karena dijadiin tempat buat naruh banyak cerita. Karena papan itu benda mati, dia gak akan nge-judge orang-orang yang udah bagi cerita mereka di dirinya. Itu yang ngumpamain bisu. So, tercetuslah Pendengar Bisu atau Silent Ear itu."

"Kalau misalnya orang-orang cuma datang buat gunain Silent Ear itu atau cuma buat senang-senang sama buku-buku di atas, keuntungan lo gimana terus buat bayar pegawai?"

"Gue, sih, masih dapat keuntungan yang cukup buat bayar pegawai. Lagian, karena udah mikirin itu gue cuma nge-hire tiga pegawai. Dan lo tahu sendiri, uang gak jadi tujuan utama gue waktu ngebuat kafe ini."

"Ya, ya, ya. Akvi dengan kebucinannya sampe mau bangun book cafe buat seorang Athafiya Zivaru Marino."

"Halah, kayak lo gak nunjukin tanda-tanda bucin aja. Sering datang ke kafe, bahkan hampir setiap hari cuma buat ngeliat cewek dari jauh. Cih, sok-sokan ngatain." Akvi balas meledek temannya itu, tidak mau kalah. Enak saja. "Sayangnya si cewek udah ada pawang."

"Bacot lo!" Naren berseru kesal. "Lo sendiri gimana kalau nanti Atha tetap aja gak nerima lo? Lo udah ngeluarin banyak uang buat ini."

"Gue bakal usaha terus, lah. Lagian janur kuning belum melengkung."

"Bulol lo jadi laki."

"Masih mending daripada jadi cowok brengsek."

Bersambung!
Tolong, aku pengen satu cowok kayak Akvi buat jadi takdirku (╥﹏╥) Emang keliatan bulol, tapi ketulusannya juga gak bisa dianggap gak ada. Aaaa pengen Akvi (ノಥ,_」ಥ)ノ
Jejak bintang sama suntikan semangat jangan sampe lupa, notice typo dan kesalahan penulisan juga. Sampai jumpa di chapter selanjutnya~

[✓] To be in His ShoesWhere stories live. Discover now