· s h o e s ⁰⁹ ·

16 10 0
                                    

Halo, readersQ!
Niatnya mau ngilang sampe pekan depan, tapi gak jadi. Ide ini bisa-bisanya lancar jaya padahal harusnya stuck bentar karena masa ujian. No more words, selamat menikmati~

Langkahnya begitu ringan memasuki kafe. Setelah beberapa hari tidak mengunjungi kafe, akhirnya gadis mungil itu bisa kembali pada kebiasaannya. Berbagai tugas presentasi telah dia lewati dengan cukup baik. Pekan depan pun sudah ujian, jadi Atha memanfaatkan waktu luangnya saat ini untuk bersantai sejenak di kafe. Membaca novel di lantai dua terbayang di benaknya, menjadi kegiatan yang menyenangkan.

Ditambah dia ingin mencoba ikon baru Kafe Legenda, Silent Ear. Sudah mengetahuinya sejak pekan lalu melalui Instagram, tetapi baru hari ini bisa mewujudkannya.

Melihat ke satu titik yang dia yakini merupakan tempat Silent Ear, penglihatannya menangkap banyak orang yang berdiri di depan sana. Dengan melihatnya saja sudah pengap, Atha tidak ingin berdesak-desakan dengan mereka.

Ah, benar!

Atha mengambil duduk di salah satu stool bar yang masih kosong, kemudian meraih pouch berwarna baby blue yang dia gunakan sebagai wadah stationary. Sebagai salah satu benda wajib seorang penuntut ilmu, Atha selalu menyimpan sticky note dengan dua ukuran di dalam pouch-nya. Mengeluarkan yang berukuran sedang, yang memiliki warna hijau pastel, dia lalu juga meraih pulpen.

Atha terdiam sejenak untuk memikirkan apa yang akan dia tuliskan di atas sticky note itu. Kemudian dia teringat pada apa yang terjadi kemarin.

Tangannya bergerak lincah untuk menorehkan tinta di atas kertas berwarna itu. Begitu selesai, dia memandangnya dengan tatapan puas. Sekarang tinggal menempelkannya di Silent Ear.

Dia kembali menunggu sejenak, sambil menatap ke arah Silent Ear–memperhatikan keramaian yang akhirnya menyurut juga.

Ketika orang terakhir selesai menempelkan sticky note miliknya, Atha bangkit dan segera menuju Silent Ear. Dia berdiri beberapa saat di depan papan itu sambil memikirkan bagian mana yang akan dia tempeli miliknya. Akhirnya pilihan dia jatuhkan pada sisi kiri papan, hampir di batas pinggir papan.

Setelah berhasil tertempel Atha kembali menyunggingkan senyum puas. Akhirnya dia berhasil mencoba Silent Ear.

Panggung Kisah sebenarnya juga sama menariknya dengan Silent Ear, tetapi Atha tidak memiliki cukup keberanian untuk berdiri di atas sana. Atau mungkin.. belum.

Baiklah.

Goal lain yang akan dia capai adalah tampil di atas Panggung Kisah.

Sibuk dengan pikirannya, tiba-tiba tubuh Atha tersentak kala merasakan keberadaan orang lain tepat di belakangnya. Memutuskan untuk menoleh, dia menemukan sosok Naren yang terlihat tengah melarikan pandangan pada isi Silent Ear.

"Iihh, Kak Nareenn!" Gadis itu berseru seraya bergerak cepat menutup sticky note miliknya agar apa yang tertulis di sana tidak terbaca oleh sang senior. "Gak boleh kepo-kepo sama punya orang!" omelnya.

Tak!

"Aahk! Sakit, Kak Naren!" Atha kembali berseru saat keningnya menjadi korban dari sadisnya sentilan Naren. Kedua matanya sampai berkaca-kaca.

Naren akhirnya memfokuskan pandangannya pada sang adik tingkat. Perasaan bersalah menyelimuti.

"Maaf, Tha, soalnya gue gemes. Lagian gue bukannya kepo sama punya lo." Tangan Naren bergerak menggantikan tangan Atha untuk mengusap kening gadis itu. Terlihat sedikit memerah. "Laporan ke Akvi, gih, biar dapat minuman gratis."

Gadis itu mendongak. "Emang apa hubungannya?"

"Sebagai bentuk hiburan dan permintaan maaf."

Seketika netra Atha berbinar. "Oke!" Dia langsung berlalu dari sana dengan riang. Traktiran bagi seorang anak rantau adalah hal yang wah. Tentu Atha tidak mungkin melewatkannya.

Pas sekali ada Akvi yang sedang berbicara dengan pegawai yang berjaga di belakang kasir, dia langsung menghampiri laki-laki itu untuk menyampaikan pesanannya.

"Kak Akvi, aku mau oreo-chocolate dua. Nanti aku di atas. Pesanannya dibayar Kak Naren." Dia berucap seraya menunjuk Naren yang masih berdiri di depan Silent Ear.

Akvi menatapnya dengan salah satu alis yang terangkat. "Dalam rangka apa Naren traktir?"

"Soalnya jidat aku jadi korban sentilan Kak Naren. Sakit, tahu. Nih!" Telunjuknya mengarah ke kening yang masih terasa nyut-nyutan walaupun tidak separah tadi.

"Mau dikompres aja, Tha? Kalau bengkak gimana? Emang bener-bener si Naren."

"Gak perlu. Ini udah gak terlalu sakit. Aku mau pesananku aja."

"Oke, lo bisa langsung naik. Nanti dianterin."

Atha langsung berlalu ke lantai dua. Dia berharap belum ada yang menempati area lesehan.

Di sisi lain, akhirnya Naren beranjak dari depan Silent Ear. Dia menghampiri Akvi yang melemparkan pandangan penuh kecaman dari balik meja.

"Apa maksud lo nyentil-nyentil jidatnya Atha? Sekali lagi lo buat Atha sakit, gue bales lo pake bogem."

Dugaan Naren sebelum memutuskan beranjak dari depan Silent Ear tepat, sangat tepat. Begitu dia berdiri tepat di depan laki-laki itu, ancaman langsung didapat. Penuh tekanan dan terdengar sungguh-sungguh.

"Sori, Bro, gue gak maksud. Abisnya gebetan lo gemesin, sih."

Akvi berdecih sinis. "Mau minum apa lo? Kopi lagi?"

"Hm, gue di atas." Naren menjawab singkat sambil mengeluarkan dompet dari dalam tas. "Sekalian sama pesanan Atha, berapa?"

Detik berikutnya setelah mendapatkan jawaban dari Akvi, kedua mata Naren membulat. "Lo bales dendam karena gue udah nyakitin gebetan lo? Gak gini juga, Vi, gue bisa bangkrut kalau lo gandain harganya."

"Udah bener, kok. Atha pesen dua oreo-chocolate, ditotal sama kopi pesanan lo, ya harganya segitu."

Rasanya Naren ingin mengumpat. Gadis mungil itu memanfaatkannya. Jika bukan karena laki-laki yang menggilai gadis itu berada di depannya, pasti umpatan itu sudah lolos dari bibir Naren.

Dengan terpaksa Naren mengeluarkan satu lembaran berwarna biru dan satu lembaran berwarna hijau. "Lo gak mau ngasih diskon gitu? Itung-itung karena udah nyenengin gebetan lo."

"Gue masih ingat lo yang mikirin keuntungan gue, so it's a no. Bisnis adalah bisnis, kan."

Haish!

Memang pasangan yang cocok.

Begitu urusan bayar-membayar usai, Naren langsung melangkah ke lantai dua kafe. Begitu kakinya menapak melewati pintu kaca, dia bisa menemukan adik tingkatnya di area lesehan. Seketika kembali memanas kala mengingat bagaimana gadis itu membuatnya bangkrut.

Namun, tidak begitu menghiraukannya. Naren kemudian berlalu menuju salah satu meja panjang yang kosong. Dia mengambil tempat duduk di ujung, dekat dengan rak-rak yang menutupi dinding di sisi kanan. Kemudian dia mengeluarkan tablet dari dalam tas. Meskipun sebentar lagi ujian, bukan berarti jumlah tugas berkurang.

Di tengah fokusnya menggerakkan pen dan jari di atas layar tablet, ingatannya kembali menampilkan apa yang tertulis di sticky note milik Saras yang tadi dia baca.

Nothing's going better. Seperti hamster dengan rodanya, hanya berlari di tempat tanpa beranjak.”

Berhari-hari terlewati tanpa Saras yang tampil di atas Panggung Kisah, lalu malah beralih pada Silent Ear, Naren menjadi hafal warna sticky note apa yang selalu digunakan gadis itu serta di sisi mana akan ditempelkan.

Atha memang salah paham tadi jika mengira dirinya ingin mengetahui apa yang tertulis di sticky note miliknya, dia sebenarnya sedang berusaha membaca milik Saras yang dihalangi oleh tubuh gadis itu.

Bersambung!
Fill free buat koreksi penulisannya~ bakal membantu banget waktu revisi. Tapi tetap ingat adab, ya. Jejak bintang jangan sampai kelupaan, suntikan semangat apa lagi. Sampai jumpa~

[✓] To be in His ShoesWhere stories live. Discover now