· s h o e s ¹¹ ·

15 9 1
                                    

Halo, readersQ!
Aku kembali lagi dengan chapter baru. Rasanya tangan ini gak bisa diam begitu draftnya selesai dibuat. Jadi aku langsung publish aja. Selamat menikmati~

Menutup pintu kamar lalu menguncinya, dia meraih paper bag yang tadinya ditaruh di lantai untuk memudahkannya mengunci pintu. Paper bag berukuran sedang itu dia tenteng sambil menuruni dan keluar dari indekost.

Meletakkannya di gantungan motor, Saras beralih meraih helm bogo miliknya untuk dipakai. Setelahnya, dia siap untuk pergi.

Beberapa menit berkendara, akhirnya Saras sampai di tujuan; alun-alun kota. Dia memiliki janji untuk bertemu dengan seseorang. Seseorang itu pun sudah menunggu di tempat biasa yang mereka gunakan.

Saras segera mempercepat langkahnya untuk menghampiri Gavi. Tiba di sisi laki-laki itu, dia menyodorkan paper bag yang tadi dibawa.

"Bisa kamu kasih buat Jeya," ucapnya.

Gavi mengambil paper bag itu dari tangan Saras tanpa mengucapkan sepatah kata pun.

Mereka terdiam untuk beberapa saat.

"Kamu bisa duduk, Ras. Lebih baik kalau kita ngomong sambil duduk." Akhirnya Gavi bersuara karena tampaknya Saras tidak memiliki niatan untuk duduk. Setelah gadis itu menurut dan duduk di sampingnya walaupun dengan jarak yang begitu kentara, dia melanjutkan, "Selama break, aku udah mikirin tentang hubungan kita ...."

"Aku juga udah mikirin banyak hal tentang hubungan kita, dan aku rasa kita cukup sampai di sini aja."

Kalimat Saras membuat Gavi seketika mengubah posisinya untuk menghadap pada gadis itu. "Apa maksud kamu? Bukan itu yang aku mau."

"Tapi ini yang aku mau, Gav. Kita putus aja."

"Nggak, Ras. Aku udah mikirin semuanya. Aku bisa misahin urusan persahabatanku sama Jeya kalau kamu mau, janji date yang batal bisa aku ganti dan kita bisa kayak dulu lagi, Ras."

"Kata-kata kamu gak bisa menjamin apa yang bakal terjadi nanti, Gav. Setahun bareng kamu, yang kebanyakan kamu omongin cuma Jeya. Entah kenapa aku baru sadar hal itu. Kamu gak bisa tanpa Jeya, dan aku sadar tentang itu. Keputusanku buat putus udah jadi keputusan terbaik buat kita."

"Aku senang bisa ngenal kamu, Gav. Doa terbaik untuk pacarmu selanjutnya."

Saras bangkit, lalu melangkah dengan ringan untuk beranjak dari sana. Kali ini Gavi tidak mencegahnya, pun tidak memanggil-manggil namanya. Namun, bukan berarti Saras ingin laki-laki itu melakukan demikian.

Kini, tidak ada lagi yang mengganggu pikirannya.

Semua telah usai.

Dan semuanya terasa melegakan sekarang. Tidak ada beban yang menghimpit dadanya lagi. Saras senang akan hal itu.

Di sisi lain, Gavi yang ditinggalkan oleh Saras sendirian di alun-alun itu, hanya bisa merenung untuk sesat.

Gavi akui bahwa dia salah karena belakangan ini lebih memprioritaskan Jeya dibandingkan dengan Saras. Namun, berpisah dengan Saras tidak pernah terpikirkan olehnya. Tidak sedikit pun.

Saras memang bukan kekasih pertamanya. Akan tetapi, hari-hari mereka selama satu tahun menjalin hubungan begitu membekas di benak dan hati Gavi. Gadis itu berbeda dari yang lainnya, karena itulah Gavi menyukainya. Sampai berpikiran mereka bisa mencapai jenjang yang lebih serius nanti.

Namun, itu hanyalah khayal.

Baru satu tahun terlewati dan sudah ada kata putus di antara mereka.

Melarikan jari-jemarinya di antara helaian rambut, sembari itu mengembuskan napas panjang yang terdengar berat. Kemudian penglihatan laki-laki itu tertuju pada paper bag yang tadi dibawa Saras.

[✓] To be in His ShoesWhere stories live. Discover now