· s h o e s ¹⁵ ·

60 11 5
                                    

ReadersQ!
Selamat datang di penghujung cerita, dan selamat menikmati~

Empat belas bulan setelahnya.

Menempati salah satu meja, sendirian, tanpa seorang pun yang menemani. Penglihatannya mengarah ke atas panggung. Satu lampu yang tersisa menyorot pada seorang gadis yang baru beberapa saat mendapat gilirannya.

Kafe yang termasuk masih baru itu kian ramai dari hari ke hari. Ada saja wajah baru yang menempati setiap meja yang ada. Panggung Kisah juga menjadi lebih sering digunakan. Silent Ear pun demikian, makin banyak sticky note yang bertumpang tindih di sana. Pengunjung di lantai dua juga semakin banyak, kini jika menginjakkan kaki di sana hanya akan tersisa dua atau tiga tempat yang kosong. Terkadang tidak ada sama sekali.

"Hari-hari semakin sibuk, sampai saya memutuskan untuk mengundurkan diri dari UKM yang saya ikuti. Sudah saya lakukan sejak tiga hari lalu sebenarnya. Gadis yang biasa bersama saya pun sudah mengundurkan diri lebih awal. Karena itu, saya gak lagi melihat hal menarik dari UKM itu."

"Saya tahu waktu terus berjalan. Saya hanya gak begitu suka bagaimana waktu mengambil apa yang menjadi bagian dari hidup saya, tanpa mengatakan itu hanya titipan. Sementara. Sekarang juga saya juga jarang bertemu dengannya, padahal dulunya saya akan selalu menemukan dia bersama salah satu buku di area lesehan yang ada di lantai dua kafe ini."

Naren terus mendengarkan. Kedua tangannya menyilang di depan dada, seakan menunjukkan betapa fokusnya dia pada gadis yang tampil di atas Panggung Kisah itu.

"Saya sudah terbiasa dengan kehadirannya, cerita-cerita random yang selalu dia bagi tanpa kenal lelah di setiap pertemuan kami, ekspresinya saat mengeluhkan teman sekelas yang gak berubah sikapnya padahal sudah sekian semester terlewati. Dia sudah seperti seorang adik, adik perempuan yang manis."

Gadis itu terlihat menarik napas dalam-dalam. "Saya memang sering tampil di atas sini, di atas Panggung Kisah ini. Dan mungkin kalian mulai merasa bosan melihat saya, tapi ini satu-satunya cara saya untuk mengungkapkan yang gak bisa saya sampaikan secara langsung. Saya gak akan menyanggah atau berbohong dengan bilang bahwa saya baik-baik saja. Saya rindu waktu bersamanya. Tampil di atas sini, saya sambil berharap bisa melihat dia masuk melalui pintu itu, menyapa saya dengan suara ramah yang terkesan canggung itu."

"Jika kami diberi kesempatan untuk bertemu lagi walau hanya sebentar, saya ingin mengucapkan banyak terima kasih pada gadis manis itu karena memberikan kenangan semanis gulali." Sebuah penutup yang terkesan menggantung, tetapi gadis itu memang benar-benar menyelesaikan sesinya dengan cepat. Langsung beranjak dari atas sana dengan cepat, kemudian menyantolkan tali tote bag di pundak dan pergi.

Dari yang Naren dengar, Atha memang sudah tidak sesering dulu mengunjungi Kafe Legenda. Sepekan sekali, bahkan dua pekan sekali jika gadis itu terlihat benar-benar ingin. Dalam sebulan pun, dia bisa tidak menginjakkan kaki di kafe ini.

Tidak hanya bagi Saras, absennya gadis itu dari penglihatan orang-orang yang sering melihatnya mendatangkan hampa. Lebih-lebih pada Akvi. Harapannya untuk memenangkan hati seorang Athafiya Zivaru Marino kian terkikis. Naren tidak tahu apakah sekarang sudah benar-benar hilang.

Sebagai kakak tingkat yang sefakultas dengan gadis itu, Naren pernah sesekali melihat Atha di tengah kesibukannya dengan semester akhir. Energi ceria yang biasa memancar di sekeliling gadis itu tidak lagi terlihat. Dari yang dia dengar, Atha kehilangan seseorang yang sangat berarti dalam hidupnya.

Kemudian, di atas segala hal mengenai seorang gadis mungil bernama Atha, Naren juga memiliki sisi birunya sendiri.

Berada di Kafe Legenda saat ini membuat dia kembali teringat pada hari itu, hari di mana dia dan Akvi membicarakan mengenai gebetan masing-masing. Kini Naren mengakui, Akvi benar untuk kesekian kalinya.

[✓] To be in His ShoesNơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ