Chapter 19

18.7K 2.4K 306
                                    

Vote and comment please.
***

         Nathaniel menghentikan langkahnya di tengah ruang tunggu Welfare hospital. Dia datang ke tempat ini setelah menyelesaikan pekerjaannya dengaan terburu-buru—karena demi Tuhan, dia tidak bisa menunggu lebih lama lagi untuk bertemu wanita yang sejak semalam membuatnya tidak bisa berpikir.

Sera, wanita yang Nathaniel cari akhirnya ketemu, berdiri tidak jauh di depannya, baru saja keluar dari ruangan sterilisasi operasi bersama rekan dokter serta perawat dan sepertinya sedang membicarakan sesuatu dengan sangat serius.

Dia mengenakan scrub hijau dengan rambut yang disanggul tinggi sampai menunjukan leher putihnya, hal yang hanya bisa terlihat saat dia berada di ruang operasi. Hal itu pulalah yang sering membuat Nathaniel merasa kesal karena dia juga ingin mendapat kesempatan seperti itu.

Tapi tidak apa, Nathaniel bisa menunggu... dia akan terus menunggu sampai kapanpun hingga Sera menjadi miliknya dan Nathaniel tidak hanya bisa menatap leher putih itu dari dekat, tapi juga bebas melakukan apapun pada leher putih itu.

At the bottom of patience one finds heaven, they said.

Sera terlihat tersenyum saat akhirnya selesai berbicara dengan rekan-rekannya, dia menunduk sekilas, kemudian berjalan menjauh dari pintu masuk ruangan sterilisasi operasi.

Ketika melewati ruang tunggu, Nathaniel langsung menahan tangannya, membawanya ke lorong luar rumah sakit yang tidak ramai orang.

"Ada baiknya, anda tidak sering-sering senyum dok." Kata Nathaniel saat mendudukan diri di bangku lorong, mendongak dan menggenggam tangan Sera untuk berdiri di hadapannya.

Sera tertawa jahil. "Memangnya kenapa?"

"Karena saya tidak terlalu suka berbagi wanita saya dengan orang lain, dok. Anda tahu, saya tipe orang yang sangat pecemburu." Nathaniel berkata dengan intonasi sungguh-sungguh yang membuat Sera jadi salah tingkah.

"Kenapa kau sudah berada di rumah sakit di jam seperti ini?" Tanya Sera kaku, mengalihkan pembicaraan mereka. "Bukannya jam kerjamu selesai pukul 5 atau 6?"

"Aku merindukanmu." Nathaniel mengeratkan genggaman tangannya pada Sera. "Juga, sepertinya ada pembahasan penting yang belum selesai kita bicarakan ya kan dok?"

Ingatan tentang kejadian tadi malam—yang mati-matian Sera redam satu hari ini kembali masuk dalam kepalanya, membuat wajahnya mendadak terasa panas dan jantungnya kembali berdebar kuat.

Pernyataan cinta Nathaniel, dan.... ciuman pertama mereka. Sera berbisik dalam hati, lantas menarik tangannya, melangkah mundur untuk menjauh, kemudian mengalihkan tatapannya ke taman rumah sakit.

"Ahh.. maaf, aku baru ingat." Sera gugup. "Aku masih harus memeriksa beberapa jurnal ilmiah yang dikirimkan ke ruanganku. Aku sepertinya tidak bisa makan malam denganmu."

Nathaniel berdiri dari bangkunya, tersenyum penuh maksud, kemudian kembali mendekati Sera yang tidak sadar telah berjalan mundur hingga terjebak tembok. Nathaniel lalu menumpuhkan tangan di sisi tubuh Sera, memenjarakan wanita itu pada kungkungannya dan menatapnya dengan sorot mata dalam.

"Itu bisa menunggu." Suara Nathaniel merendah. "Aku sudah sangat lapar."

Pria itu menurunkan tatapannya pada bibir Sera yang mulai gelagapan, nyaris saja menundukan kepala dan memenuhi keinginanya untuk menyentuh bibir wanita itu, jika saja Sera tidak tiba-tiba mengalihkan wajahnya dan menghindari Nathaniel.

Mereka masih di rumah sakit, batin Sera menyadarkan.

"K-kau bisa ke restauran kalau lapar, kenapa malah datang ke rumah sakit?" Ujar Sera tidak mengerti.

Nathaniel tersenyum menggoda. "Aku ingin memakanmu."

Sera membelalakan matanya. "Jangan bercanda."

"Aku ingin makan malam bersamamu."

"Baiklah." Sera berdehem. "Tapi kafetaria sedang ramai saat ini. Mau keluar mencari restauran yang dekat?"

Nathaniel mengangguk, tidak keberatan. "Boleh. Walaupun aku lebih mengharapan undangan makan malam di rumahmu, tapi makan di—"

"Kalau begitu makan malam di rumahku." Sera memotong.

"Apa?" Nathaniel keheranan.

"Aku akan membawa jurnal ilmiahku pulang. Aku bisa masak untuk makan malam, tapi apa kita bisa belanja di supermarket dulu? Sepertinya aku kehabisan daging dan sayuran di kulkas."

"Kau serius?" Nathaniel memastikan, seakan dia baru saja salah dengar.

Sera mengangguk. "Hm."

"Sungguh?"

"Iya, Nathaniel." Sera lalu tersenyum hangat, yang lagi-lagi jarang dia tunjukan di depan Nathaniel. "Kau bilang... aku tidak boleh memberikan kesempatan lalu membatalkannya sesuka hati, kan?"

Ekspresi Nathaniel meredup. "Sera, jika kau melakukan ini karena merasa tidak enak padaku, tidak apa-apa, kita bisa makan malam di restaurant saja dan—"

"Kau tidak mau?"

Nathaniel menggeleng. "I'd be lying if I said no, tapi aku tidak mau kau melakukannya karena terpaksa. Kita bisa pelan-pelan, aku akan menunggumu. Aku tidak mau kau meragukanku dan berpikir aku menginginkanmu hanya karena penasaran lagi, Sera."

"Aku tidak terpaksa, Nathaniel." Sera menghembuskan napas, jengah. "Aku sedang mencoba mempercayaimu."

"...."

Nathaniel tidak menjawab, raut wajahnya terlihat begitu merasa bersalah hingga Sera tersenyum lebih lebar untuk menenangkan.

"Tidak apa-apa. Ayo."

Lalu tanpa menunggu lebih lama, Sera memegang tangan Nathaniel, membawanya berjalan melewati lorong serta lobby rumah sakit untuk menuju ruangannya dan bersiap-siap pulang.

Mereka berdua sama sekali tidak sadar bahwa dengan itu, mereka kembali membuat beberapa staf rumah sakit yang berpapasan dengan mereka semakin penasaran, hubungan apa yang sebenarnya terjadi pada Nathaniel Arvino dan juga Sera Aldarict.

***

With love.
Nambyull

Let's test all the BorderlinesWhere stories live. Discover now