Chapter 9

15.8K 2.1K 307
                                    

Vote and comment please.
***

          "Fall for him again?"

Sera reflek mengalihkan wajahnya dari jendela kelas saat seseorang tiba-tiba berbisik di telinganya dan mengejutkannya.

"Sirenna!"

Perempuan yang mengejutkannya itu tersenyum, sama sekali tidak merasa bersalah. Dia duduk di bangku sebelah Sera dan mengikuti arah pandangannya pada lapangan outdoor sekolah, di mana dia bisa melihat saudara kembarnya sedang bermain basket bersama teman kelasnya.

"Kau sudah melihat kakakku sejak tiga puluh menit yang lalu. Aneh sekali kau tidak mengalihkan pandanganmu kemanapun."

Sera menundukan kepala ke atas meja karena malu. "Thought so."

Sirenna tertawa. "Kalian sudah baikan?"

"Baikan bagaimana? Kami saja tidak pernah bertengkar." Sera berdecak.

Sirenna menopang dagunya, dan menatap Sera lekat. "Benar, tapi mencampakakan Kak Niel dan mengatakan kau tidak mau berteman dengannya lagi, bukankah terlihat seperti bertengkar? Kalau bukan jadi apa?"

Sera tidak menjawab.

Sirenna tersenyum, mengangkat sebelah tangannya yang bebas lalu mengusap kepala Sera. Dia suka saat Sera tidak bisa berpikir dengan benar seperti ini, Sera tampak jauh lebih manusiawi.

"Kau tahu Sera? Entah kenapa aku merasa kalian menjadi dekat lagi akhir-akhir ini. Kau mulai makan siang bersama Kak Niel lagi kan? Aku senang melihatnya."

Sera di tempatnya terdiam, tidak sadar menggigit kuku ibu jarinya gelisah karena tidak tahu bagaimana harus menjawab perkataan Sirenna.

"Kenapa?"

Sera ragu-ragu menggeleng. "Itu... sebenarnya, aku makan siang dengannya karena aku tidak mau bersikap buruk lagi. Dia sudah menolongku."

Sirenna terkejut, langsung mengerutkan dahinya dengan ekspresi tidak percaya.

"Tunggu? Apa? Jadi semua sikap baikmu selama ini hanya untuk membalas Kak Niel?"

"...."

"You still make borderlines for him setelah apa yang dia lakukan untukmu?"

Sirenna menghembuskan napas, kadang dia tidak mengerti bagaimana jalan pikiran sahabatnya itu ataupun apa yang sedang dia pikirkan meski mereka sudah berteman sejak lahir.

Sera selalu menahan diri. Dia menutup rapat perasaannya seolah itu adalah hal yang harus dia simpan sendiri, dan tidak memperbolehkan satu orangpun tahu bagaimana perasaan atau apa yang dia rasakan sebenarnya.

"Sera, Kak Niel akan mengartikan hal lain jika kau bersikap baik seperti ini. Dia sudah memperhatikanmu dari kita di playgroup, dia menunggumu lebih lama dari siapapun dan dia selalu mendahulukanmu dibanding apapun, kau sadar kan?"

Sera mengangguk, karena tahu Nathaniel bisa salah paham dengan sikap baiknya akhir-akhir ini, Sera menjadi semakin merasa bersalah.

Sejak awal dia tidak mau memberi Nathaniel sedikitpun akses untuk melewati batas yang telah dia buat, namun laki-laki itu terus mendatangi Sera, dia dengan tatapan tulus mengatakan bahwa dia ingin melindungi Sera, terus-terusan memperlakukan Sera dengan sangat baik seolah Sera satu-satunya perempuan yang dia perlakukan seperti itu, dan mengatakan bahwa dia menyukai Sera.

Tapi Sera tidak bisa menerimanya, Sera tidak ingin Nathaniel menjadi lebih dekatnya.

Dia tidak bisa menerima jika suatu saat laki-laki itu berkata bahwa semua yang dia lakukan hanya untuk pertemanan ayah mereka, sedangkan Sera sudah terjebak dalam perasaannya sendiri. Sera bahkan tidak bisa membayangkan akan seperti apa kecewanya dia saat diperlakukan seperti itu, lagi, seperti delapan tahun lalu.

"Aku tidak bermaksud mempermainkannya."

"Ya, jangan mempermainkannya kalau begitu." Sirenna menimpali. "Begini saja, aku akan memberimu pertanyaan serius dan kau bisa memberitahukanku jawabannya kapan saja selama kau siap atau merasa yakin dengan jawaban itu, okay?"

Sera tidak menjawab, dia tidak bisa melepaskan fokusnya dari Nathaniel yang sedang minum dan tertawa bersama temannya di lapangan.

"Apa kau menyukai kak—ah tidak, apa kau mencintai Kak Niel?"

Sirenna yang melihat Sera terpaku di tempatnya, menyeringai. Saat menoleh ke arah jendela dan melihat saudara kembarnya tahu-tahu berjalan ke arah mereka sambil melambaikan tangan, Sirenna lantas menyenggol siku Sera.

"Jangan jawab aku sekarang. Kau harus memikirkannya baik-baik, aku bisa menunggu." Sirenna kemudian beranjak dari tempat duduknya keluar kelas. "Aku pergi dulu."

Nathaniel yang sudah berdiri di depan jendela kelas mengerutkan kening melihat kepergian Sirenna.

"Nana mau ke mana? Mengurus bahan untuk lomba cerpennya lagi?"

Sera diam dan Nathaniel menyadari bahwa perempuan itu sedang menggigit ibu jarinya dari tadi sehingga Nathaniel mendengus dan tertawa pelan.

"Hentikan, kau seperti anak kecil." Nathaniel menarik tangan Sera menjauh.

Sera sedikit tersentak. "A-aku tidak apa-apa."

Nathaniel tersenyum, mengabaikan perkataan Sera.

"Kau ada waktu?"

"Ya?"

"Aku ingin mengajakmu nonton ke bioskop sabtu ini. Ada waktu?"

Sera memperhatikan Nathaniel yang sedang menatapnya dengan sorot mata bahagia, panik. Denyut jantungnya yang mendadak berubah cepat membuat Sera ketakutan, hingga dia reflek menarik tangannya yang masih digenggam Nathaniel kemudian mengangguk gugup.

"Y-ya, aku ada waktu."

"Bagus! Kalau begitu kita pergi sabtu ini. Kau mau kita langsung pergi sehabis pulang sekolah atau kita pergi sore? Aku bisa menjemputmu?"

"Sore..." Sera mengerjap. "Aku harus mengerjakan tugas rumahku dulu."

"As always."

Senyum Nathaniel menjadi semakin lebar lalu tiba-tiba saja dia mengulurkan tangannya ke atas kepala Sera dan mengacak-acak rambut perempuan itu gemas.

"Sampai bertemu hari sabtu, Kutu Buku."


***
Enjoy!

With love,
Nambyull

Let's test all the BorderlinesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang