Chapter 4

19.5K 2.5K 380
                                    

Vote and comment please.
***

       "Sampai nanti Pa."

Sera menjinjitkan tubuhnya untuk memberikan kecupan di pipi ayahnya yang terasa sedikit kasar karena lupa bercukur pagi ini.

"Iya, sampai nanti, Sayang."

Sean Aldarict—ayah gadis itu tersenyum hangat sambil menegakan tubuhnya yang membungkuk setelah memeluk putri sulungnya barusan.

"Jangan belajar terlalu keras ya, kamu juga perlu bermain." Sean mengusap kepala Sera dengan lembut, memberikan nasehat.

Sera mengangguk, meski begitu wajah polosnya terlihat berpikir keras atas perkataan ayahnya. Dia tidak mengerti kenapa ayahnya selalu menyuruhnya untuk bermain, sementara banyak orang tua lain justru menyuruh anaknya belajar keras agar menjadi pintar.

Sean tertawa, saat hendak menjelaskan alasan meminta putrinya untuk lebih banyak bermain, suara dua orang anak kecil memanggil namanya.

"Om Sean?"

Sean dan Sera menoleh, menemukan Nathaniel dan Sirenna Arvino berlari mendekati mereka.

"Selamat pagi, Om Sean." Anak kembar sepasang berusia delapan tahun itu tersenyum sopan.

"Selamat pagi Niel Nana. Kalian baru datang juga?" Sean membalas senyuman mereka.

"Iya, Om." Mereka mengangguk.

"Om ada keperluan apa? Tumben mengantar, biasanya Sera bersama Tante Hera?" Nathaniel bertanya membuat Sirenna dengan cepat menyikut lengannya.

"Kak Niel! Enggak sopan."

Sean tertawa maklum. "Tante Hera sedang tidak enak badan hari ini. Sekalian Om juga tadi ada urusan dengan kepala sekolah kalian. Sera sudah bilang kan? Dia minta dipindah—"

"Pa, sudah mau jam sembilan. Papa tidak terlambat?" Sera menyela.

Ayahnya seakan tersadarkan, dia melihat jam tangannya lalu meringis. "Ah, benar! Terima kasih sudah mengingatkan Papa, Sayang."

Sean menoleh pada Nathaniel dan Sirenna lagi. "Niel Nana, Om duluan ya, ada rapat yang harus Om hadiri."

"Iya, hati-hati di jalan Om Sean."

Sera melambaikan tangan. "Dah Papa."

"Dah sayang."

Setelah mobil ayahnya pergi melewati gerbang, Sera berbalik pada Sirenna. Senyumnya mengembang, dia mendekati anak perempuan itu dengan ekspresi bahagia.

"Selamat pagi, Na."

"Pagi, Ra." Sirenna menyahut, ikut tersenyum.

"Mau jalan bersama?"

"Hmm."

Mereka lalu berjalan memasuki sekolah, mengabaikan kembaran Sirenna yang terlihat terkejut karena dia seperti tidak dianggap sama sekali.

"Huh? Selamat pagi Na—hanya Sirenna? Aku tidak disapa?" Nathaniel berjalan ke sisi Sera, mengikuti langkah kedua orang anak perempuan itu sambil merengut kesal.

Let's test all the BorderlinesWhere stories live. Discover now