[69] Pindah?

193 21 16
                                    

Jika sebuah kertas terlipat, pasti bisa di luruskan kembali. Namun ketas itu tidak akan utuh kembali seperti dulu.

❄❄❄

Semenjak aku dengan Fadil memutuskan untuk balikan karena aku kalah taruhan, aku selalu pulang bersama Fadil. Sudah seminggu berlalu, aku lebih nyaman dengan hidupku yang saat ini, tidak ada masalah dan berjalan seperti biasanya meski aku harus menelan kenyataan pahit yaitu balikan dengan Fadil.

Perilaku Fadil tidak berubah seperti dulu, perhatiannya yang membuatku sangat bahagia. Namun sekarang itu semua hambar tanpa ada manis sedikitpun.

Benar kata orang, hal yang dulu sudah terjadi jika di ulang kembali tidak akan sama seperti dulu lagi. Buktinya, meski Fadil bersikap seperti dulu, namun perasaan ini tidak sama seperti dulu lagi. Aku harus berpura pura tersenyum padahal aku sangat muak dengan apa yang Fadil lakukan.

Sejak aku berubah untuk memperbaiku diri, aku di undang bu Lutfiyana untuk mengikuti organisasi OSIS, untuk memperbaiki nilai etikaku di sekolah yang selama ini jauh dari kata baik. Namun aku lebih memilih membantu saja dari pada mengikuti organisasinya.

"Ke ruang OSIS lagi?" Tanya Rifa, aku mengangguk. Akhir akhir ini aku lebih menyibukkan diri ke ruang OSIS untuk membantu mereka membuat makalah pengajuan acara malam pelepasan siswa kelas 12. Aku menjadi sibuk sekali.

"Sibuk banget ya sekarang." Aku membalikkan badan dan menampilkan sosok Satria dibelakangku, sudah lama sekali ia tidak menegurku seperti ini. Ia selalu menghindar dan memutus komunikasi denganku, mungkin karena aku tidak menerima cintanya.

"Iya gue mau perbaikin nilai sikap gue, disuruh bu Lutfi nih." Ucapku yang menunjukkan wajah kesalku saat menyebut nama pembina OSIS.

"Gapapa lah Naya buat lo juga kan?" Aku mengangguk dengan senyumku.

"Tumben?" Tanyaku, ia menghela napas lalu berkata.

"Maafin gue udah jauhin lo, bukannya gue benci. Gue cuma butuh jarak biar gue bisa ikhlasin lo." Aku mendengar itu langsung mengerti maksud dari percakapan ini.

"Lo pikir gue mati?" Ucapku dengan tawaku, hanya sekedar membuat suasana agar tidak tegang.

"Maksud gue, gue udah move on dari lo Nay. Gue udah tau makna mencintai yang sesungguhnya." Aku mengangkat alisku bingung, makna mencintai?

"Iya, makna mencintai sesunggunya itu, kita bahagia melihat orang yang kita cintai bahagia meski bahagianya bukan bersama kita."

"Jika kita memaksa dia agar bersama, itu bukan mencintai, namun itu adalah ambisi." Mendengar perkataan Satria, aku mengerti sekarang. Aku harus mulai belajar untuk mencintai Egy tanpa ambisi, aku pasti bisa, aku yakin itu.

"Makasi lo udah suka sama gue." Aku tersenyum lalu menepuk pundaknya.

"Lo berhak bahagia tanpa gue, banyak yang lebih baik dari gue diluaran sana." Satria mengangguk, ia menggenggam tanganku yang tadi menepuk pundaknya.

"Ijinin gue meluk lo sekali ini aja ya Nay." Aku mengangguk lalu merentangkan tangan, Satria memelukku. Ia membelai rambutku lalu berkata,

"Gue mau pindah ke Kalimantan." Aku mendengar itu langsung melepas peluknya, pindah? Aku ga salah dengar?

"Apa?" Tanyaku, Satria mengangguk.

"Ga bisa Sat, lo sahabat terbaik gue. Jangan tinggalin gue."

"Lo sahabat gue saat pertama kali gue sekolah sini, lo yang semangatin gue buat bangkit dari masalalu. Dan bodohnya gue ga nerima cinta lo, maaf." Satria menangkup daguku, aku menatap sedikit mendongak karena tubuh Satria yang lebih tinggi dariku.

Story About Him (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang