8. Cal dan Veteran Kiamat Zombie

3.6K 1K 396
                                    

|| 8: Cal's pov | 3211 words ||

|| 8: Cal's pov | 3211 words ||

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Serge menganggapku lucu. Dia bahkan tertawa saat aku menceritakan penembakan di bus itu dan kematian ibuku.

Semalaman aku mengejarnya berkeliling meja makan di dapurnya yang kotor, mencoba mencekik si kakek tua. Sialan, Serge benar-benar tidak seperti manula kebanyakan. Dia menghindariku dengan mudah sampai aku kelelahan sendiri. Bahkan saat aku melemparkan pentungan Pak Radi, Serge mampu membungkuk tanpa mematahkan tulang belakangnya sama sekali.

Karena tidak mampu menyakitinya secara fisik, kuhabiskan seluruh makanan di dapurnya, lalu menenggak tiga gelas teh sampai perutku sakit. Sementara dia mencak-mencak dari jendelanya, aku menyeret sepeda menuju rumah lamaku.

Rumahku, kalau debu tebal dan bau apaknya tidak dihitung, sama sekali tidak berubah. Aku bersyukur kami meninggalkan pakaian ayah di kamarnya karena nilai sentimental semata. Beberapa bajunya sudah dimakan rayap, atau menempel karena basah bekas rembesan air bocor dan langsung hancur saat aku memisahkannya. Namun, dua helai kemeja dan celana belelnya masih utuh di tengah-tengah.

Aku menimba air sumur kami yang tak pernah kering, lalu mandi sampai tak lagi tersisa bekas darah siapa pun di badanku. Kupakai baju tua ayah begitu saja, lalu bergelung di atas kasur lamaku. Aku menangis sampai tertidur.

Besok paginya, badanku gatal-gatal.

Menjadi babu Serge bukanlah pilihan, tetapi keharusan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Menjadi babu Serge bukanlah pilihan, tetapi keharusan.

Si pria tua mengajariku macam-macam, termasuk kesabaran—dibutuhkan ketabahan seluas tanah Nusa untuk menghadapinya. Aku menimba air di sumur buatnya, menebang kayu, memberi makan dan mengembangbiakkan ternak-ternak, dan menyembelih hewan sendiri—lalu diwajibkan mendengarkan keluhan-keluhannya tentang rasa air yang tengik dan alotnya olahan daging kambing yang kami makan.

Selama perbatasan ditinggalkan, Serge melakukan itu semua sendiri. Setelah ada aku, dia menggunakan kartu 'aku sudah tua' dan 'tanganku cuma satu' untuk memperbudakku di bawah kakinya; sedangkan aku tidak diizinkan sama sekali pakai kartu 'aku masih 11 tahun' terhadapnya.

Setidaknya, dia mencuci pakaiannya sendiri. Aku tidak sudi menyentuh kain-kain usang berjamur dan bau masam yang dia sebut baju itu.

Pagi-pagi buta, kami sarapan di rumahnya sebelum mengerjakan tugas masing-masing, makan siang sendiri-sendiri, lalu makan malam bersama lagi. Karena tidak mau mendengarkan ocehan satu sama lain, kami mendengarkan radio. Tidak banyak yang bisa didengar kecuali lagu-lagu lawas yang berulang tiap hari.

Escapade 1: A Lone WayfarerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang